Mohon tunggu...
Ikbar Raihan Rasyiq
Ikbar Raihan Rasyiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Membicarakan apapun tentang sosial dan kejahatan

Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Noble Cause Corruption: Ketika Korupsi Seolah Bisa Dibenarkan

31 Januari 2025   16:52 Diperbarui: 31 Januari 2025   16:52 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Themis Statue Standing on Dollar Notes (Canva/Macniak)

Korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial. Kejahatan ini tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin dalam. Oleh karena itu, korupsi sering dikategorikan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan khusus dan hukuman yang berat.

Secara umum, hampir semua orang sepakat bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Namun, bagaimana jika ada tindakan koruptif yang dianggap memiliki tujuan baik? Fenomena ini baru menjadi perbincangan setelah pernyataan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang memperkenalkan istilah "sogokan khasanah". Pernyataan ini muncul dalam rapat dengar pendapat di DPR pada 22 Januari 2025, yang membahas izin pengelolaan tambang bagi organisasi keagamaan dan perguruan tinggi. Dalam diskusi tersebut, anggota Baleg DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, bertanya apakah pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan bisa dianggap sebagai bentuk "sogokan" dari pemerintah agar ormas tidak lagi bersikap kritis.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, menyampaikan dengan nada bercanda bahwa pemberian izin itu bukanlah sogokan dalam arti negatif, melainkan suap khasanah, karena hasilnya dapat memberikan manfaat bagi rakyat. Pernyataan ini langsung menuai kontroversi, karena seolah memberikan justifikasi terhadap tindakan yang dalam banyak konteks dianggap sebagai bentuk korupsi.

Fenomena pembenaran atas praktik koruptif demi kepentingan yang lebih besar sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam studi kriminologi. Konsep ini dikenal sebagai noble cause corruption, yaitu korupsi yang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi mencapai tujuan yang dianggap mulia.

Konsep noble cause corruption pertama kali diperkenalkan oleh Carl B. Klockars, seorang kriminolog dari University of Delaware, dalam esainya yang berjudul "The Dirty Harry Problem" (1980). Dalam esai tersebut, Klockars membahas dilema moral yang sering dihadapi oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi, yang merasa perlu menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk mencapai keadilan.

Sebagai contoh, ia mengangkat film "Dirty Harry" (1971) yang mengisahkan seorang polisi San Francisco, Harry Callahan, yang mengejar pembunuh berantai bernama Scorpio. Karena tidak memiliki cukup bukti untuk menahan tersangka secara legal, Harry memilih menggunakan penyiksaan untuk mendapatkan informasi tentang korban berikutnya. Namun, meskipun niatnya adalah menyelamatkan nyawa, metode yang digunakannya melanggar hukum, sehingga informasi yang diperoleh dinyatakan tidak sah oleh pengadilan. Akibatnya, tersangka dibebaskan. Kasus seperti ini mencerminkan dilema noble cause corruption, yaitu ketika seseorang merasa harus melanggar aturan demi mencapai tujuan yang dianggap lebih besar.

Seiring waktu, konsep noble cause corruption berkembang dan banyak dibahas dalam literatur akademik. Salah satu yang meneliti lebih lanjut adalah Seumas Miller, seorang filsuf asal Australia, dalam bukunya "Institutional Corruption" (2017). Menurut Miller, noble cause corruption berbeda dari korupsi biasa, yang biasanya didasari oleh kepentingan pribadi untuk meraih keuntungan. Sebaliknya, noble cause corruption lebih sering terjadi dalam institusi seperti kepolisian, militer, dan politik, di mana seseorang merasa terpaksa melakukan tindakan ilegal demi kebaikan yang lebih besar.

Dalam konteks kepolisian, noble cause corruption sering kali berbentuk pemalsuan bukti, kekerasan terhadap tersangka, atau penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Meskipun tujuannya adalah menangkap pelaku kejahatan, tindakan ini justru merusak sistem hukum yang seharusnya mereka tegakkan. Dalam banyak kasus, metode seperti ini berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan justru menimbulkan ketidakadilan, misalnya dengan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah.

Di dunia politik, noble cause corruption kerap terjadi. Contohnya adalah manipulasi pemilu yang dilakukan untuk "menjaga stabilitas negara" atau "mencegah pihak yang salah berkuasa." Dalam beberapa kasus, praktik semacam ini dilakukan dengan dalih bahwa tujuan akhirnya lebih penting dibandingkan dengan cara yang digunakan untuk mencapainya.

Noble cause corruption juga muncul dalam perang melawan narkoba di Kolombia, ketika pemerintah dan badan intelijen AS bekerja sama dengan kelompok kriminal untuk menangkap Pablo Escobar. Dalam situasi ini, metode ilegal seperti pembunuhan di luar hukum dan kerja sama dengan kelompok vigilante digunakan dengan alasan menyelamatkan negara dari kehancuran. Namun, praktik ini pada akhirnya menciptakan lebih banyak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Meskipun tampak berbeda dari korupsi konvensional yang dilakukan demi kepentingan pribadi, noble cause corruption tetap berbahaya bagi sistem hukum dan keadilan. Justifikasi terhadap tindakan ilegal dapat membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang semakin luas. Jika aparat hukum, politisi, atau organisasi mulai menganggap bahwa tujuan "menghalalkan segala cara", maka batasan antara yang benar dan yang salah akan menjadi kabur. Oleh karena itu, noble cause corruption adalah tindakan yang tidak bisa dinormalisasi karena berpotensi merusak fondasi sistem hukum dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun