Mohon tunggu...
Ikeu Rahmadhani Suhada
Ikeu Rahmadhani Suhada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

think big!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Marah dan Kemarahan" pada Otak

2 Juni 2021   20:20 Diperbarui: 8 Juli 2021   12:36 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kejadian yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk kejadian menyenangkan sendiri jelas kita akan dengan senang hati menerima hal itu, bahkan bisa dibilang kita berdoa setiap harinya untuk mendapatkan awalan  hari yang ‘baik’, namun di sisi lainnya kejadian tidak menyenangkan sangat kita hindari karena kita sendiri sadar hal itu akan membuat kita frustasi, sedih, kecewa, bahkan terancam. 

Seperti contohnya, Anda tidak tahu sebelumnya bahwa saat di jalan pulang, Anda akan beradu mulut dengan pengendara motor yang tidak sengaja menyerempet mobil anda. Dengan padatnya jalan karena kemacetan, dan rasa capek yang Anda rasakan saat di kantor seharian. Hal ini menyebabkan kemarahan karena tidak terima dan secara tidak sadar menjadikan hal itu sebagai pelampiasaan amarah tersebut.

Namun, kejadian seperti itu yang malah  membuat kita terasa menjadi ‘manusia’, sebagaimana kita lebih merasa hidup akan musibah yang kita hadapi, kita juga jadi lebih belajar menemukan solusinya, hingga mengintropeksi diri atas apa yang terjadi.

Untuk itu, sangat penting untuk kita tahu penyebab amarah, dampak amarah pada otak, dan bagaimana cara mengendalikan amarah tersebut.

Di dalam Al-Quran juga menjelaskan emosi marah, yang dimana marah disebut dengan kata “ghilzah” yang sebagai mashdar dari “ghlazha-yaghlizh/yaghluzhu-ghilahan/ghilzhatan”, yang maknanya adalah keras (Ulya, 2020).

Kemarahan mengandung keuntungan dan kerugian, manfaat kemarahan termasuk mengatasi ketakutan dan membangun kepercayaan diri untuk menanggapi bahaya atau ancaman yang mengarah pada respons “lari atau bertarung“ pada otak. Sementara itu, kerugian kemarahan  dapat beresiko besar terhadap kesehatan otak dan tubuh kita, seperti penyakit jantung, stroke, darah tinggi, dan lain-lain.

Kemarahan merupakan emosi umum manusia, yaitu emosi kuat yang biasa disebabkan oleh beberapa bentuk perbuatan salah, perlakuan buruk, atau ketidakadilan. Bahkan rasa tidak terima karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan pun dapat menjadi pemicu perasaan marah itu sendiri. Saat kita marah sekilas kita sadar akan perasaan “apa harus saya ladeni? Apa sebaiknya di abaikan saja ?“ seperti saat kita mencoba untuk tenang terlebih dahulu sebelum memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya.  

Menurut (Hendricks & Aslinia, 2013) , ada dua sumber kemarahan: sumber internal dan sumber eksternal. Psikolog telah mengidentifikasi empat jenis pemikiran yang mengarah ke sumber internal kemarahan:

  1. Penalaran emosional : orang-orang yang bernalar emosional sering menjadi jengkel pada hal-hal sepele yang dikatakan orang lain, dan menganggap hal tersebut sebagai ancaman terhadap dirinya.
  2. Toleransi frustasi yang rendah: kecemasan terkait stress cenderung menrurunkan toleransi individu terhadap frustasi yang kemudian menyebabkan kita menilai hal-hal normal sebagai ancaman terhadap diri.
  3. Harapan yang tidak masuk akal: orang terkadang mengajukan permintaan tanpa mengetahui realitas situasi.
  4. Menilai orang : pelebelan yang merendahkan orang lain. (Loo, 2005, paragraph 4).

Sementara sumber eksternal yang telah dipersempit menjadi empat peristiwa, yakni:

  1. Serangan pribadi dalam bentuk pelecehan verbal.
  2. Memotong ide dan opini orang lain.
  3. Mengancam kebutuhan dasar orang lain (pekerjaan, kehidupan, keluarga, dll).
  4. Tingkat toleransi terhadap frustasi menurun karena faktor lingkungan dalam hidup mereka. (Loo, 2005, paragraph 5).

