Mohon tunggu...
Ika Purwaningsih
Ika Purwaningsih Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

ibu rumah tangga yang sangat suka membaca...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penjual Abate, Siapakah Mereka?

17 November 2011   09:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siang ini saat sedang di rumah sendirian dan sedang menonton televisi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah. Ketika saya membuka pintu, ada dua orang perempuan yang berdiri di depan pintu. Pakaian mereka rapi, memakai celana panjang dan blazer serta membawa map dan tas. Sebelum saya bertanya apapun, mereka langsung berucap “ini kunjungan rutin pendataan penduduk bu...” sambil langsung masuk dan duduk tanpa saya persilahkan. Salah satu dari mereka mengucapkan salam sambil duduk. Lalu saya pun bertanya “maaf, ini dari mana?”, tapi sepertinya mereka mengacuhkan pertanyaan saya dengan ganti bertanya “berapa kamar mandinya?”, setelah saya menjawab mereka menanyakan nama suami lalu mencatatnya dan menyuruh saya tanda tangan.

Saya masih bingung, mereka lalu mengeluarkan bungkusan warna merah muda dengan gambar nyamuk di depannya. Saya langsung tahu kalau itu adalah abate. Mereka menjelaskan panjang lebar tentang cara pemakaiannya tanpa memberi saya kesempatan bertanya. Mereka juga mengatakan bahwa kunjungan ini hanya satu tahun sekali sehingga saya harus membelinya sekarang. Lalu mereka memberi saya lima bungkus (masing-masing bungkusan berisi 10 sachet) dan meminta saya membayar seratus ribu rupiah.

Saya pun menolak membeli semua karena di rumah yang saya tempati ini hanya ada satu bak mandi dan tidak ada tempat penampungan air lainnya. Jika dalam satu bulan hanya perlu satu sachet bukankah saya hanya memerlukan 12 sachet dalam satu tahun, jadi saya rasa lima bungkus (50 sachet) terlalu banyak untuk saya. Tapi mereka ngotot menyatakan bahwa saya harus membeli semua, bahkan membandingkan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan jika terkena demam berdarah. Setelah “tawar menawar”, dan mereka tidak juga menunjukkan identitas yang saya minta, akhirnya mereka memperbolehkan saya membeli dua bungkus dengan harga empat puluh ribu rupiah. Begitu “transaksi” selesai mereka langsung keluar tanpa mengucapkan salam.

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya siapakah mereka. Karena setahu saya selama ini abate dibagikan secara gratis oleh Dinas Kesehatan sambil melakukan sosialisasi pencegahan demam berdarah dengue (DBD). Di sini bukanlah jumlah uang yang saya permasalahkan, saya juga tidak menyesal membeli abate karena saya sadar manfaatnya, tapi cara mereka yang menjual dengan cara memaksa sangat tidak tepat dan meresahkan sampai-sampai tetangga saya bilang “nggak usah dipakai bu, simpan saja, jadi kalau ada yang datang lagi langsung tunjukkan dan bilang saja baru beli, mereka bakal langsung pergi..”, dan ibu itu pun sukses “mengusir” mereka dengan menunjukkan abate yang sudah disimpannya beberapa tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun