Perceraian, sebagai fenomena sosial yang semakin menguat di tengah masyarakat modern, membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan keluarga dan khususnya pada perkembangan anak-anak.Â
Laporan Statistik Indonesia 2023 mencatat bahwa pada tahun 2022, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334, mencatat peningkatan sebesar 15% dari tahun sebelumnya yang mencapai 447.743 kasus, menunjukkan bahwa tantangan dalam keberlangsungan hubungan pernikahan semakin kompleks (Goodstats). Angka yang terus meningkat ini mencerminkan dinamika hubungan pernikahan di era kontemporer yang seringkali dipenuhi oleh berbagai tekanan dan perubahan dalam pola hidup.Â
Penting untuk diakui bahwa implikasi dari perceraian tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang bercerai, tetapi juga secara mendalam mempengaruhi kesejahteraan emosional anak-anak yang terlibat dalam proses ini. Anak-anak menjadi pihak yang rentan dan mungkin menghadapi tantangan emosional yang kompleks karena perubahan dramatis dalam dinamika keluarga mereka.Â
Proses perceraian seringkali memicu perasaan kehilangan, kebingungan, dan kecemasan pada anak-anak, yang berusaha mencari pemahaman terhadap perubahan signifikan dalam kehidupan mereka. Dalam konteks ini, fokus utama dari eksplorasi essay ini adalah memahami dengan lebih mendalam bagaimana perceraian orang tua dapat memberikan dampak pada aspek emosional anak. Perlu diperhatikan bahwa dampak tersebut dapat bervariasi tergantung pada usia anak, kualitas hubungan orang tua sebelum perceraian, dan dukungan sosial yang tersedia untuk mereka. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki strategi pendekatan yang efektif dalam mengelola kesejahteraan emosional anak yang terlibat dalam situasi perceraian orang tua.
Dalam tahun 2022, faktor penyebab utama perceraian di Indonesia teridentifikasi sebagai perselisihan dan pertengkaran, dengan jumlah mencapai 284.169 kasus atau setara dengan 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian. Perselisihan ini mencerminkan kompleksitas dinamika hubungan keluarga yang seringkali menjadi landasan dari konflik yang tak teratasi, menyebabkan keguguran dalam ikatan pernikahan. Faktor ini menjadi penanda utama bahwa ketidaksepakatan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi pemicu utama perceraian, mengekspresikan betapa pentingnya pengelolaan konflik dalam suatu pernikahan.Â
Selain perselisihan, faktor-faktor penyebab perceraian lainnya juga menarik perhatian. Permasalahan ekonomi muncul sebagai alasan yang signifikan, menandakan bagaimana tekanan keuangan dapat menjadi sumber konflik yang mengakar. Penyebab lainnya termasuk situasi di mana salah satu pihak memilih untuk meninggalkan pasangannya, poligami, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keberagaman penyebab ini mencerminkan dinamika kompleks dalam hubungan pernikahan, melibatkan berbagai faktor yang mencakup aspek emosional, ekonomi, dan sosial.
Perceraian orang tua melampaui sekadar perpisahan secara formal; ia menciptakan gejolak dalam inti kehidupan keluarga yang melibatkan aspek-emosi, hukum, ekonomi, dan sosial. Proses perpisahan ini membawa dampak yang mendalam, mencakup perpisahan emosional yang termanifestasi dalam dinamika hubungan yang berubah secara drastis, perpisahan ikatan pernikahan secara hukum yang meresmikan pemisahan formal, hingga perpisahan secara ekonomi atau finansial yang merubah arus keuangan keluarga.Â
Selain itu, perceraian juga menandai perpisahan sebagai orang tua utuh, di mana peran dan tanggung jawab sebagai figur orang tua mengalami transformasi substansial. Perpisahan keluarga tidak hanya mempengaruhi lingkup rumah tangga, tetapi juga menciptakan perpisahan sebagai bagian dari komunitas yang selama ini turut berperan dalam membentuk identitas keluarga. Bahkan, dalam upaya menghindari pertemuan dengan pihak yang berkonflik, terdapat perpisahan secara fisik, menciptakan jarak yang lebih luas di antara anggota keluarga yang pernah bersatu. Dengan adanya perubahan-perubahan mendalam ini, pihak-pihak yang terlibat seringkali dihadapkan pada tingkat stres yang signifikan. Stres ini tidak hanya bersifat ekonomis atau finansial, tetapi juga melibatkan dimensi psikologis, terutama pada anak-anak yang berusia remaja. Dalam konteks psikologis, perceraian orang tua menyiratkan kehilangan fungsi dan peran orang tua sebagai manajer dalam keluarga, yang sebelumnya menjadi penentu stabil dalam kehidupan anak-anak. Hilangnya teman yang membantu dalam pengambilan keputusan serta kehilangan faktor penentu dalam pembangunan identitas diri anak dapat menjadi tantangan psikologis yang kompleks.
Perceraian, sebagai peristiwa hidup yang kompleks, memberikan dampak yang mendalam pada kehidupan anak-anak yang terlibat. Sementara mayoritas anak cenderung menyalahkan orang tua sebagai sumber rasa sakit yang muncul akibat perpisahan keluarga, terdapat dimensi emosional yang lebih dalam dan kompleks yang memerlukan pemahaman yang mendalam.Â
Penelitian menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, anak-anak tidak hanya menyalahkan orang tua, tetapi juga merasa diri mereka sendiri sebagai bagian dari penyebab perceraian. Fenomena ini membuka pintu wawasan ke dalam kompleksitas psikologis anak yang berhadapan dengan realitas perpecahan orang tua.Â
Dalam menganalisis fenomena ini, peran kualitas hubungan keluarga sebelum perceraian menjadi faktor kunci yang memengaruhi cara anak menanggapi situasi tersebut. Keberadaan kebahagiaan dan kestabilan sebelum perceraian mungkin menciptakan ikatan emosional yang kuat antara anak-anak dan keluarga mereka. Oleh karena itu, perpisahan orang tua bisa menjadi pukulan emosional yang lebih berat karena mengguncang fondasi yang sudah dibangun. Di sisi lain, dalam rumah tangga yang penuh dengan ketidakharmonisan, anak-anak mungkin melihat perceraian sebagai solusi dari konflik yang berkepanjangan antara orang tua, bahkan mungkin sebagai peluang untuk mencari kehidupan yang lebih baik.