Perempuan yang memimpin Confederation of Agriculture and Livestock (Konfederasi Agrikultur dan Peternakan di Brasil) itu bahkan tak keberatan dijuluki “chainsaw queen” dan “Miss Deforestation” oleh para aktivis lingkungan karena pengaruhnya “melonggarkan” ketatnya hukum lingkungan di Brasil. Akhirnya Abreu “menang” atas upayanya “melawan” para aktivis lingkungan itu, dilatarbelakangi situasi ekonomi Brasil yang kian tergantung pada sektor agribisnis.
Namun sebesar apapun ambisi Abreu meningkatkan potensi agribisnis Brasil, dia tetap mendukung gerakan penyelamatan hutan demi memulihkan reputasi buruk negaranya sebagai perusak lingkungan peringkat pertama dunia.
"Kita (Brasil) punya semua elemen penting: air yang melimpah, teknologi canggih, dan tanah yang luas untuk produksi. Berdasarkan hal itu, kita bisa jadi nomor satu tanpa perlu menebang pohon,” ujar Abreu.
Apa yang dikatakan Abreu sesuai dengan teori Wolfgang Sachs bahwa manusia akan selalu mengaitkan ekologi dengan ekonomi. Namun tetap harus diingat, bahwa sumber daya alam bukanlah tak berbatas. Seperti yang ditegaskan Antonio Herman Benyamin dalam seminarnya, pembangunan berkesinambungan memerlukan keseimbangan ekologis.
Hanya saja, selama ini keseimbangan ekologis dianggap tak lebih dari sekedar mitos. Untuk itu, supaya tidak menimbulkan kerugian pemanfaatan sumber daya alam, harus dibarengi dengan penegakan hukum, pengawasan, serta penggunaan teknologi yang tepat dalam pengelolaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H