Penelitian yang dilakukan oleh Leslie memberikan pemahaman mendalam tentang kompleksitas dampak perceraian pada anak-anak, yang dihubungkan secara signifikan dengan kualitas hubungan dalam keluarga sebelumnya. Jika anak-anak merasakan kebahagiaan, kehangatan, dan keharmonisan dalam kehidupan rumah sebelum terjadinya perceraian, dampak emosional yang terjadi cenderung menjadi lebih mendalam. Kehilangan tidak hanya pada tingkat fisik, tetapi juga pada tingkat emosional dan psikologis dapat menciptakan kerumitan yang melibatkan perasaan kehilangan identitas, keamanan, dan koneksi yang telah mereka kenal. Dalam konteks ini, ketidakpastian yang muncul dari perceraian menciptakan kekosongan yang sulit diisi bagi anak-anak, yang mungkin merasakan kehilangan tidak hanya pada aspek keberlangsungan keluarga tetapi juga pada pemahaman mereka tentang cinta dan kestabilan.Â
Di sisi lain, jika keluarga sebelumnya dipenuhi oleh ketidakbahagiaan dan konflik berkepanjangan, perceraian bisa dianggap sebagai jalan keluar yang diperlukan. Anak-anak mungkin melihat pemisahan orang tua sebagai peluang untuk menghindari ketidakpastian dan tekanan konflik yang terus menerus. Dalam pandangan mereka, pemisahan bisa dianggap sebagai kesempatan untuk mengembangkan lingkungan yang lebih sehat dan damai. Oleh karena itu, pemahaman akan kualitas hubungan sebelumnya menjadi landasan yang kritis untuk memberikan dukungan yang sesuai terhadap anak-anak yang terlibat dalam peristiwa perceraian.
Perceraian, sebagai tahapan hidup yang mendalam, tak hanya menciptakan ketidakstabilan dalam dinamika keluarga, namun juga berdampak serius pada kondisi emosional anak selama masa perkembangannya. Dalam konteks ini, perilaku anak-anak pasca-perceraian seringkali menjadi indikator nyata dari beban emosional yang mereka alami. Tidak jarang, anak-anak menunjukkan perilaku-perilaku yang mencolok, mulai dari agresivitas dan kecenderungan untuk berkelahi hingga perilaku yang lebih pasif seperti menjadi pendiam atau sulit bergaul. Mengapa perilaku ini muncul sebenarnya lebih dari sekadar gejala, namun merupakan manifestasi dari perubahan dramatis yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya untuk memahami bahwa perilaku-perilaku tersebut bukanlah karakteristik tetap dari anak-anak pasca-perceraian, melainkan respons terhadap perubahan signifikan dalam dinamika keluarga mereka. Terdapat faktor-faktor penyebab yang perlu dicermati lebih lanjut. Beberapa anak mungkin mengekspresikan agresivitas sebagai cara untuk menanggapi ketidakpastian dan kebingungan yang muncul seiring perceraian.Â
Di sisi lain, ada pula anak-anak yang memilih untuk menarik diri, menjadi lebih pendiam atau kesulitan bergaul, sebagai bentuk internalisasi dari perubahan yang tidak mereka inginkan. Sejalan dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa anak-anak yang menjadi korban perceraian juga menghadapi tantangan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama seperti sebelumnya.Â
Perceraian menciptakan kekosongan dalam interaksi emosional dan dukungan yang mungkin sebelumnya mereka nikmati dari kedua orang tua. Perubahan ini, terutama dalam aspek kesejahteraan emosional anak, mendorong perlunya dukungan dan pemahaman yang mendalam dari lingkungan sekitar. Melihat ini, pendekatan holistik yang mencakup dukungan emosional, konseling keluarga, dan pendekatan psikologis menjadi semakin penting. Memahami bahwa perilaku anak-anak pasca-perceraian adalah reaksi terhadap perubahan lingkungan mereka membantu membuka jalan untuk penanganan yang efektif. Memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan mereka, menanggapi pertanyaan mereka, dan menciptakan lingkungan yang stabil dan penuh kepedulian adalah langkah-langkah penting dalam membantu anak-anak mengatasi dampak perceraian dan memulihkan kesejahteraan emosional mereka.
