Musim hajatan nih.  Bulan kemarin dapat undangan dua biji  padahal kan sedang pandemi.  Saya sih ndak setuju musim begini kok masih menyuburkan kerumunan melalui undangan pernikahan.  Disamping takutnya ada virus yang berkeliaran pun mengakibatkan dompet kempes sekempes-kempesnya, bray.
Nah, kemarin ini saya nitip amplop ajalah ke tetangga lha masak nitip ke mas-mas gojek. Â Sang amplop pun berbalas pantun dengan bingkisan satu keresek yang di daerah sini kerap disebut cangkedong atau atahan (mentahan).
Isi dari cangkedong ini biasanya standar seperti mie instan, minyak goreng, biskuit, Â serta minuman. Â Bila sang penggelar hajatan orang berada maka isinya bertambah dengan bungkusan gula, teh, telur, beras, kerudung bahkan payung.
Dulu saat saya masih ingusan sendrap sendrup apollo 11, yang namanya mentahan hajatan itu belum ada. Iyak, dulu itu adanya besekan atau kalau zaman now-nya mah nasi kotak.
Senang rasanya menerima besekan dari tetangga yang tengah hajat walaupun isinya harus dibagi rata satu anggota keluarga. Â
Isi dari besek itu biasanya berupa nasi, empal gepuk atau bistik sapi, telur pindang, ikan asin goreng tepung, cabe gendot satu biji, tahu goreng, sambel goreng kentang, kerupuk udang, dan pisang. Â
Makan nasi besekan ini nikmatnya tak tertandingi karena jatahnya seuprit ya jadi pengen lagi. Â
Ada yang selalu membuat saya terkenang-kenang dari besekan selain isinya adalah aroma dari besek yang terbuat dari bambu plus daun pisang sebagai alas makanannya.
Nah, seperti halnya mode fesyen, setelah lama tenggelam tren besekan pun mulai bergerilya mencari celah untuk kembali berjaya. Sebagai contoh nasi besek yang diterima Mbah Ukik beberapa waktu silam.
Kalau di daerah saya sih belum terlihat kembali kemunculannya dalam bentuk nasi berkat, paling-paling diperuntukan wadah makanan yang dijual seperti gudeg, peuyeum, atau ayam goreng. Â
Kini besek mulai digunakan oleh beberapa perusahaan catering yang menangkap rasa gelisah konsumennya karena merindukan nasi besekan. Â