Tepat 11 tahun yang lalu, 29 April 2009 jenjang kehidupanku telah berubah, dari brahmacari menjadi grahasta. Sampai sekarang pun masih ada orang bertanya kok bisa menikah dengan dia. Aku sadari dasar dari pertanyaan itu, pertama karena istriku diawal aku panggil Sari tinggalnya di Mataram, jauh diseberang pulau.Â
Kedua, usia kami terpaut 8 tahun sehingga ada beberapa teman mengatakan itu seperti anak pertama saya (jahat sekali memang). Ketiga, mereka tidak pernah mendengar saya punya pacar dari Mataram. Dengan alasan tiga itu saja wajar mereka bertanya-tanya, namun jangan lupa "Tuhan selalu menghadirkan mujizat bagi umatnya yang taat".
Jadi pagi ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka aku akan menuliskan kisah itu yang kelak semoga dibaca juga oleh anak-anakku. Siapa tahu mereka ada yang mengalami sepertiku, maka tidak perlu khawatir karena Tuhan pasti akan hadir dan merubah semua. Sama halnya dengan penggalan kisah hidupku yang lain, aku dedikasikan kepada anak-anak agar tahu bahwa apa yang ada dan dimiliki sekarang itu adalah hasil sebuah perjuangan hidup. Kelak mereka juga harus berjuang sama kuatnya seperti orang tuanya terdahulu "doa dan kerja itu harus seimbang".
Agar ceritanya nyambung, saya sarankan untuk membaca kisahku Aku dan Dilan dan Kisah Perindu Cinta. Terlahir sepertiku ini sungguh tidak mengenakkan, terkadang aku merasa hidup ini sungguh tidak adil. Bisa jadi ini adalah Karmaphala, sebab nenekku sebelum meninggal selalu berpesan agar aku jangan seperti dulu.
 Katanya yang reinkarnasi menjadi diriku ini adalah kakeknya "de pesan care ipidan tut, meplalian, mengdahang nak luh ento parilaksana jele sajan" begitulah kata nenekku. Setiap ingat pesan itu selalu membuatku merenung, apakah derita cinta ini adalah akibat perbuatanku dimasa lalu. Tetapi aku tidak mau menerima begitu saja, tekadku merubah semuanya. Ku tanamkan dalam hati bahwa perjalanan hidupku ada ditanganku. Aku harus berjuang, iya kombinasi berjuang dan berdoa pasti merubah keadaan. Seperti kata M. K. Gandhi "Prayer Changes Things".
Aku berpikir jika memang derita ini adalah nasibku, maka Tuhan pasti bisa merubah. Jika tidak untuk apa agama mengajarkan kita memuja Tuhan sedangkan kehidupan kita tergantung nasib. Sekali lagi doa akan merubah keadaan, Tuhan akan merubah nasib kita. Ini tidak akan berlaku bagi orang yang pasrah (dekat dengan menyerah dan lemah) pada nasibnya. Seandainya kita pasrah, maka Tuhan akan menghadirkan seperti kepasrahan kita, jadi wajib bagi kita untuk terus berjuang dan atas kuasa Tuhan semua pasti akan berubah. Itulah keyakinanku sampai sekarang.
Apakah kita wajar menangis dan menyesali apa yang terjadi, jawabku sangat wajar karena kita ini manusia, dan itu juga aku lakukan. Bedanya dalam setiap tangis itu, aku selalu berjapa "Om Namah Siva Ya". Setiap saat aku juga sembahyang ke Padmasana kampus, dan disaat itulah kutumpahkan semua tangisku. Jalan Tuhan itu sungguh rahasia dan tidak mudah untuk kita tebak.
Awalku bisa memiliki tiga wanita (istri & dua putri) saat ini berawal dari doaku. Dimana dalam setiap doaku selalu muncul wajah Sari, iya wajah wanita yang aku kenal di depan kamar kecil Pura Suranadi. Masih ingat cerita ini kan? Dalam hatiku selalu bertanya apa wanita ini jodohku, walaupun sebenarnya aku sedikit ragu. Maklum tidak pernah ketemu lagi setelah tiga tahun dari kejadian di depan kamar kecil Pura Suranadi. Komunikasi juga jarang dan hanya mengucapkan selamat hari raya saja.
Singkat cerita, disuatu hari dibulan September 2008, aku numpang di mobil Bapak Wayan Sugita untuk mengajar di kelas Negara, dalam mobil itu juga ada Ibu Gusti Ayu Mastini. Mobil tua itu melaju dengan sangat garang menelusuri jalanan padat menuju Jembrana. Tepat di daerah Pekutatan (sangat aku ingat sampai sekarang) aku memberanikan diri sms langsung mengajak Sari untuk menikah. Sms pertama setelah sekian lama tidak berkabar.Â
Namun balasan Sari membuatku terkejut "Sebentar ya blitut, saya tanya orang tua dulu". Oh ya saya tunggu jawabannya" balasku. Pulang dari mengajar terdengar suara sms masuk dan setelah aku baca isinya "Iya blitut memek setuju" ahhhh aku benar-benar terkejut. Suatu hal yang besar dan akan mengubah hidupku tanpa ku sadari telah terjadi. Aku terus bertanya sampai sekarang, kok bisa?