Dalam dinamika kompleks pasca-perceraian, anak-anak kerap kali terjebak dalam situasi emosional yang rumit, terutama saat mereka menghadapi kesulitan dalam menerima keberadaan orangtua yang membawa pasangan baru ke dalam kehidupannya. Situasi ini menjadi lebih menantang, terutama ketika sang ayah memperkenalkan perempuan lain yang bukan ibu kandung anak-anak. Dalam kondisi seperti ini, dampaknya nyata dalam ketidaknyamanan yang dialami anak-anak saat berkomunikasi dengan ayahnya, menciptakan kesenjangan emosional yang membutuhkan perhatian khusus. Dalam rangka merespon kompleksitas ini, peran dan tanggung jawab sang ibu menjadi sangat krusial. Sang ibu bukan hanya harus memahami perasaan dan ketidaknyamanan anak-anak, tetapi juga harus mengelola waktu dan dinamika komunikasi di antara mantan pasangan tersebut. Sang ibu perlu menjalankan perannya dengan bijaksana, membantu anak-anak merasa aman dan didukung ketika berkomunikasi dengan sang ayah. Ini melibatkan pengaturan waktu yang baik untuk memfasilitasi pertemuan dan interaksi yang positif antara anak-anak dan ayah mereka. Dengan melibatkan sang ibu secara bijaksana dalam proses komunikasi pasca-perceraian bukan hanya membantu menciptakan ruang yang kondusif bagi pertemuan keluarga, tetapi juga memungkinkan anak-anak tetap merasakan kehadiran dan kasih sayang dari kedua orangtua mereka, meskipun dalam konteks kehidupan yang berubah setelah perceraian. Kesadaran dan tindakan bijak dalam hal ini dapat meminimalkan dampak negatif pada kesejahteraan emosional anak-anak, menciptakan fondasi yang lebih stabil untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka di tengah perubahan yang berat pasca-perceraian.
Dalam sebuah penelitian mengenai dampak perceraian orang tua terhadap anak, analisis perkembangan sosial menjadi semakin krusial. Menurut Jahja (2011:215), Temuan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami perceraian orang tua cenderung menunjukkan pola perkembangan sosial yang tidak menguntungkan. Dampak konflik keluarga dengan jelas tercermin dalam dinamika kegiatan bermain di sekolah, di mana pertengkaran dengan teman menjadi kejadian yang sering terjadi.Â
Perasaan ketidakstabilan di rumah tampaknya menciptakan ketidakstabilan yang serupa dalam interaksi sosial anak di lingkungan sekolah. Lebih lanjut, adanya perilaku pendiam saat kegiatan istirahat dan kecenderungan untuk memilih duduk sendirian menunjukkan tanda-tanda nyata dampak emosional yang mendalam pada anak-anak pasca-perceraian. Keterbatasan dalam berinteraksi sosial dan kemampuan membangun hubungan yang sehat tercermin dalam jumlah teman yang terbatas, bahkan dengan kecenderungan memilih-pilih teman dalam berkegiatan di sekolah. Jahja (2011:215) juga menyoroti bahwa perceraian tidak hanya mengakibatkan ketidakstabilan emosional tetapi juga dapat memberikan dampak signifikan pada kemampuan anak untuk bersosialisasi dan membangun relasi positif. Tak hanya itu, temuan juga mencerminkan bahwa anak-anak pasca-perceraian mungkin menghadapi pengasingan dalam kelompok sosial mereka.Â
Jahja (2011:215) menekankan bahwa anak-anak yang merasa ditolak atau diabaikan oleh teman-teman sebaya dapat mengalami kesulitan dalam belajar bersifat sosial, suatu aspek penting dalam perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap dinamika kompleks ini menjadi dasar yang sangat penting dalam merancang strategi dan memberikan dukungan yang efektif, untuk memitigasi dampak negatif yang dapat muncul dalam perkembangan sosial anak-anak pasca-perceraian.
Kesimpulannya, saya meyakini bahwa fenomena perceraian menjadi semakin kompleks di masyarakat modern, terutama dengan tren peningkatan angka perceraian di Indonesia. Implikasi dari perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan yang bercerai, tetapi juga secara mendalam memengaruhi kesejahteraan emosional anak-anak yang terlibat dalam proses ini. Saya berpendapat bahwa dampak ini tidak hanya mencakup perubahan emosional, hukum, ekonomi, dan sosial dalam kehidupan keluarga, tetapi juga menciptakan gejolak dalam kehidupan anak-anak. Melihat realitas ini, anak-anak seringkali menunjukkan perilaku-perilaku mencolok, mulai dari agresivitas hingga menjadi pendiam atau sulit bergaul. Saya yakin bahwa faktor penyebab perceraian, terutama perselisihan dan pertengkaran, mencerminkan kompleksitas dinamika hubungan keluarga yang dapat memperburuk situasi. Kualitas hubungan dalam keluarga sebelum perceraian juga menjadi kunci dalam memahami dampak emosional anak, di mana kebahagiaan sebelumnya dapat membuat dampak emosional lebih berat.Â
Penelitian Leslie yang menyatakan bahwa trauma anak karena perceraian berkaitan dengan kebahagiaan dalam kehidupan rumah sebelumnya, menegaskan pandangan saya mengenai pentingnya kualitas hubungan sebelum perceraian. Kehilangan identitas, keamanan, dan koneksi yang dialami anak-anak merupakan tantangan psikologis yang kompleks, dan pemahaman mendalam terhadap hubungan sebelumnya menjadi landasan penting dalam memberikan dukungan yang sesuai.Â