Secara matematis, perjalanan waktu mungkin saja dilakukan namun hanya untuk ke masa depan, tidak ke masa lalu karena ruang fisik masa lalu sudah tidak ada lagi alias tinggal kenangan. Ya, masa lalu tak ada dalam arti fisik apapun yang dapat manusia gunakan untuk berinteraksi.
Walaupun para saintis mengatakan bahwa perjalanan waktu kembali ke masa lalu itu tak mungkin terjadi nyatanya tak membuat para penulis fiksi gentar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kisah-kisah fiksi yang menggunakan perjalanan waktu sebagai bingkainya.
Nah, salah satu kisah fiksi tentang perjalanan waktu ke masa lalu yang sangat menarik, ciamik, dan menggelitik adalah drama Korea "Twinkling Watermelon."
"Twinkling Watermelon" sekonyong-konyong membawa saya ke tahun-tahun di mana "Come As You Are" milik Nirvana diparodikan oleh P-Project menjadi "Kambing Liar" kepunyaan Mak Onah, hadeehh.
Eits, tapi itu masa lalu saya, kalau masa lalu Yi-chan sih " Come As You Are" jatuhnya menjadi sebuah lagu tantangan dari Se-gyeong efek dari aksi pemuda ceria tersebut mengejar-ngejar cewek cellist itu dan terpentok memakai t-shirt wajah Kurt Cobain secara bebarengan.
Tapi ya alih-alih lagu Nirvana yang muncul, eh malah Eric Clapton yang sempat bersing-song "Tears in Heaven" di beberapa scene dalam drama ini.
"Twinkling Watermelon" sendiri berkisah tentang seorang CODA (Children of Deaf Adults) bernama Ha Eun-gyeol (diperankan secara ketje badai oleh Ryeoun) yang dipaksa tumbuh lebih dewasa dari umurnya karena harus melindungi ayah, ibu, dan kakaknya yang tunarungu. Ia menjadi "suara" yang menghubungkan keluarganya dengan dunia.
Di usia belianya, ia tak lepas dari perundungan teman-temannya sampai suatu hari ia mulai menemukan dunia musik yang diminati dan dicintainya dengan bantuan seorang kakek pemilik toko alat musik.
Namun, hasratnya akan musik terpaksa ia pendam karena sebuah insiden kebakaran yang menyebabkan keluarganya menderita. Insiden tersebut tak akan terjadi apabila ia tak meninggalkan kakaknya, Eun-ho (versi remaja diperankan dengan manis oleh Bong Jae-hyun) yang tengah sakit karena ingin menemui lelaki tua yang menjadi guru musiknya.
Kisah lain muncul di tahun 1995, di mana versi remaja dari bokapnya Eun-gyeol yang bernama Ha Yi-chan (diperankan dengan ceria oleh Choi Hyun-wook) terlibat love triangle dengan Choi Se-gyeong (diperankan dengan judeng oleh Seol In-ah) dan siswa seni visual penyendiri bernama Yoon Cheong-ah (diperankan dengan anggun oleh Shin Eun-soo).
Yi-chan yang naksir brutal kepada Se-gyeong akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah band agar di-notice oleh cewek super duper kul itu.Â
Hal ini didorong oleh petuah si bro berambut gondrong nge-bob yang merupakan anak kos di penginapan halmeoni-nya. "Kamu keren bila jadi anak band!" Demikian kata si bro gondrong.
Balik lagi ke tahun 2023 di mana Eun-gyeol akhirnya nge-band dengan barudak Spine9, pidihil bokapnya ingin dia masuk sekolah kedokteran. Eun-gyeol memang gak pernah ngomong apa yang diinginkannya kepada ortunya, ia takut bikin ortunya kecewa berat. Ia pun kucing-kucingan dengan bokapnya dalam urusan mengenjrengkan gitar listriknya.
Tapi sepandai-pandainya Eun-gyeol berkelat-kelit tetap saja akhirnya kesandung juga. Eun-gyeol ke-gep bokapnya lagi manggung dan hal ini membuat sang bokap yang dulu pernah menjadi bokapnya Go-ara di "Hwarang" ini murkaaaaaaaaa.
Setelah terlibat pertengkaran sengit dengan bokapnya yang diperankan secara kebapakan, yaeyalah mosok kemamakkan oleh Choi Won-young, Eun-gyeol pun pergi dan memutuskan menjual gitarnya di toko musik pertama yang ia temui.
Gitar dilego di toko alat musik yang rada-rada aneh bernama "La Vida Music", keluar-keluar ia mendapati dirinya berada di tahun 1995 dan langsung kena ulti dengan bertemu versi remaja bokapnya yang kebetulan sedang menunggu anak rekrutan baru untuk band yang baru saja didirikannya.
