Mohon tunggu...
Ika Virginaputri
Ika Virginaputri Mohon Tunggu... -

A free-spirited writer, humanist at heart, current-affair observer.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sertifikasi Hutan: Proteksi atau Bisnis?

17 Januari 2014   03:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hutan mempunyai peran penting sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen dan rumah bagi berbagai jenis keaneka ragaman hayati. Di dalamnya terdapat banyak sumber pangan, obat-obatan dan bahan mentah yang jika diolah bisa sangat bermanfaat untuk kelangsungan makhluk hidup. Dengan luas ratusan juta hektar yang terbentang di dunia dan meningkatnya populasi manusia, maka tak terhindarkan lagi apabila hutan dan segala isinya menjadi sasaran eksploitasi. Pohon-pohon didalamnya ditebangi untuk bisnis kayu dan kertas, hewan-hewan langka penghuni hutan dijual bebas, bahkan dihabisi untuk diambil salah satu organnya. Dan setiap tahun sekitar 12-15 jutaan hektarnya beralih fungsi menjadi perkebunan atau pemukiman. Singkat kata, hutan dan isinya merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Di Indonesia saja, sektor kehutanan menyumbang sekitar US$ 7-8 miliar pertahunnya.

Kegiatan eksploitasi hutan menimbulkan kecenderungan turunnya luas dan kualitas hutan dunia dari tahun ke tahun. Hal ini sudah pasti menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis lingkungan yang lantas berinisiatif membuat sistem sertifikasi untuk melindungi kelestarian hutan. Skema sertifikasi hutan pertama dan paling terkenal adalah Forest Stewardship Council (FSC) yang dibuat pada tahun 1993. Setelahnya, muncul program sejenis seperti PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification), SFI (Sustainable Forest Initiative) dari Amerika Serikat, atau LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). Tugas mereka adalah menjadi konsultan yang melakukan penilaian terhadap aktivitas produksi para pelaku bisnis sektor kehutanan. Hasil penilaian tersebut berupa sertifikasi ramah lingkungan. Menjaga kelestarian hutan sekaligus menjamin para produsen menghasilkan barang-barang ramah lingkungan untuk konsumennya terdengar seperti tugas mulia. Belakangan kesan idealis itu banyak dipertanyakan. Kenapa?

Ketatnya peraturan lingkungan yang diterapkan oleh banyak negara maju untuk barang-barang yang mereka impor jelas berpengaruh besar bagi sektor kehutanan. Terutama di negara-negara berkembang yang reputasi lingkungannya tak terlalu bagus akibat tingginya angka deforestasi untuk kepentingan industri. Walau sifatnya sukarela, tapi para produsen harus mengantongi sertifikasi ramah lingkungan dari lembaga-lembaga seperti FSC dan PEFC jika ingin produk mereka tetap bersaing di pasar global. Proses pengurusannya jelas tidak murah. Di sini, Direktur Utama PT. Roda Mas Timber, Bambang Purwanto, menyatakan bahwa perusahaannya menghabiskan Rp. 3 miliar dalam kurun waktu 3 tahun untuk mendapatkan sertifikasi FSC. Tak jauh berbeda dengan keanggotaan PEFC yang berkisar antara US$ 10.220 (Rp. 120 juta) sampai US$ 99.000 (Rp. 1,1 milyar) pertahun, tergantung dari skala bisnis anggotanya. Biaya tersebut jauh lebih mahal dibanding tarif pembuatan sertifikasi SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan Indonesia. Dengan standar yang lebih ketat dan lebih tinggi (dan juga sudah diakui oleh banyak negara maju), perusahaan hanya harus membayar RP. 50 juta (US$ 4.200) ke Kemenhut. Bisa bayangkan berapa pendapatan FSC dan PEFC sebagai dua raksasa sertifikasi hutan dengan ribuan sertifikasi yang mereka keluarkan untuk klien mereka?

Motif mencari keuntungan itu makin jelas terlihat saat FSC dan PEFC menentang proposal standardisasi bagi produk kehutanan bersertifikat yang diajukan Deutsches Institut für Normung (DIN/German Institute for Standardization) dan ABNT (Associação Brasileira de Normas Técnicas atau Brazilian National Standard Organization). Proposal yang diajukan pada pertengahan 2013 tersebut didasari oleh fakta banyaknya lembaga sertifikasi hutan dengan prinsip dan standar penilaian yang berbeda, sehingga dibutuhkan satu standar bersama untuk menyamakan penilaian. Banyak yang langsung bersuara keras mengkritik penolakan FSC dan PEFC tersebut sebagai ketakutan akan persaingan dan tak lebih sebagai usaha menyelamatkan income lembaga mereka. Pendapat tersebut antara lain diungkapkan oleh Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakat Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN), Dewi Odjar Ratna Komala, yang menyatakan bahwa protes FSC dan PEFC itu sebagai kampanye perang standar. Komentar senada juga diucapkan oleh pendiri The Forest Trust (TFT), Scott Poynton, yang mengatakan bahwa FSC dan PEFC hanya bermaksud menyerukan supaya jangan ada persaingan baru dalam proses sertifikasi hutan.

Lucu juga rasanya mendengar kritik Poynton di situs mongabay.com itu. Terdengar mirip dengan kritik FSC yang tak henti-hentinya mengecam PEFC. Tak hanya menilai standard penilaian dan kebijakan PEFC yang lemah, FSC juga mengklaim sertifikasinya adalah yang terbaik di dunia. Padahal tak sedikit lembaga yang keluar dari keanggotaan FSC karena merasa banyak penyimpangan di lembaga itu. Salah satu buktinya ditulis oleh Niger Innis dalam laporannya yang berjudul “Stop the War on the Poor: FSC and NGO’s Mythology yang dirilis Juli 2011. Dalam laporan setebal 13 halaman, Innis yang merupakan juru bicara Congress of Racial Equality itu memaparkan penjelasannya kenapa FSC sama sekali tidak transparan, tidak melindungi spesies yang terancam punah, dan juga tidak membantu kaum miskin di dunia, seperti yang FSC akui selama ini.

Sekali lagi, lucu kan, melihat para aktivis LSM yang mengaku sebagai pejuang kelestarian lingkungan, ternyata malah saling tuding alih-alih saling dukung demi terwujudnya misi mereka? Mirip kampanye politikus-politikus yang saling menjatuhkan dalam persaingan merebut kekuasaan. Membuat masyarakat awam semakin bertanya-tanya apakah motif mereka yang sebenarnya? Murni untuk kepentingan lingkungan hidup atau hanya cari untung belaka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun