Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

1 Suro: Penghormatan Akulturasi Budaya dan Agama

30 Juli 2022   16:48 Diperbarui: 1 Agustus 2022   01:41 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerbau Bule Saat Kirab Malam 1 Suro Keraton Surakarta.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA)

Sejarah selalu mengajarkan kita bahwa pentingnya untuk membangun persatuan dan menghormati hak dalam kesetaraan. Perang Bharatayuda yang telah berlangsung lebih dari lima ribu tahun lalu karena perebutan kekuasaan antar keluarga yang merasa sebagai pewaris yang berhak tak terelakkan telah menghancurkan peradaban.

Kemunculan peradaban di belahan bumi lain tidak serta merta menjadikan perang itu terhenti. Ekpansi kekuasaan sebagai simbul kekuatan atas nama "mewakili Tuhan" didunia berlangsung silih berganti baik di era kuno maupun era abad pertengahan.

Perluasan kekuasaan dan pengaruh tejadi bahkan tercatat luasnya melampaui antar benua. Macedonia/Yunani Kuno, Romawi Kuno hingga jatuhnya Konstantinopel. Belum lagi berikutnya kekuasaan atas simbul agama Hindu, Kristen dan Islam.

Lalu kemudian terjadi era kebangkitan Eropa yang melahirkan kolonialisme dan imperialisme, bahkan perang masih kita saksikan di era modern saat ini antara Rusia - Ukraina yang nyaris menyeret negara-negara kedalam Perang Dunia ketiga.

Dwipantara pada awal Masehi, peradaban awalnya dibangun oleh pengaruh Hindu yang dibuktikan dengan Prasasti tinggalan Raja Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur dan Raja Purnawarman di Jawa Barat. Butuh waktu ribuan tahun kemudian Nusantara dipersatukan oleh Majapahit.

Membangun harmoni dengan menyatukan keberagaman (Bhinneka) sejatinya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat (Nusantara) jauh sebelum lahirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293.

Bhinneka Tunggal Ika bukanlah pemikiran autentik Mpu Tantular yang menulis Kitab Sutasoma era Majapahit. Namun konsep ini sejatinya telah diterapkan sejak era Mataram Kuno yang teraktualisasi dengan bersatunya paham Hindu - Buddha representasi Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra.

Toleransi kehidupan dalam perbedaan ini diawali pada abad ke - 8 melalui pernikahan beda agama antara Rakai Pikatan keturunan Dinasti Sanjaya dengan Pramodawardhani keturunan Dinasti Syailendra.

Saat berkuasa atas Mataram Kuno merekalah yang "melembagakan" kehidupan toleransi dalam perbedaan dengan banyak mewariskan bangunan candi bercorak Hindu dan Buddha diantaranya seperti Prambanan dan Borobudur.

Belajar dari sejarah Tanah Jawa bahwa kejatuhan Mataram Kuno karena digempur Sriwijaya dan Sriwijaya dihancurkan Kerajaan Chola dari India kemudian Majapahit hancur karena perebutan kekuasaan, lalu kehancuran Demak dan Pajang menjadikan Sultan Agung penguasa Mataram Islam (untuk membedakan dengan Mataram Kuno Hindu) mencari format dalam mengelola akulturasi ditengah sisa pengaruh Hindu dalam kekuasaan Mataram Islam.

Dengan lahirnya Kesultanan Demak dan pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit masyarakat Jawa saat itu sudah memasuki masa Islamisasi, namun dalam aktifitas kehidupan sehari-hari masih dipengaruhi Hindu, salahsatunya menggunakan kalender Saka (Hindu).

Akibatnya perayaan-perayaan adat dan budaya peninggalan Hindu, yang diselenggarakan oleh keraton dinilai tidak selaras dengan perayaan hari-hari besar Islam maka Sultan Agung yang memerintah Mataram Islam pada 1613 -1645 secara resmi memperkenalkan Kalender Jawa yang dimodifikasi dari Kalender Saka dengan Kalender Hijriyah. Karena itu pula sistem penanggalan ini disebut juga sebagai Kalender Sultan Agungan.

Pada tahun 1633 Masehi atau 1555 Saka, Sultan Agung mengganti sistem penanggalan Saka yang berdasarkan peredaran matahari dengan sistem penanggalan yang berbasis peredaran bulan.

Satu Suro merupakan bulan pertama di tahun baru Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharam di kalender Hijriah.

Seakan mengulang "sinkretisme" Hindu Buddha era Mataram Kuno 800 tahun sebelumnya maka perayaan 1 Suro menjadi aktualisasi penghormatan Sultan Agung atas dua "entitas" berbeda di bumi Mataram untuk menghormati tradisi Hindu dalam pemerintahan Kesultanan Islam.

