Mohon tunggu...
I Ketut Sudarsana
I Ketut Sudarsana Mohon Tunggu... Dosen - Abdi Negara pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

I Ketut Sudarsana lahir di Desa Ulakan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Jenjang pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 4 Ulakan (1994), SMPN 1 Manggis (1997), dan SMKN 1 Sukawati (2000). Pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu di STAHN Denpasar (2004), dan Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di IHDN Denpasar (2009). Tahun 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pengalaman kerja dimulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang sebagai dosen tetap Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Adapun alamat email iketutsudarsana@uhnsugriwa.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku dan Dilan

8 Maret 2019   09:05 Diperbarui: 30 Maret 2019   10:10 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama seperti ceritaku diawal, sungguh berat rasanya para wanita itu akan menerima dan mau pacaran denganku. Pria dengan wajah kampungan dan kurus kering, yang tingginya menjulang diatas rata-rata sebayaku. Kedua, kehidupan semasa itu telah membuatku tidak berani menegakkan tubuh, tidak berani mendongakkan wajah, aku sadar diri ini siapa sehingga membuatku tidak kuasa mengungkapnya rasa kepada para wanita.

Menghibur diri ke Kintamani (1999) - dokpri
Menghibur diri ke Kintamani (1999) - dokpri
Maka jadilah kisah hidup ini berbeda dengan Dilan yang mampu memikat Milea, sosok wanita yang bahkan guru disekolah saja terpikat oleh kecantikannya.

Caraku dulu untuk menarik hati wanita terkadang membuatku tertawa hari ini. Bangun pagi-pagi, sok sibuk dan rajin memasak, menyapu dan lain sebagainya. Sebuah cara klasik yang kini tidak menjadi pertimbangan bagi para wanita dalam menentukan pilihan.

Bisa melewati masa SMK sungguh sudah menjadi sebuah prestasi dalam hidupku. Diawal menginjakkan kaki di desa itu, aku kost bersama saudaraku, dimana memasuki kelas dua ku putuskan untuk pisah. Disaat itu juga kehidupanku menjadi lebih berat karena Bapakku meninggalkan aku selamanya. 

Semasih hidup bapakku saja, aku selalu menangis meninggalkan orang tuaku yang hanya berdua dikampung, apalagi kemudian hanya ibu saja. Beruntung kakak tertuaku mau untuk tinggal dikampung bersama ibuku. Paling tidak ibuku ada yang diajak disana.

Sebuah doa untuk kehidupan yang lebih baik (1997) - dokpri
Sebuah doa untuk kehidupan yang lebih baik (1997) - dokpri
Praktis jalan hidupku setelah bapak meninggal menjadi lebih terjal. Cinta rasanya semakin menjauh. Aku habiskan kemudian hanya dengan bekerja dan bersekolah. Segala pekerjaan pernah kujalani, seperti buruh bangunan, tukang cat, tukang amplas, sampai ada Guru Made yang memberikan aku kesempatan untuk belajar di perusahannya Tunjung Putih dengan sosok pahlawan Bapa Sumardika yang mengajariku mengukir. 

Mengukir kayu dan keseharianku - dokpri
Mengukir kayu dan keseharianku - dokpri
Kutemukan banyak sahabat yang sedikit memiliki persamaan dalam masalah percintaan denganku. Sampai akhirnya kami membentuk grup yang dinamai "Alih, Aluh, Elah, Ilang" dengan program kerja utama berkirim lagu di Gema Merdeka dan Radio AR.

Crew Alih, Aluh, Elah, Ilang - dokpri
Crew Alih, Aluh, Elah, Ilang - dokpri
"Alih, Aluh, Elah, Ilang" adalah kelompok pria "perindu" cinta, bukan "penikmat" cinta. Dengan segala perjuangan keras super ekstrim untuk mendapatkan seorang wanita. Walaupun sama-sama tidak memiliki sepeda motor, namun tidak menghalangi kami berkelana selepas bekerja baik keujung Bali Barat maupun Bali Timur. 

Menjadi seperti diriku sungguh tidak mengenakkan, bahkan aku meyakini tidak banyak yang akan bisa menjalaninya. Jika ku ceritakan dengan para mahasiswaku sekarang, mungkin mereka merasa terlalu klasik seperti cerita para tetua semasa gunung agung meletus dengan makanan pokok "bungkil kedebong". 

Namun hidupku seperti itulah yang mengantarkan aku menjadi pribadi seperti sekarang. Makan dengan hanya berlaukan garam, gula pasir dan bahkan hanya "nasi single" sungguh tidak ingin hal itu terjadi pada kehidupan anak-anakku kelak.

Borobudur (1998) - dokpri
Borobudur (1998) - dokpri
Seragam batik SMK yang terus tersimpan itu memang tidak berisi kisah-kisah percintaan, namun tetap aku simpan sampai sekarang untuk mengingatkanku akan kisah kehidupan yang keras itu. Sehingga disaat melihat baju itu akan selalu mengingatkan aku untuk terus berjuang, untuk tidak merasa sombong dan tinggi, karena hidupku bermula dari goresan tinta yang kering.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun