Mohon tunggu...
PENAKU
PENAKU Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tari Pena

Menulis Adalah Caraku Mengenal Diri Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pria Misterius

6 Mei 2022   10:22 Diperbarui: 7 Mei 2022   11:32 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu langit tampak cerah tanpa segumpal awanpun. Burung-burung berkicau ria, rumput-rumputpun berlambai-lambai menampilkan keindahannya di sepanjang jalan kota Sari. Sebuah bus mini putih tampak santai menyusuri jalan dengan alunan musik khas Timor, menambah kenyamanan penumpang didalamnya. Di deretan paling ujung tampak seorang pria bertubuh tinggi dengan body yang ideal memakai masker hitam, tepat berhadapan langsung dengan teman seperjalananku. Sementra aku memilih duduk di bangku paling depan berdekatan dengan sopir.

Kali ini Sopir beralih musik , yang tadinya musik Timor ala-ala Portu dam biasanya meransang orang untuk berdansa sampai subuh di acara pesta, diapun memutar lagu yang berjudul "Memories" by Maroon. Lagu ini membuat aku flashback dengan momen ketika beberapa temanku mengikuti lomba fashion show di lokasi CGSS (Chemistry Going to School and Society) di kecamatan Biboki selatan Januari lalu, dengan lekuk tubuh yang indah bebrbalut kain adat daerah Timor mereka berjalan berpasangan diatas panggung diiringi musik ini, keren banget. Aku mencoba untuk ikut bernyanyi kecil kebetulan aku tahu liriknya.

Suasana di dalam bus tampak santai meskipun dari tadi tak ada satupun yang ajak bicara. Semuanya masing-masing fokus pada hanphone, entah ada aktivitas apa disana. Sementara aku asyik sendiri didepan, malas otak-atik Hp soalnya bikin pusing. Tanpa sengaja mataku tertuju pada spion, disana terlukis bayangan wajah si sopir dengan anting yang memenuhi daun telinga, rambut keriting warna pirang dengan senyum khasnya tertuju padaku sambil sedikit membenarkan rambutnya yang tertiup angin. Aku menanggapinya biasa saja kemudian sebuah pertanyaan tiba-tiba menyambar telingaku.

"Kalau tidak salah Nona orang Manggarai ya? Iya, jawabku singkat. "Oh berarti Enu dong? Aku pun membalasnya dengan senyum. Biasanya kalau putih, manis, hidung pesek, tahu memang itu dari Manggarai, sambungnya. Sok tau banget sih, celotehku dalam hati. Tetapi tidak apa-apa biar sedikit memcah kesunyian. " Ohya... kebetulan aku suka dengan lagu Manggarai, apakah di Hpmu ada? Tanya si sopir dengan nada so akrab. Hmm... ada sih tetapi tidak banyak, sepertinya Cuma dua saja, soalnya aku kurang koleksi lagu daerah Manggarai. Walah... parah kamu, masa tidak mau koleksi lagu daerah sendiri, ok.. aku coba minta dua itu saja, tandas si sopir sambil menggapai gawainya. Kemudaian aku mengambil Hp dan mulai mengirm lagu berjudul " Molas Ita dan Mata Leso Ge" by Icen Jumpa dan Ivan Nestorman.

Kemudian dia coba memutar lagu-lagu tersebut di playlistnya dan disambungkan menggunakan bloototh ke tape recorder mobilnya.

Asyik juga ya dengar lagu Manggarai meskipun aku kurang tahu artinya, kemudian mencoba untuk menanyakan beberapa kosa kata yang dia tangkap dari lirik lagu berjudul " Molas Ita".

"Kalau molas artinya cantik to? Iya, benar. "Hmm.. kayak kamu, ucapnya sembari pasang muka genit" ini orang mulai deh..akupun memilih untuk mundur dan duduk agak dekat dengan temanku.

Setiba di perempatan mobil berhenti mengikuti isyarat lampu merah. Tampak pria bermasker itu menatap diriku. Terbaca dari aura yang terpancar di matanya, sepertinya dia sedang tersenyum kepadaku. Aku coba membalasnya meskipun bibirku agak kaku. Tiba- tiba dia beranjak dari tempat duduknya, aku pikir dia mau turun ternyata mau pindah tempat duduk tepat di sampingku. Aku hanya melihatnya sambil geser-geser sedikit biar tidak terlalu rapat.