Mengapa demikian? Karena perayaan Tahun Baru 1 Suro dalam tradisi kearifan budaya Jawa dilakukan dengan serangkaian kegiatan: "Jamasan Pusaka" bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan dan ketentraman.

Upacara Jamasan Pusaka dilakukan dengan memandikan pusaka yang berbentuk keris, tombak dan benda-benda pusaka lainnya.

"Tradisi Sedekah Laut" biasa dilakukan warga pada saat bulan Suro di sekitar Pantai Baron dan Pantai Kukup, Gunungkidul, Yogyakarta. Sedekah Laut dimulai dengan kenduri yang diikuti oleh warga yang mencari rezeki di sekitar pantai. Setelah kenduri, warga dengan pakaian tradisional kemudian membawa makanan dan gunungan yang berisi hasil bumi untuk dilarung ke laut.

Tradisi "Kirab Suro" biasa digelar Keraton Kasunanan Surakarta di Jawa Tengah, dengan  kirab kebo bule dan benda pusaka milik keraton. Setelah kirab, masyarakat akan berebut sesaji yang telah disediakan. Sebagian orang percaya jika sesaji pada malam 1 Suro dapat memberikan keselamatan dan berkah.

Tradisi "Tapa Bisu" dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta pada setiap malam 1 Suro. Ritual tersebut dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta dengan tanpa berbicara sepatah kata pun. Tradisi "Mubeng Beteng" atau keliling benteng tanpa berbicara ini diprakarsai oleh Sultan Agung

Sejarah mencatat bahwa Nusantara yang telah mengalami disintegrasi pasca Majapahit tak pernah mampu dipersatukan kembali oleh kesultanan-kesultanan di Nusantara sekalipun oleh Mataram Islam yang berpusat di Jawa.

Mataram Islam pun akhirnya harus pecah menjadi dua wilayah kekuasaan. Peristiwa ini terjadi saat Kesultanan dipimpin oleh Amangkurat I yang bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Pada jamannya, Keraton Mataram dipindah dari Karta yang berada di barat daya Kota Gede, ke Plered (kini Pleret, Bantul) di tahun 1647.

Perebutan kekuasaan antar keluarga yang merasa paling berhak atas tahta akhirnya menimbulkan perang saudara dan harus diselesaikan dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta  Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Dan bagian setengahnya menjadi Kesunanan Surakarta Hadiningrat dengan Pakubuwono III sebagai raja.

Ketika para pendiri bangsa bertekad membangun Indonesia Raya dalam pondasi Pancasila maka semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' diusulkan pertama kali oleh Mohammad Yamin pada sidang BPUPKI.

Kemudian, Sukarno juga mengusulkan semboyan ini saat lambang negara Indonesia, yakni Burung Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II yang terinspirasi dari relief Garudeya Candi Kidal.

Dalam konteks Indonesia, makna Bhinneka Tunggal Ika saat ini ditekankan pada berbagai aspek, tidak hanya keberagaman agama, tetapi juga mencakup keanekaragaman suku, budaya dan bahasa yang harus kita syukuri sebagai anugerah Tuhan.

Oleh karena itu walaupun kita berbeda dalam pilihan politik, keberagaman suku, budaya, agama, ras dan bahasa daerah seharusnya menjadikan kita tetap kokoh dalam persatuan dan tidak menjadikan hambatan untuk bersama membangun Indonesia maju.

Sekilas tentang Kalender

Berdasarkan catatan dalam Mahabharata, dengan memperhitungkan posisi benda langit, menggunakan sistem kalender, bahkan sampai melakukan analisis radiokarbon maka analisa yang paling mendekati dengan penanda memasuki jaman Kaliyuga adalah analisa Shri P.V. Holey bahwa perang Bharatayuda di Kurukshetra, India diperkirakan terjadi tanggal 13 Nopember tahun 3143 SM.

Menurut Surya Siddhanta (kitab ilmu astronomis yang menjadi dasar perhitungan Kalender Hindu dan Buddha), jaman Kaliyuga dimulai pada tanggal 18 Februari 3102 SM menurut perhitungan kalender Julian, atau tanggal 23 Januari 3102 SM menurut perhitungan kalender Gregorian, yang mana pada saat tersebut diyakini oleh umat Hindu sebagai waktu meninggalnya Sri Kresna pasca perang Bharatayuda dan dimulainya Dinasti Kuru (Pandawa) dilanjutkan oleh Parikesit.

Pasca kemunduran Kerajaaan Kuru yang dipimpin keturunan Parikesit (cucu Arjuna) kerajaan yang masih kuat di India kuno saat itu adalah Magadha.

Kerajaan Magadha adalah salahsatu dari enam belas kerajaan Mahajanapada peninggalan era Ramayana dan Mahabharata sebelum munculnya Jainisme/Jainadharma dan Buddhisme pada tahun 500an SM sebagai "aksi protes" terhadap praktek kasta dan ritual Sanatana Dharma/Hinduisme.

Sebelum ajaran Buddha mempengaruhi Tiongkok, lebih dulu dipengaruhi filsafat "Samkhya" yang merupakan filsafat tertua India Kuno. Samkhya kehadirannya lebih tua dari Veda (Sruti/wahyu maupun Smerti/yang diingat).

Maka Kong Hu Cu/Kongfuzi/Confusius  yang hidup pada masa 551 SM-479 SM melahirkan filsafat Tiongkok kuno yang mementingkan moralitas pribadi dan pemerintahan, dan menjadi populer karena azasnya yang kuat pada sifat-sifat tradisional Tionghoa yang kemudian diyakini sebagai Nabi agama Konghucu.

Usia Kalender Imlek yang mencapai tahun 2573 pada tahun ini dikaitkan dengan usia kelahiran Kong Hu Cu. Sementara jika dikaitkan dengan kelahiran Siddarta Buddha pada tahun ini memasuki tahun 2566 BE (Buddhis Era).

Kalender Imlek memadukan peredaran Bulan mengelilingi Bumi dan peredaran Bumi mengelilingi Matahari (Lunisolar/Surya-Candrakala/Syamsi-Kamariah). Umumnya tahun baru Imlek selalu jatuh di antara 20 Januari hingga 19 Februari.

Bagi orang Babilonia, bulan baru pertama setelah titik balik musim semi menandai dimulainya tahun baru. Masyarakat Babilonia merayakan pergantian tahun dengan festival keagamaan yang disebut Akitu. Nama Akitu berasal dari kata Sumeria yang memiliki arti memotong musim semi.

Kalender Romawi awal terdiri dari 10 bulan dan 304 hari, dengan setiap tahun baru dimulai pada titik balik musim semi. Kalender tersebut dibuat oleh pendiri Roma, Romulus pada 800 SM.

Seperti dikutip dari Live Science, sistem penanggalan internasional saat ini adalah AD dan BC. AD adalah singkatan dari Anno ab incarnatione  Domini atau Anno Domine dari bahasa Latin yang artinya in the Year of Our Lord (tahun Tuhan).

Sedangkan istilah BC adalah singkatan dari Before Christ yang artinya Sebelum Kristus/Sebelum Masehi (SM).

Meskipun sistem penanggalan AD dan BC menjadikan Yesus sebagai fokus utama, tetapi sistem ini tidak ditemukan dalam Alkitab (Bible). Malahan sistem tersebut aslinya berasal dari seorang Biksu Kerajaan India Skithia (Scythian/Kerajaan Saka) bernama Dionysius Exiguus.

Dionysus berupaya menetapkan AD 1 atau 1 Masehi sebagai tahun kelahiran Yesus Kristus tetapi tidak sesuai perkiraannya dalam beberapa tahun. Tujuan Dionysius yang sebenarnya adalah mencoba menentukan hari yang tepat bagi orang Kristen merayakan Paskah.

Hampir seribu tahun kemudian cara untuk mengetahui waktu merayakan Paskah menyebabkan kalender Romawi mengalami penyesuaian. Penambahan komponen SM atau BC terjadi dua abad setelah Dionysus.

Raja Romawi berikutnya yang bernama Numa Pompilius menambahkan bulan yang disebut Januarius dan Februarius.

Dalam Astronomical Observations (2009) suntingan Erik Gregersen, Julius Caesar meminta bantuan seorang ahli astronomi dan matematika dari Alexandria, sebuah daerah disekitar Kerajaan India Skithia (Scythian/Kerajaan Saka) bernama Sosigenes.

Sosigenes menyarankan agar kalender baru dibuat dengan mengikuti perputaran matahari seperti yang sudah diterapkan oleh orang-orang Mesir Kuno, satu tahun dihitung 365 seperempat hari. Julius Caesar setuju dan menambahkan 67 hari pada 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.

Untuk menghindari kesalahan/menyimpang dalam rumusan kalender baru itu, Julius Caesar menambahkan satu hari pada bulan kedua (Februari) setiap empat tahun kemudian kita kenal sebagai tahun Kabisat. Penyesuaian Kalender Romawi ini kemudian dikenal dengan nama Kalender Julian, diambil dari nama Julius Caesar.

Setelah lama digunakan, ternyata masih ditemukan kesalahan perhitungan dalam kalender Julian. Pada tahun 1570an kalender Julian melenceng 10 hari.

Kemudian Paus Gregorius XIII membuat sistem penanggalan yang baru. Kalender ini dikenal sebagai kalender Gregorian atau Kalender Masehi yang memindahkan tahun baru yang semula 25 Maret menjadi 1 Januari. Kalender Masehi atau kalender Gregorian pertama kali dikenalkan pada tahun 1582.

Kemudian Kalender Gregorian ini diterima penggunaannya menjadi standar internasional pada tahun 1988. Inilah kemudian digunakan sebagai standar waktu untuk menghitung umur atau kejadian masa lampau baik Sebelum Masehi atau Masehi saat ini.

Sementara Kalender Hijriyah terhitung dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ke Makkah dan Madinah pada tahun 622 Masehi.

Arab Saudi yang semula memakai kalender Hijriah, tahun 2016 mulai memakai kalender Masehi.

Kerajaan India-Skithia atau Kerajaan Saka adalah kerajaan di India utara dan Asia Tengah sekitar 200 SM. Kerajaan ini berdiri seiring migrasi bangsa Skithia (disebut juga bangsa Saka) ke Baktria, Sogdiana, Arakhosia, Gandhara, Kashmir, Punjab, Gujarat, Maharashtra dan Rajasthan.

Daerah tersebut saat ini bernama Afganistan, Pakistan dan India. Salah satu dari lima suku Yuezhi utama di Baktria yaitu Kushanas mengalahkan bangsa Saka dan mendirikan Kerajaan Khusan. Untuk menghormati bangsa Saka yang telah ditaklukkan maka Kalender Saka (lunisolar) dimulai dari hari penobatan Kanishka sebagai raja pada tahun 78 Masehi.

Satu tahun Saka dibagi menjadi dua belas bulan, yaitu:

Caitramasa (Maret-April),
Wesakhamasa (April-Mei),
Jyesthamasa (Mei-Juni),
Asadhamasa (Juni-Juli),
Srawanamasa (Juli-Agustus),
Bhadrawadamasa (Agustus-September),
Asujimasa (September-Oktober),
Kartikamasa (Oktober-Nopember),
Margasiramasa (Nopember-Desember),
Posyamasa (Desember-Januari),
Maghamasa (Januari-Pebruari),
Phalgunamasa (Pebruari-Maret),

Kalender Saka digunakan oleh masyarakat Indonesia (Nusantara) sebelum masuknya Islam. Di Jawa, Sunda dan Bali kalender Saka ditambahi dengan cara penanggalan lokal dan penamaan bulan yang berbeda.

Kalender Saka Sunda terdiri dari bulan sebagai berikut:

Setra
Wesaka
Yesta
Asada
Srawana
Badra
Asuji
Kartika
Margasira
Posya
Maga
Palguna

Kalender Saka Jawa terdiri dari bulan sebagai berikut:

Kadasa (Maret-April)

Dhesta (April-Mei)
Sadha (Mei-Juni)
Kasa (Juni-Agustus)
Karo (Agustus)
Katiga (Agustus-September)
Kapat (September-Oktober)
Kalima (Oktober-Nopember)
Kanem (Nopember-Desember)
Kapitu (Desember-Pebruari)
Kawolu (Pebruari-Maret)
Kasanga (Maret)

Kalender Jawa Islam terdiri dari bulan sebagai berikut:

Sura
Sapar
Mulud/Rabingulawal
Bakda Mulud/Rabingulakir
Jumadil Awal
Jumadil Akir
Rejeb
Ruwah/Arwah/Saban
Pasa/Puwasa/Syam/Ramelan
Sawal
Sela/Dulkangidah
Besar/Dulkahijjah

Kalender Saka Bali bisa dianggap istimewa sebab kalender Saka Bali adalah penanggalan "konvensi". Tidak mutlak astronomis seperti kalender Hijriyah, tetapi tidak pula seperti kalender Jawa, tetapi 'kira-kira' ada di antara keduanya.  

Kalender Saka Bali terdiri dari bulan sebagai berikut:

Kadasa (Maret-April)
Jyestha (April-Mei)
Sadha (Mei-Juni)
Kasa (Juni-Agustus)
Karo (Agustus)
Katiga (Agustus-September)
Kapat (September-Oktober)
Kalima (Oktober-Nopember)
Kanem (Nopember-Desember)
Kapitu (Desember-Pebruari)
Kawolu (Pebruari-Maret)
Kasanga (Maret)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun