Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan baik dari pemberian Tuhan atau masyarakat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, kedaulatan berarti hak kuasa pemerintah terhadap urusan dalam wilayah teritorial maupun lembaga di luar wilayah teritorialnya. Penentuan apakah suatu pemerintah berdaulat atau tidak bukanlah sesuatu yang mudah dipastikan, seringkali terdapat banyak masalah sengketa diplomatik.
Sebagaimana Laut China Selatan, yang merupakan persilangan paling penting di Asia Pasifik dengan letak strategis di antara 10 negara dengan sumber daya alam yang melimpah sehingga rawan sengketa. Wilayah ini sejak 1947 telah diklaim oleh China sebagai wilayah teritorialnya dengan dibuatnya nine-dash-line, yaitu sembilan garis putus-putus yang dimulai dari perairan Mainan dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Garis tersebut menyerupai huruf "U" sehingga disebut juga Cow's Tongue (Lidah Sapi). Juga dengan menyebut bahwa pulau Paracel dan Spratly adalah bagian integral China sejak berabad-abad lalu.
Laut China Selatan memiliki peran penting sebagai jalur perdagangan negara-negara dunia. Selain Jepang, Korea dan Amerika yang juga bergantung pada jalur ekonomi Laut China Selatan, sengketa LCS juga banyak melibatkan negara lain di Asia Tenggara yang telah menyepakati UNCLOS. Namun konflik ini memanas dengan dibangunnya banyak pangkalan militer China di wilayah tersebut. Banyak negara barat yang mendesak Beijing untuk mematuhi konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS). Yang dimana peraturan tersebut dianggap oleh China bertentangan dengan hukum dalam negerinya dan dianggap sebagai alat untuk melemahkan kekuatan China di dunia internasional.
AS Melindungi kepentingannya dan para sekutunya dengan cara mempertahankan kehadiran militernya di kawasan tersebut, Pejabat Angkatan Laut AS telah meningkatkan jumlah armada pasifik di kawasan tersebut sebanyak 30% pada tahun 2021. Diketahui, AS membentuk aliansi AUKUS dan QUAD untuk membendung China di kawasan LCS dan menegaskan agar prinsip freedom of navigation tetap berlaku. Juga dengan dimenangkannya pengadilan tetap arbitrase oleh Filipina yang membantah klaim Beijing atas 90 persen LCS, yang dimana Filipina merupakan sekutu dekat AS dan telah sepakat untuk melakukan patroli bersama di LCS.
Sementara dengan semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi asia dalam dua dekade terakhir, menimbulkan semakin banyak bentrokan antara patroli angkatan laut China dan armada penangkapan ikan negara lain. Seperti bentrokan antara kapal-kapal coast guard China dan Filipina pada 5 Maret 2024 lalu, yang dimana menurut coast guard Filipina, pihak China melakukan manuver berbahaya dan menghalangi kapal Filipina mengirimkan supply ke kapal perangnya yang ada di Second Thomas Shoal. Sementara pihak China mengaku akan mengambil tindakan yang tepat untuk menghadapi provokasi di wilayah yurisdiksinya. Hal ini penting dilihat bahwa perang informasi selalu menjadi bagian dari konflik guna mencari legitimasi dari masyarakat internasional.
Sehingga banyak negara-negara barat yang mempertanyakan komitmen Washington terkait keamanan di negara tersebut. Sayangnya, AS sendiri bukan merupakan bagian dari UNCLOS. Negara dengan pengaruh paling besar ini menganggap UNCLOS akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kepentingan nasional negaranya. Seperti kegiatan penambangan di dasar laut yang sebelumnya diatur sendiri dalam hukum nasionalnya, jika AS meratifikasi UNCLOS, maka AS harus mengubah peraturan dan menaati semua undang-undang dalam UNCLOS. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu perekonomian AS. Menurut pakar hukum laut internasional, Hasjim Djalal, jika saja AS mau meratifikasi UNCLOS yang juga telah disepakati oleh lebih dari 150 pihak, dimana mereka mau berpartisipasi aktif dalam negosiasi, sejumlah persoalan LCS Â bisa diselesaikan dengan lebih menjanjikan.
Negara kita sendiri, Indonesia, menerapkan pendekatan politik netral dalam menghadapi sengketa LCS. Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto, menegaskan bahwa Indonesia tidak ingin kawasan LCS menjadi ajang proyeksi kekuatan negara major power dan menjadi episentrum konflik. Penyelesaiannya harus tetap mengedepankan jalur diplomasi. Usaha Indonesia dimulai dari 1980 an dengan menggandeng sponsor melalui Canadian International Development Agency dan British Columbia University yang kemudian menghasilkan kesepakatan berupa Declaration of The Conduct of The Parties in South China Sea. Mengadakan Asean Senior Official, Asean Maritim Forum, juga upaya aktif indonesia dalam The 21st Meeting of States Parties to The 1982 UN Â Convention in The Law Of The Sea. Terbaru Menlu Retno Marsudi mengatakan bahwa penyelesaian Code Of Conduct yang telah dirancang sejak 2002 Â perlu segera diwujudkan. Code of Conduct (COC) adalah bagian dari pengelolaan peredaan perselisihan LCS dan diharapkan mampu mengekang perilaku agresif China. Hal ini telah disepakati oleh para pemimpin Asean dan Diplomat China telah mengakui bahwa China mendukung hal tersebut agar dilakukan secepatnya. Ini bukan merupakan solusi utama untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi diharapkan mampu mengurangi ketegangan yang belakangan ini semakin memanas.
Selain AS yang harus segera meratifikasi UNCLOS, peningkatan keamanan di wilayah LCS perlu ditingkatkan, bukan hanya mengandalkan kekuatan maritim AS, Â tapi juga negara yang berkepentingan dengan LCS. Dibuatnya forum yang mendeklarasikan bahwa wilayah tersebut adalah wilayah bersama diharapkan mampu meredakan ketegangan di wilayah tersebut. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan wilayah yang dapat mengganggu kestabilan dunia internasional.
#LombaISDS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H