Apakah pernah terpikirkan oleh kita, apa yang terjadi pada otak saat kita marah

Banyak penelitian telah dilakukan tentang bagaimana kemarahan mempengaruhi kita secara fisiologis dan psikologis, karena sebelum kemarahan itu sendiri mempengaruhi tubuh kita untuk bertindak, otak kita terlebih dahulu terpengaruh untuk memutuskan tindakan selanjutnya. Otak adalah sistem alarm internal manusia, memberi sinyal ke seluruh tubuh kita ketika merasakan emosi. 

Sistem alarm ini memicu pelepasan adrenalin yang menyebabkan kita meningkatkan kesadaran dan daya tanggap kita, yang selanjutnya menyebabkan glukosa mengalir melalui aliran darah dan otot sehingga kita mampu merespons lebih cepat, dan membuat keputusan lebih cepat pula. 

Menurut Boerma (2007),  Ketika otak merasakan ancaman atau bahaya, jutaan serabut saraf di dalam otak kita melepaskan bahan kimia ke seluruh tubuh ke setiap organ. Ketika seseorang mengalami amarah, tubuh melepaskan hormone stress, adrenalin dan nonadrenalin karena otak. Bahan kimia ini membantu tubuh mengontrol detak jantung dan tekanan darah. 

Kemarahan menyebabkan bahan kimia neurotransmitter di otak, yang disebut katekolamin, mengalir ke seluruh tubuh kita, memberi kita ledakan energi yang dapat berlangsung selama beberapa menit. Hal ini kemudian memicu reaksi pada bagian tubuh lain seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah tinggi, dan pernapasan yang meningkat (Adotta, 2006).

 Menurut Adotta (2006), amarah berasal dari bagian tubuh kita yang dikenal dengan nama amigdala. Amigdala dan beberapa wilayah korteks limbik terlibat secara spesifik dalam emosi: perasaan dan ekspresi emosi, ingatan emosional, dan pengenalan tanda-tanda emosi pada orang-orang lain, dan terletak sebelah vertikel lateral dalam lobus temporal (Carlson, 2012). 

Manusia memiliki dua amigdala yang terletak hanya beberapa inci dari setiap telinga. Terdiri dari beberapa saraf yang terhubung ke berbagai bagian otak seperti neokorteks dan korteks visual amigdala merupakan bagian terpenting dari sistem saraf kita. Ketika amigdala memulai emosi amarah, korteks prefrontal dapat mengakibatkan perilaku kekerasan. 

Dengan kata lain, amigdala menyebabkan otak bereaksi terhadap ancaman atau ketakutan dalam korteks prefrontal dapat mempertimbangkan konsekuensinya.Emosi seperti kemarahan tidak akan hilang jika kita tidak mengekspresikannya, hal ini hanya akan memperkuat kemarahan tersebut. Hal yang paling berbahaya dari menahan amarah adalah memicu adanya depresi. maka dari itu penting bagi kita untuk belajar mengendalikannya.

  1. Ambil napas dalam-dalam.
  2. Hindari lingkungan buruk.
  3. Intropeksi diri untuk mengetahui penyebab kemarahan tsb.
  4. Belajar ikhlas.
  5. ekspresikan diri.
  6. peka akan diri.

Ada pula cara mengatur emosi marah dan mengendalikannya menurut pandangan Islam, yaitu mengalihkan satu objek ke objek yang lain yang bersifat semu. Kemudian dengan zikrullah melalui media bersuci (berwudhu) husn al-zhan, sabar, syukur, dan pemaaf yang menjadi kunci dasar dalam mengendalikan emosi marah. (Ulya, 2020).

DAFTAR PUSTAKA

Carlson, N. (2012). Fisiologi perilaku : edisi kesebelas jilid 1.Alih bahasa Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hendricks, L., & Aslinia, D. (2013). The Effects of Anger on the Brain and Body. National Forum Journal of Counseling and Addiction, 2(1), 1–12.

Ulya, M. (2020). Konstruk Emosi Marah Perspektif Al-Quran. 43.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun