Mohon tunggu...
Ikbar Raihan Rasyiq
Ikbar Raihan Rasyiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Criminology Student at University of Indonesia

A Student and Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fanatisme Tanpa Harus Mengkultuskan

16 Januari 2025   20:40 Diperbarui: 16 Januari 2025   20:40 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A lot of candles in the dark (Sumber: Canva/mutluy)

Fenomena fanatisme terhadap seseorang sering kali dianggap sebagai cerminan sifat manusia yang membutuhkan sosok panutan. Dalam banyak budaya, penghormatan kepada individu tertentu sering berkembang menjadi pengagungan yang berlebihan, hingga membuat seseorang mengabaikan rasionalitas. Fenomena ini semakin relevan di era modern, saat media sosial memungkinkan individu membangun citra sebagai figur publik yang hampir sempurna. Namun, ada bahaya besar di balik rasa kagum yang berlebihan karena berpotensi menciptakan situasi di mana seseorang dianggap begitu suci dan tak pernah salah.

Fanatisme dapat diartikan sebagai bentuk keterikatan emosional yang kuat terhadap seseorang, ide, atau kelompok. Di Indonesia, fanatisme ini dapat ditemukan terhadap seorang tokoh dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu selebriti, politikus, maupun agamawan. Misalnya, seorang tokoh publik sering diikuti dengan penuh antusiasme oleh para penggemarnya. Beberapa orang bahkan rela melakukan apa saja demi membela idolanya, termasuk menyerang siapa pun yang berani mengkritik figur tersebut.

Contoh paling nyata dapat ditemukan dalam dunia politik dan agama, di mana figur pemimpin sering dianggap sebagai sumber kebenaran absolut. Para pengikut cenderung membela mereka tanpa mempertanyakan tindakan yang diambil, meskipun tindakan tersebut berdampak buruk pada banyak pihak. Di dunia hiburan, fenomena serupa terjadi dalam bentuk "fan war," di mana kelompok penggemar dari seorang selebriti berkonflik dengan kelompok lain demi membela idolanya masing-masing.

Meskipun rasa kagum adalah sifat manusiawi, ketika berubah menjadi fanatisme berlebihan, ia akan menghilangkan kemampuan kritis masyarakat. Situasi ini menciptakan ruang di mana individu yang diagungkan tidak dapat dipertanyakan atau dikritik, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh.

Dalam banyak literatur tentang komunikasi massa, fanatisme yang telah mencapai tahap ekstrem disebut sebagai pengkultusan. Suzanne et al., dalam penelitiannya tentang Cults and Online Violent Extremism, menjelaskan bahwa pengkultusan tidak selalu berkonotasi negatif. Ketika individu mengagumi atau mencintai seorang influencer, kelompok musik, atau bahkan suatu merek, mereka dapat dianggap sebagai "pengikut kultus" yang setia. Namun, dalam media komunikasi massa, makna kultus sering bergeser menjadi praktik atau kepercayaan yang dapat menyebabkan kekerasan. Hal ini melahirkan istilah "cult-radicalism," yaitu perubahan fanatisme menjadi pengkultusan yang mengarah pada radikalisme.

Cult-radicalism adalah salah satu bentuk ekstrem dari pengkultusan. Istilah ini mengacu pada kelompok-kelompok yang mengadopsi ideologi ekstrem dan menuntut loyalitas penuh dari anggotanya terhadap seorang pemimpin atau sistem kepercayaan tertentu. Dalam konteks ini, pemimpin kelompok sering dianggap sebagai figur ilahi yang memiliki otoritas mutlak.

Michael Barkun, dalam bukunya Religion and the Racist Right, menjelaskan beberapa ciri khas cult-radicalism. Pertama, kelompok ini sering menganut ideologi yang sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan norma sosial dan budaya yang berlaku. Ideologi tersebut biasanya didorong secara intens oleh seorang pemimpin atau figur spiritual yang karismatik, yang dianggap sebagai sumber utama otoritas dan kebenaran. Kedua, kelompok ini sering membangun sistem kepercayaan eksklusif, menolak pandangan dunia luar, dan meyakini bahwa hanya mereka yang memiliki akses terhadap kebenaran mutlak atau istimewa. Selain itu, kelompok semacam ini sering menggunakan teknik manipulasi psikologis untuk mempertahankan kontrol terhadap anggotanya, seperti isolasi sosial dan penguatan identitas kelompok.

Beberapa contoh nyata dari cult-radicalism dapat ditemukan dalam peristiwa terkenal, seperti Aum Shinrikyo di Jepang yang bertanggung jawab atas serangan gas sarin di Tokyo pada tahun 1995. Di Indonesia, meskipun tidak selalu terorganisir dalam bentuk "cult," kita juga menghadapi fenomena di mana individu atau kelompok tertentu mengajarkan kepatuhan buta terhadap seorang pemimpin atau ideologi.

Mengagumi seseorang adalah hal yang wajar dan dapat menjadi sesuatu yang positif. Kekaguman bisa memotivasi diri untuk belajar dari pengalaman orang lain. Namun, penting untuk menjaga rasa kagum ini dalam batas yang rasional agar tidak berubah menjadi fanatisme berlebihan. Di tengah budaya sosial yang semakin terhubung karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara mengagumi seseorang dan tetap berpikir kritis terhadap tindakan mereka. Ketika rasa kagum tidak dijaga dengan baik, ia dapat berkembang menjadi fanatisme berlebihan dan menjadi pengkultusan yang ekstrem.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun