Duhai pemilik raga yang tak henti menjalarkan ranting pesona dalam debar paling menggelora. Pemilik nama yang tak henti lalu-lalang di beranda pikiran dengan intensitas tak terhingga. Pemilik hati yang teduhnya tak pernah mati, yang indahnya bukan sekadar imitasi.
Kau tahu?
Saat secangkir kopi yang kau seruput mendalam
Lalu seikat senyum paling rekah kau lontarkan
Menjelma indah yang begitu hujam membahagiakan
Ah ... aku terpedaya
"Kopinya enak, makasih," katamu.
Hanya itu yang kau katakan
Namun, aku mampu menangkap makna yang tersirat dari jelaga hasrat yang berontak
Tentang selaksa aksara yang tertahan di tenggorokan
Perjanjian malam telah kita sepakati dalam diam. Sekejap kerdipan dua pasang mata yang saling pandang tanpa belalak selebrasi berlebihan. Diiringi gemerincing hati yang malu-malu mengiyakan tanpa pekik kegirangan. Hanya rona muka yang tersipu-sipu oleh tabrakan rasa terdalam yang kita tautkan.
Duhai dermaga, pelayaran mimpiku telah selesai dan jangkar telah terlempar menepimu. Sudikah mengizinkan diriku untuk menetap tanpa kata menginap. Menjadi tempat segala curah, bukan sekadar singgah penghilang lelah?
Jawablah!
Meski kutahu
Amukan sipu--malu
Hanya mampu melahirkan isyarat angguk
Dan seulas senyum saja
Yang biasa kutilik dari cangkir kopi kita
Angsana, 07 Maret 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI