Mohon tunggu...
Ika Sunarmi
Ika Sunarmi Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi. (Helvy Tiana Rosa)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salahkah Jika Saya Menyerah?

16 Oktober 2021   09:24 Diperbarui: 16 Oktober 2021   09:35 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi guru tugasnya bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Itu sebabnya kami tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Kami menanamkan karakter pada peserta didik. 

Pendidikan akan berhasil apabila ada hubungan yang baik antara pendidik, peserta didik, dan lingkungan peserta didik. Pendidik yang baik, akan mempelajari lingkungan peserta didik agar mengenal peserta itu, terutama peserta didik yang bermasalah.  

Lebih dari setahun, kita dihadapkan pada permasalahan yang sama, yaitu virus korona. Lebih dari setahun pula, anak-anak kita belajar dalam jaringan (daring) atau online. Keadaan ini tentu menimbulkan berbagai masalah baru. Bagi sekolah yang peserta didiknya berasal dari kalangan ekonomi menengah biasanya lebih cepat beradaptasi karena ketersediaan perangkat baik dari pihak sekolah maupun peserta didik sehingga pembelajaran tetap berjalan lancar. Namun, bagi sekolah dengan peserta didik dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, sebagian besar adalah sekolah negeri, tentu akan menghadapi berbagai kendala, termasuk sekolah tempat saya mengajar dan mendidik.

Masalah pertama, tidak semua peserta didik memiliki perangkat elektronik untuk dapat mengikuti pembelajaran dalam jaringan. Sebagai solusinya sekolah memberikan pelayanan luar jaringan dengan cara peserta didik dapat sekolah mengambil tugas kepada guru mata pelajaran. Seiring berjalannya waktu, para orang tua berusaha supaya anaknya memiliki perangkat elektronik dengan maksud anak dapat mengikuti pembelajaran. Namun, si anak lebih banyak menggunakan gawai untuk bermain bukan mengikuti pembelajaran ataupun mengerjakan tugas.

Sebagai wali kelas, saya berhadapan dengan hal-hal tersebut. Melakukan pemanggilan orang tua hingga berkunjung ke rumah peserta didik saya lakukan. Biasanya mereka akan berubah dalam. Kurun waktu tertentu, namun akan mulai lagi seperti sebuah siklus.

Satu di antara peserta didik saya berasal dari keluarga dengan keadaan ekonomi rendah. Dia tinggal dengan ibunya dan dua orang adiknya. Adik yang besar saat ini duduk di kelas 5 sd. Adiknya yang kecil baru berusia sekitar empat tahun. Saya ingat dengan jelas ketika itu baru semester pertama dia masuk di smp. Dia datang terlambat, saya memintanya untuk membawa surat izin masuk kelas dari guru piket. Dia kembali ke meja piket di lantai dasar, ruang kelas kami di lantai tiga. Setelah dia kembali ke kelas dan menyerahkan surat izin, di sana tertulis alasan dia terlambat karena jalan kaki. Saya tanya, di mana dia tinggal, ternyata dia tinggal cukup jauh dari sekolah. Membutuhkan waktu lebih dari tiga puluh menit untuk jalan kaki. Saya merasa bersalah karena harus memintanya kembali ke lantai satu, namun hal itu adalah bentuk pendidikan untuk menerapkan aturan.

Sejak saat itu, anak ini mendapat perhatian dari guru-guru. Kadang, ada guru yang memberinya uang jajan atau untuk naik ojek online. Ketika memasuki semester kedua, terjadi pandemi, dia menjadi anak yang saya perhatikan secara lebih. Dia tidak memiliki perangkat, ibunya tidak bekerja, hanya mengandalkan uang sisa gadai motor ibunya karena ayah sambungnya yang merantau ke jakarta sudah berbulan-bulan tidak mengirim uang. 

Saat itu, mereka tidak memiliki handphone. Biasanya saya menyampaikan informasi sekolah melalui tetangganya. Menjelang Penilaian Akhir tahun, kenaikan kelas, saya menyampaikan lagi informasi melalui tetangganya. Namun, tetangganya sudah pindah ke luar daerah dan dia memberikan handpon pada anak ini. Hal ini akhirnya membantu saya untuk dapat berkomunikasi secara langsung terhadap anak tersebut.

Ketika kelas delapan, dia sering tidak mengikuti pembelajaran. Kadang kala saya mengisikan kuota supaya dia bisa belajar, meskipun juga ada bantuan kuota dari pemerintah. Namun, anak ini sangat sering tidak mengerjakan tugas. Semua guru mengeluh, saya berusaha memanggilnya ke sekolah. Saat dia bilang tidak punya uang untuk bayar ojek online, saya bersedia membayarkan.

Saat Penilaian Akhir semester, saya meminta dia datang sekolah mengikuti PTS di lab. Komputer yang memang disiapkan untuk anak-anak yang tidak memiliki perangkat. Saat itu, saya minta dia ke sekolah meskipun dia punya handphone adalah supaya saya bisa sekalian mendampingi dia menyelesaikan tugas-tugas yang belum dikerjakan. Saya pun memberikan uang transport selama seminggu. 

Ternyata, dia memang tidak berubah, semakin banyak tugas yang tidak dikerjakan hingga nyaris tidak naik kelas. Dia juga semakin sulit dihubungi. Setiap kali saya berusaha telpon tidak pernah dijawab. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan perjanjian orang tua bahwa dia akan memperbaiki cara belajar, dia naik ke kelas sembilan.

