Belakangan aku baru diceritakan sama ibunya jika saat itu sebenarnya dia menganggap itu bercanda saja. Karena ibunya tahu jika Sari tidak punya pacar. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ibunya walau kaget dan tidak terima jika ibu beneran anaknya akan menikah jauh ke Bali, tidak kuasa membatalkan karena aku juga sudah memberitahu ibuku akan menikah sama Sari.
Cerita ini sungguh mirip dengan kisah Mahabrata, disaat Arjuna memenangkan sayembara memperebutkan Drupadi, pulang dan mengatakan kepada ibunya saat sedang sibuk memasak "Ibu saya pulang membawa hadiah" kata Arjuna. Kemudian dijawab spontan oleh Kunti "iya bagi saja bersama saudara-saudaramu".Â
Tanpa sebelumnya melihat dan bertanya lebih lanjut, perintah dan persetujuan secara spontan terucap. Sama dengan ibunya Sari, Kunti pun tidak kuasa juga membatalkan perkataannya itu. Sehingga menjadikan Panca Pandawa harus menjalani kehidupan sangat rumit dalam berumah tangga. Saya yakin pembaca tahu jalan cerita ini. Tapi jangan dibawa perasaan ya, sumpah aku ini bukan Arjuna. Kelasku sangat jauh dengan Arjuna hehehe. Inti aku membandingkan cerita Ibunya Sari dan Kunti adalah sama-sama memberikan keputusan saat memasak dan itu spontanitas saja. Sebuah keputusan spontan yang berdampaknya pada perubahan kebidupan anaknya.
Lanjut cerita saat buda cemeng kelawu, dia dan orang tuanya pulang ke Bali (tepatnya di Besang Kawan Klungkung) dan akupun menyempatkan mampir sepulang dari mengajar di pokjar Rendang. Saat itu pertama kali aku berkenalan dengan orang tuanya, disana ada bapak, ibu dan mitha (kakaknya).Â
Waktu itu aku ajak Sari makan di pantai Lebih. Sebuah pertemuan pertama setelah di Pura Suranadi. Saat itu aku mengajak untuk menikah bulan oktober 2008, namun keluarganya meminta waktu menunda karena sangat mendadak. Dalam cerita-cerita di Lombok, mereka mengira aku ini baru putus pacaran, namun persiapan menikah sudah mulai, sehingga agar banten tidak terbuang maka diajaklah anaknya (Sari) untuk menikah secepatnya. Duhhhh sebuah cerita yang liar sekali dan praduga tidak berdasar.
Rentang waktu menuju bulan april 2009, mereka ada dua kali pulang ke Bali. Saat kesempatan itu aku mengajak Sari dan Mitha jalan-jalan ke Tirtha Empul Tampak Siring. Waktu disana situasinya hujan gerimis dan secara tidak terencana aku menyerahkan jaketku untuk dipakai oleh Mitha (waktu itu Sari sudah memakai jaket) agar tidak kedinginan. Ngasi jaket ini menjadi penyimpul bagi Mitha bahwa aku ini orang baik. Iya ya lah aku ini orang baik, tidak pernah makan sandal hehehe.
Kesempatan selanjutnya mereka ke Bali dalam rangka jalan-jalan, saat itu selain Memek, Sari, Mitha, ada juga ikut Dayu (yang aku kenal bersama Sari di Pura Suranadi). Saat itu dengan rencar mobil aku ajak mereka jalan-jalan ke Sanur, GWK, Pantai Pandawa, dan Pura Tanah Lot. Untuk memastikan rencana pernikahan, aku juga datang ke Lombok sendirian (ini untuk kedua kalinya setelah bersama rombongan ashram).Â
Setelah disepakati maka pada Manis Galungan aku ajak keluargaku ke Lombok untuk mesadok (mencari duwasa) sekalian Tirtha Yatra dan tukar cincin. Sebelum tukar cincin aku mencoba bernego agar cincin yang dipakai itu cincin perak, ya biar murah dan kalau hilang tidak rugi hehehe. Soalnya aku kan tidak terbiasa pakai cincin sampai sekarang. Namun mereka ngotot harus cincin emas, ya jadilah aku harus beli cincin emas. Setelah melalui berbagai pertimbangan maka disepakati acaranya tanggal 29 April 2009, dengan acara di Lombok tanggal 27 April 2009.