Eun-gyeol terpana karena versi unyuk-unyuk bokapnya ini mampu mendengar dan berbicara. Selain itu, sifat dari Yi-chan muda sangat bertolak belakang dengan Yi-chan tuwir.
Eun-gyeol lambat-laun tersadar bahwa ia terlempar ke tahun 1995 dengan membawa misi yaitu mencegah sang bapak menjadi seorang tuna rungu.
Ya, Eun-gyeol ingin mengubah kehidupan keluarganya yang kondisinya terseok-seok berteman dengan misery selama bertahun-tahun lamanya.
Dengan berbagai cara dan gaya, Eun-gyeol berusaha mepet terus dengan Yi-chan yang ceria tapi tantruman itu. Selain menyamar sebagai tutor bagi Yi-chan muda, Eun-gyeol pun bergabung dengan band sang bokap yang bernama Watermelon Sugar. Dari sinilah ia mengetahui bahwa dulu, bokapnya menyukai gadis lain selain nyokapnya dan hal ini harus ia cegah.
Salah satu yang cukup mengejutkan adalah Eun-gyeol tak sendiri terlempar ke masa lalu, karena ada remaja seusianya yang juga menjadi time traveler dan di kemudian hari mereka terhubung satu sama lain.
Dari awal episode, drama ini sudah enak ditonton dan terasa keunikannya walaupun ada sedikit tanda tanya di kepala saat scene Eun-gyeol di tahun 2023 berganti dengan scene Yi-chan di tahun 1995 tapi setelah itu kisah bergulir dengan terang-benderang.
Romansa tipis-tipis menyeruak dan tak ketinggalan scene-scene jenaka hadir dengan sangat menyenangkan membuat saya teringat masa-masa remaja dulu.
Nonton drama yang disutradarai oleh Son Jung-hyun ini gak hanya untuk bersenang-senang tapi ada banyak pelajaran yang didapat.
Ya, salah satunya adalah bahwa takdir tak bisa diubah hanya nasib yang bisa. Sekeras apapun Eun-gyeol mencoba mencegah peristiwa yang akan membuat bapaknya tidak dapat mendengar di kemudian hari, tetap saja hal tersebut tak dapat dihindari.
Dari "Twinkling Watermelon" kita pun belajar pentingnya terbuka dengan orangtua. Yap, karena salah satu kunci kesuksesan adalah komunikasi yang baik. Bila saja sebelumnya Eun-gyeol mengutarakan keinginannya kepada orang tuanya, mungkin saja ia akan menjalani kehidupan yang disukainya dan tak akan ter(di)lempar ke masa lalu.
Drama yang heart-warming banget ini pun memberi pelajaran berharga bahwa jangan pernah membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, tetaplah menjadi orang baik di dunia yang buruk sekalipun, kejarlah mimpi tanpa henti, nikmati masa remaja dengan segala kerlap-kerlipnya agar saat berangkat dewasa tak ada penyesalan yang mengikuti.
Bagi saya, semua unsur di drama ini terlihat pas, baik di sisi skenario, pemeran, penata artistik, musik, dan semua printilan yang mengikutinya. Tak lupa fesyen anak 90-an ikut melengkapi drama ini serta scene komedi yang menambah kehangatan drama yang bulan November kemarin baru saja usai penayangannya itu.
Bahasa isyarat menjadi bahasa kedua yang digunakan di drama ini karena kisahnya dibangun dalam keluarga yang memiliki disabilitas tak dapat mendengar. Dan, salah satu scene yang sangat menyentuh adalah ketika Yi-chan menyanyi di depan Cheong-ah dengan menggunakan bahasa isyarat. Indah.
Nah, di drama yang ditulis oleh Jin Soo-wan (Kill Me Heal Me, The Moon Embracing The Sun) ini ada dua hal yang menjadi ciri khasnya yaitu watermelon alias buah semangka dan frasa "Viva La Vida."
Dua hal ini terinspirasi dari lukisan terakhir perupa Frida Kahlo. Ya, delapan hari sebelum kematiannya di tahun 1954, seniman asal Meksiko itu melukis buah semangka dengan frasa "Viva La Vida" di bagian bawah kanvasnya yang diterjemahkan sebagai "panjang umur"Lukisan buah semangka ini memiliki makna yang dalam. Kulit tebal semangka berfungsi untuk melindungi dan mengatasi kehidupan yang penuh dengan rasa sakit, baik fisik maupun mental.
Ketika kulitnya dibuka ada daging buah merah merona yang melambangkan kesegaran dan manisnya sisi batin. Akan halnya biji semangka membawa pengharapan akan kehidupan baru menuju keabadian.
Semua makna dari lukisan Frida Kahlo ini mengalir cerdas dalam drama "Twinkling Watermelon." Sebuah kisah kerlap-kerlip kehidupan penuh makna yang patut dirayakan!
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H