Suasana berubah menjadi canggung dengan tatapan yang tak henti-hentinya terpampang 30 cm dari mataku, membikin perasaan saya tambah panik. Apa-apan ini? Kok sampai segitunya dia tatap aku, lagian siapa sih ini orang? Dari tadi kerjanya main lirik doang, apa matanya tidak cape kali ya? Entah sopir penumpang juga sama saja! Cetusku dalam hati sambil melemparkan pandangan keluar dengan perasaan yang tidak nyaman.

Kemudian sebuah pertanyaan dengan nada datar menggema dikupingku. " Enu kamu sudah lama disini? Iya kak, jawabku sambil membenarkan posisi duduk. " Sudah berapa tahun? Dia lanjut bertanya. Sudah satu tahun kak, aku berusaha menjawabnya dengan rileks.

" Ibu saya juga orang Manggarai, Bapak saya dari Kefamenanu dan saya lahir dan di besarkan di Kefamenanu juga. Dia coba menerangkan sebagian identitasnya tanpa ada yang tanya.

Ohya... sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan, nama saya Raffaell, saya tinggal di Kota Baru, katanya sembari senyum, meskipun terbaca dari matanya saja, entah bagaimana model lengkungan bibir maskulinnya di balik masker hitam itu, akupun tidak tahu. Ternyata dia ramah juga. " Kalau kamu? Aku Hanna dan aku juga tinggal di Kota Baru juga, jawabku . " Berarti kita sama dong. Kalau boleh tahu kamu semester berapa dan program studi apa?  Aku semester III, program studi Kimia, jawabku sambil memeberi kode supaya segera dilepaskan tanganku dari genggamannya. Oh iya... maaf ade keasyikan ngobrol jadi...katanya dengan nada akrab. Aku mendehem, kemudian balik bertanya dengan pertanyaan yang serupa dengannya.

" Saya semester VI dan program studi Ekonomi Manajemen dek" oh begitu kak, balasku sambil tersenyum manggut-manggut.

Suasana kembali hening sejenak, kemudian dia memberanikan diri untuk meminta nomor WhatsAppku sambil menyodorkan handphennya. Akupun mulai mengetik beberapa angka cantik dilayar gawainnya kemudian save.

" Kalau boleh kakak bisa minta juga ko? Tawar si sopir genit dengan logat khas Timornya yang ternyata sedari tadi menyimak obrolan kami. Aku mencoba untuk tidak respon.

"Ade nanti kakak chat ya? Ok kak.

Jujur, sebagaimanapun perkenalan tanpa mengenal wajahnya dengan jelas tentu sangat penasaran. Tetapi dari cara bicaranya aku bisa menilai dia orang baik.

Tak terasa bus sudah membawa kami sampai di pertigaan, kami turun disitu, tampak ke kanan arah menuju Kostku. Kak Raffaell juga ikut turun karena ternyata kami juga searah tetapi beda gang saja. Sesampainya di indekos aku langsung membuka ponselku, sebuah pesan WhatsApp dari nomor baru dengan isi pesan "save ya nona manis, Raffaell" ditambah dengan emoticon love dibelakangnya. Aku mencoba melihat profil WhatsAppnya, lagi-lagi dia membuat aku penasaran. Di sana terpampang gambar burung Garuda Panca Sila, bukan fotonya. Kok malah lambang negara sih... aku berdengus kesal. Yah.. beginilah risikonya perkenalan ditengah wabah Corona virus disease, desahku sambil membayangkan pria bermasker hitam itu.

Aku memang jarang punya kuota internet, dua hari saya offline. Kebetulan ada pulsa nyasar di handphoneku, aku mencoba untuk mengaktifkan WhatsApp. Betapa kagetnya saya dengan notifikasi yang begitu banyak bertubi- bertubi muncul di WhatsAppku, anehnya pesan tersebut berasal dari nomor baru semua. Aku coba ladeni satu- satu, singkat cerita ternyata mereka mengambil nomorku dari group kelas pintar, kebanyakan berasal dari Sulawesi, Surabaya dan Denpasar. Diantara kelima puluh pesan masuk tersebut terselip notifikasi dari kak Faffaell dengan sepuluh panggilan video tak terjawab. Hifth...payah!!.

Penulis: Priska Dium

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun