Braak!
Pintu itu tertutup dengan keras, beberapa kata umpatan masih terdengar jelas di telinganya.
Ken menatap rumah besar itu untuk terakhir kalinya. Rumah yang telah menaunginya selama 23 tahun terakhir.
Pemuda itu tahu bahwa keinginannya akan ditentang ayahnya. Tapi ia tetap mengatakannya juga. Ia tak tahan dengan semuanya, selama ini ia telah menuruti segala yang diperintahkan ayahnya bahkan mungkin sejak ia berada dalam kandungan ibunya.
Sang ayah telah menempatkan kepentingannya yang belum tercapai kepadanya. Sebentuk mimpi orang tua yang terkadang membuatnya merasa bahwa hidupnya bukanlah untuk dirinya sendiri.
Lima tahun sudah ia berkecipung dengan kuliahnya yang sama sekali tak ia minati. Beberapa bulan lagi ia akan menuntaskan segalanya. Gelar sarjana tehnik arsitektur akan segera ia sandang. Namun Ken tak menginginkan itu karena semua itu telah membuatnya gila.
"Pergi, dan jangan pernah kembali! Kamu bukan anak ayah lagi."
"Jalanan tak akan mengasihimu dan membuatmu menjadi orang sukses. Anak bodoh, jangan pernah berani menemui ibu dan kakakmu. Â Rumah dan keluarga ini telah menutup pintunya buat anak tak berguna sepertimu."
Apa yang dikatakan ayahnya beberapa menit lalu masih memenuhi gendang telinganya. Ken menghela nafas panjang, ia tahu akan begini jadinya namun itu tak membuatnya gentar. Â
***
Sinar temaram menghiasi kedai kopi yang menyambutnya dengan pintu terbuka. Ken menjejakkan kakinya mantap. Ia sudah membuat keputusan, dan ia tak akan mundur barang sejengkal pun.
Ken terhuyung, punggungnya lelah menahan beban berat dari back packnya yang menggembung. Sejenak ia meletakkan kotak yang berisi benda kesayangannya sementara matanya mencari seseorang.