Pada tahun 1925, dalam buku berjudul "Naar de Republiek", Tan Malaka menggagas ide mengenai Republik Indonesia. Kemudian menulis buku kedua "Massa Actie" tahun 1926. Dan Tan Malaka menganggap gerakan komunis adalah alat, bukan tujuan.
Pada tahun 1926, sebagai seorang pemikir, Sukarno muda menyampaikan gagasannya dengan artikel pada surat kabar "Soeoleh Indonesia Moeda", untuk menyatukan 3 kekuatan utama saat itu yakni kelompok "Nasionalis, Islam dan Marxis".
"Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,"
"Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini," Sukarno.
Sukarno muda pun sejak mondok di rumah HOS Tjokroaminoto telah bergumul dengan paham ideologi yang merepresentasikan ketiga kekuatan tersebut. Ada Kartosoewirjo dengan ideologi Islam konservatifnya (yang cenderung kanan) dan Semaoen, Alimin, Musso dengan membawa ideologi Komunis (kiri). Namun Sukarno lebih memilih paham Nasionalis dengan tanpa sikap superioritas atas ideologi Islam dan Komunis.
Pilihannya sebagai seorang Nasionalis kemudian ditunjukkannya dengan melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927.
Sebelum lahir Republik Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) tercatat paling kuat di Sumatera Barat. Hal ini dibuktikan bahwa PKI lah paling awal secara organisatoris melakukan pemberontakan/perlawanan terhadap Belanda.
Banyak pemuda yang masuk PKI justru bukan karena ideolginya komunis, melainkan karena PKI adalah partai yang terang-terangan berani melawan Belanda.
Pemberontakan PKI kepada pemerintahan Hindia Belanda kurun waktu tahun 1926-1927 terbesar terjadi di Silungkang, Minangkabau, Sumatera Barat. PKI ketika itu membunuh para opsir Belanda, guru agama, dan pedagang emas yang diklaim melakukan kerja sama dengan pemerintah Belanda. Namun aksi ini dapat dihentikan oleh Belanda.
Atas kegagalan tersebut Tan Malaka diburu oleh pemerintah Hindia Belanda. Menghindari atas perburuan, Tan Malaka kemudian menjadi seorang yang hidup "nomaden" (melanglang buana).
Kegagalan PKI dalam melakukan perlawan kepada Belanda tak menyurutkan pergerakan kaum cendikiawan Indonesia baik yang masih mengenyam pendidikan di Belanda maupun yang di Indonesia.