Sepertinya judul ini terlalu lebay dan sangat tidak layak menyamakan Dilan dan aku. Dilan adalah sosok pria dengan segala cinta dan keberanian berkelahi, sedangkan aku sosok pria nihil cinta dan pengecut. Namun mendengar cerita-cerita seru sejawat diruangan kerja, anganku selalu terbang untuk membandingkan kisah hidupku sesuai setting film Dilan yakni semasa SMA.
Bicara sekolah saja Dilan dan aku sudah berbeda. Dilan bersekolah di SMA dan aku di SMK. Sebuah sekolah yang bukan tujuanku selepas SMP. Sebuah sekolah tempat pelarian ketika keinginanku bersekolah di SMKN 5 Denpasar (saat itu baru berdiri) tidak kesampaian.Â
Kenapa pelarian, karena aku tidak ingin sekolah PGRI dikampungku. Dari pada bersekolah di SMA PGRI dikampung lebih baik pilihan terakhir ini aku ambil walaupun diri ini tidak memiliki darah seni.
Pertama test saja aku sudah tidak bersemangat. Dihadapkan pada lembaran-lembaran kertas yang harus aku gores untuk menjadi pertimbangan sekolah bahwa aku layak belajar disana.Â
Walaupun akhirnya diterima, aku merasa sekolah ini seperti "gurun safana" dimana sedikit sekali wanita yang ku lihat. Berbeda dengan saat ini yang sudah mulai berimbang antara siswa pria dan wanita, dimasaku hanya ada beberapa wanita saja yang tentunya semua wanita itu sudah ada yang "mengkavling".
Kalaupun ada, wanita mana yang akan memilihku, pria kampung dengan tubuh kurus dan hitam (walaupun tidak pekat), dimana teman-teman menganggap aku lebih tepat menjadi tiang listrik daripada manusia sebenarnya.
SMK ini sesungguhnya sekolah yang hebat, dengan guru-guru berkualitas dan berjiwa seni yang luar biasa. Sekolah ini juga luas dan rindang. Namun hayalan bersekolah di kota (maklum anak kampung) dengan kenalan banyak teman wanita termasuk ketiadaan jiwa dan minat seni membautku menjadi hampa menginjak halamannya setiap hari. Dan pilihan "terpaksa" sekolah ini juga dimasa kemudian akan berulang ketika aku harus memilih perguruan tinggi untuk kuliah.
Pacaran, marahan, putus, bahkan setelah bertahun-tahun terlewati sampai masa mereka bekerja cinta itu abadi. Saat menonton film ini, kulihat para sahabatku disebelah sangat menikmati. Terkadang tertawa bahkan diselingi juga dengan butiran air mata yang keluar dan jatuh begitu saja tanpa sempat mengusapnya.
Bagaimana dengan ku? Sungguh aku tidak menikmatinya, terkadang aku menguap karena membosankan dan bikin mengantuk. Mengapa aku tidak menikmati film ini? Jawabannya hanya satu karena kisah hidupku berbeda dengan Dilan. Film ini sama sekali tidak mempresentasikan hidupku dulu semasa SMK. Dimana dimasa itu ku jalani kehidupan ini dengan kesendirian dan perjuangan hidup.
Apakah dimasaku SMK tidak mengenal kata cinta? Tentu tidak. Perasaan itu juga menghinggapiku disaat berkenalan dengan para wanita. Trus mengapa aku tidak pernah menjalani masa berpacaran? Kalau pertanyaan ini jawabannya dua.Â
Pertama seperti ceritaku diawal, sungguh berat rasanya para wanita itu akan menerima dan mau pacaran denganku. Pria dengan wajah kampungan dan kurus kering, yang tingginya menjulang diatas rata-rata sebayaku. Kedua, kehidupan semasa itu telah membuatku tidak berani menegakkan tubuh, tidak berani mendongakkan wajah, aku sadar diri ini siapa sehingga membuatku tidak kuasa mengungkapnya rasa kepada para wanita.
Caraku dulu untuk menarik hati wanita terkadang membuatku tertawa hari ini. Bangun pagi-pagi, sok sibuk dan rajin memasak, menyapu dan lain sebagainya. Sebuah cara klasik yang kini tidak menjadi pertimbangan bagi para wanita dalam menentukan pilihan.
Bisa melewati masa SMK sungguh sudah menjadi sebuah prestasi dalam hidupku. Diawal menginjakkan kaki di desa itu, aku kost bersama saudaraku, dimana memasuki kelas dua ku putuskan untuk pisah. Disaat itu juga kehidupanku menjadi lebih berat karena Bapakku meninggalkan aku selamanya.Â
Semasih hidup bapakku saja, aku selalu menangis meninggalkan orang tuaku yang hanya berdua dikampung, apalagi kemudian hanya ibu saja. Beruntung kakak tertuaku mau untuk tinggal dikampung bersama ibuku. Paling tidak ibuku ada yang diajak disana.
Menjadi seperti diriku sungguh tidak mengenakkan, bahkan aku meyakini tidak banyak yang akan bisa menjalaninya. Jika ku ceritakan dengan para mahasiswaku sekarang, mungkin mereka merasa terlalu klasik seperti cerita para tetua semasa gunung agung meletus dengan makanan pokok "bungkil kedebong".Â
Namun hidupku seperti itulah yang mengantarkan aku menjadi pribadi seperti sekarang. Makan dengan hanya berlaukan garam, gula pasir dan bahkan hanya "nasi single" sungguh tidak ingin hal itu terjadi pada kehidupan anak-anakku kelak.
Salam.....
8 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H