Aku terus menanyakan kebenaran ini pada Sari (takut Cuma prank saja heheh). Sari menjawab "Iya blitut, sari sudah Tanya sama memek, waktu itu sedang memasak". "Apa yang disampaikan" tanyaku lagi. "Mek Adi lakar merangkat" katanya. Trus dijawab sama ibunya "nah merangkat sube".Â
Belakangan aku baru diceritakan sama ibunya jika saat itu sebenarnya dia menganggap itu bercanda saja. Karena ibunya tahu jika Sari tidak punya pacar. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ibunya walau kaget dan tidak terima jika ibu beneran anaknya akan menikah jauh ke Bali, tidak kuasa membatalkan karena aku juga sudah memberitahu ibuku akan menikah sama Sari.
Cerita ini sungguh mirip dengan kisah Mahabrata, disaat Arjuna memenangkan sayembara memperebutkan Drupadi, pulang dan mengatakan kepada ibunya saat sedang sibuk memasak "Ibu saya pulang membawa hadiah" kata Arjuna. Kemudian dijawab spontan oleh Kunti "iya bagi saja bersama saudara-saudaramu".Â
Tanpa sebelumnya melihat dan bertanya lebih lanjut, perintah dan persetujuan secara spontan terucap. Sama dengan ibunya Sari, Kunti pun tidak kuasa juga membatalkan perkataannya itu. Sehingga menjadikan Panca Pandawa harus menjalani kehidupan sangat rumit dalam berumah tangga. Saya yakin pembaca tahu jalan cerita ini. Tapi jangan dibawa perasaan ya, sumpah aku ini bukan Arjuna. Kelasku sangat jauh dengan Arjuna hehehe. Inti aku membandingkan cerita Ibunya Sari dan Kunti adalah sama-sama memberikan keputusan saat memasak dan itu spontanitas saja. Sebuah keputusan spontan yang berdampaknya pada perubahan kebidupan anaknya.
Lanjut cerita saat buda cemeng kelawu, dia dan orang tuanya pulang ke Bali (tepatnya di Besang Kawan Klungkung) dan akupun menyempatkan mampir sepulang dari mengajar di pokjar Rendang. Saat itu pertama kali aku berkenalan dengan orang tuanya, disana ada bapak, ibu dan mitha (kakaknya).Â
Waktu itu aku ajak Sari makan di pantai Lebih. Sebuah pertemuan pertama setelah di Pura Suranadi. Saat itu aku mengajak untuk menikah bulan oktober 2008, namun keluarganya meminta waktu menunda karena sangat mendadak. Dalam cerita-cerita di Lombok, mereka mengira aku ini baru putus pacaran, namun persiapan menikah sudah mulai, sehingga agar banten tidak terbuang maka diajaklah anaknya (Sari) untuk menikah secepatnya. Duhhhh sebuah cerita yang liar sekali dan praduga tidak berdasar.
Rentang waktu menuju bulan april 2009, mereka ada dua kali pulang ke Bali. Saat kesempatan itu aku mengajak Sari dan Mitha jalan-jalan ke Tirtha Empul Tampak Siring. Waktu disana situasinya hujan gerimis dan secara tidak terencana aku menyerahkan jaketku untuk dipakai oleh Mitha (waktu itu Sari sudah memakai jaket) agar tidak kedinginan. Ngasi jaket ini menjadi penyimpul bagi Mitha bahwa aku ini orang baik. Iya ya lah aku ini orang baik, tidak pernah makan sandal hehehe.
Kesempatan selanjutnya mereka ke Bali dalam rangka jalan-jalan, saat itu selain Memek, Sari, Mitha, ada juga ikut Dayu (yang aku kenal bersama Sari di Pura Suranadi). Saat itu dengan rencar mobil aku ajak mereka jalan-jalan ke Sanur, GWK, Pantai Pandawa, dan Pura Tanah Lot. Untuk memastikan rencana pernikahan, aku juga datang ke Lombok sendirian (ini untuk kedua kalinya setelah bersama rombongan ashram).Â
Setelah disepakati maka pada Manis Galungan aku ajak keluargaku ke Lombok untuk mesadok (mencari duwasa) sekalian Tirtha Yatra dan tukar cincin. Sebelum tukar cincin aku mencoba bernego agar cincin yang dipakai itu cincin perak, ya biar murah dan kalau hilang tidak rugi hehehe. Soalnya aku kan tidak terbiasa pakai cincin sampai sekarang. Namun mereka ngotot harus cincin emas, ya jadilah aku harus beli cincin emas. Setelah melalui berbagai pertimbangan maka disepakati acaranya tanggal 29 April 2009, dengan acara di Lombok tanggal 27 April 2009.
Ceritanya sampai disini ya, maklum ternyata sudah terang dan aku harus mematikan lampu di sanggah, halaman dan kamar tentunya. Maklum situasi pandemic Covid-19 jadi harus berhemat hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H