Pertama seperti ceritaku diawal, sungguh berat rasanya para wanita itu akan menerima dan mau pacaran denganku. Pria dengan wajah kampungan dan kurus kering, yang tingginya menjulang diatas rata-rata sebayaku. Kedua, kehidupan semasa itu telah membuatku tidak berani menegakkan tubuh, tidak berani mendongakkan wajah, aku sadar diri ini siapa sehingga membuatku tidak kuasa mengungkapnya rasa kepada para wanita.
Caraku dulu untuk menarik hati wanita terkadang membuatku tertawa hari ini. Bangun pagi-pagi, sok sibuk dan rajin memasak, menyapu dan lain sebagainya. Sebuah cara klasik yang kini tidak menjadi pertimbangan bagi para wanita dalam menentukan pilihan.
Bisa melewati masa SMK sungguh sudah menjadi sebuah prestasi dalam hidupku. Diawal menginjakkan kaki di desa itu, aku kost bersama saudaraku, dimana memasuki kelas dua ku putuskan untuk pisah. Disaat itu juga kehidupanku menjadi lebih berat karena Bapakku meninggalkan aku selamanya.Â
Semasih hidup bapakku saja, aku selalu menangis meninggalkan orang tuaku yang hanya berdua dikampung, apalagi kemudian hanya ibu saja. Beruntung kakak tertuaku mau untuk tinggal dikampung bersama ibuku. Paling tidak ibuku ada yang diajak disana.
Menjadi seperti diriku sungguh tidak mengenakkan, bahkan aku meyakini tidak banyak yang akan bisa menjalaninya. Jika ku ceritakan dengan para mahasiswaku sekarang, mungkin mereka merasa terlalu klasik seperti cerita para tetua semasa gunung agung meletus dengan makanan pokok "bungkil kedebong".Â
Namun hidupku seperti itulah yang mengantarkan aku menjadi pribadi seperti sekarang. Makan dengan hanya berlaukan garam, gula pasir dan bahkan hanya "nasi single" sungguh tidak ingin hal itu terjadi pada kehidupan anak-anakku kelak.