Berada di kelas sembilan tidak membawa perubahan apa-apa. Sebelum kegiatan pembelajaran awal tahun resmi dimulai, saya sudah membuat kelompok belajar untuk kelas saya dengan harapan mereka dapat saling mengingatkan teman-temannya dalam menyelesaikan tugas. Baru seminggu pertama, tidak satu pun tugasnya dikerjakan. Saat itu, saya sedang karantina mandiri, saya telpon dia, namun dia menjawab saya dengan nada tidak sopan. Meskipun sakit hati dan rasanya ingin menyerah untuk mengurus anak ini, saya masih tetap berusaha.

Minggu keempat bulan Agus sudah mulai Pembelajaran Tatap Muka Terbatas. Sebuah momen yang sangat dinantikan baik oleh guru, peserta didik, maupun orang tua. Hari pertama masih ada beberapa anak yang tidak masuk, termasuk anak ini. Saya hubungi satu per satu, anak-anak yang tidak masuk di hari pertama dengan harapan mereka ikut PTMT di hari kedua. Benar saja, hari kedua dia pun masuk sekolah. Namun, pada hari ketiga izin karena sakit. Saat itu, saya memberi izin tetapi tugas pelajaran tetap dikirim melalui google classroom sehingga anak-anak yang tidak mengikuti PTMT tetap dapat mengerjakan tugas dan mendapat materi.

Hingga berminggu-minggu kemudian dia tidak masuk sekolah. Dihubungi tidak merespon, beberapa kali saya meminta ibunya untuk datang ke sekolah namun pesan saya tidak pernah disampaikan. Saya tidak bisa mendatangi rumahnya karena tidak tahu alamat terbarunya sejak pindah kontrakan. Satu-satunya cara adalah saya mencari adiknya yang bersekolah di sd, namun masalahnya saya tidak tahu nama adiknya, tidak tahu adiknya kelas berapa. Hanya pernah bertemu saat berkunjung ke rumahnya. 

Pada hari kedua PTS, saya bertemu adiknya tanpa sengaja. Dari adiknya inilah akhirnya, saya tahu alamatnya. Saya bersama kepala sekolah mengantar adiknya pulang. Sesampainya di rumah kontrakan mereka, anak ini sedang tidak di rumah. Dia bermain ke tempat tetangga. Dia pulang setelah dipanggil oleh adiknya. 

Dari obrolan saya dan ibunya, terungkap bahwa saat ini mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi. Sudah tidak mampu bayar kontrakan selama dua bulan sehingga mereka diusir dari kontrakan. Namun, anak ini sempat berperilaku tidak sopan terhadap saya dan kepala sekolah. Dia beralasan tidak ke sekolah karena capek jalan kaki. Dia juga mengungkapkan kemarahannya pada kerabat-kerabatnya yang tidak peduli terhadap keadaannya. Saat saya berusaha menenangkan dia inilah dia membentak saya dengan kasar dan kata-kata yang tidak sopan.

Saat itu, hati saya memang sakit tapi saya berusaha tidak marah balik terhadap remaja yang sedang labil itu.

Saat ibunya berusaha menasehatinya dia membentak kemudian beranjak dari tempat duduknya kemudian keluar rumah sambil menendang pintu yang berada tepat di sebelah kiri saya. Saat itu, rasanya sebagai guru dan wali kelasnya saya merasa gagal dalam usaha mendidik dia. Namun saya tidak serta beranjak pulang. Saya tetap berusaha berkomunikasi dan menenangkan ibunya yang menangis atas sikap anaknya tersebut.

Tidak lama kemudian, anak tersebut kembali ke dalam rumah sambil meninju-meninju dinding. Saya berusaha mengabaikan perilakunya tersebut, supaya tidak memperburuk keadaan. Saya juga berusaha menenangkan ibunya kembali agar memberi waktu pada anaknya untuk meluapkan emosinya. Saat itu, perasaan saya justru iba dan turut sedih. Saya memahami kemarahan anak itu.

Setelah beberapa saat dia kembali duduk tanpa kami minta. Saya dan kepala sekolah berpamitan kepada orang ibunya. Saya menitipkan uang transport pada ibunya, supaya anak ini bisa ke sekolah. 

Saya dekati dia, saya sampaikan permintaan maaf kalau kedatangan dan ucapan saya menyinggung perasaannya. Saat itu, dia menangis sambil minta maaf atas perilakunya. Hati saya luluh, harapan saya pada anak ini kembali bersemi. Saya yakin, kejadian hari itu akan membawa perubahan padanya.

Keesokan harinya, dia datang ke sekolah. Saya mendampinginya mengerjakan beberapa tugas. Namun, keesokan harinya dia tidak kembali. Pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, saya mengingatkan dia untuk membawa buku pelajaran yang perlu dikerjakan hari itu. Pukul delapan lewat dia belum datang, saya coba kirim pesan ke dia. Hingga siang dia tidak datang, semua pesan saya tidak dijawab.

Keesokan, saya masih berharap dia datang. Tapi dia tidak datang lagi. Saya masih berusaha menghubunginya. Siang harinya saya telepon menggunakan telpon sekolah. Dia jawab telpon saya tapi tidak berbicara. Saya mendengar dia berbisik-bisik, ketika saya bilang bahwa yang menelpon adalah saya, langsung dimatikan. Ketika saya mencoba menghubunginya lagi, panggilan saya dialihkan. Saat itu, saya merasa kecewa. Saya merasa usaha saya tidak membuahkan hasil apa-apa. Setidaknya, kalaupun tidak hadir ke sekolah haruslah ada pemberitahuan. Setelah apa yang saya lewati, kali ini saya merasa menyerah dan tidak sanggup mendidik anak ini. 

Saya sampaikan hal itu kepada kepala sekolah. Saat itulah, untuk pertama kalinya saya menangis sesenggukan. Saya memohon kepada kepala sekolah supaya anak ini pindah kelas, saya tidak lagi memiliki kemampuan. Hati saya terlanjur hancur. Jadi, demi kesehatan mental saya, salahkah jika saya menyerah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun