Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Senandung Rindu di Hari Nan Fitri

23 Mei 2020   18:31 Diperbarui: 23 Mei 2020   18:24 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hilal telah tampak, Idul Fitri menjelang.  Reyna terpaku di ambang jendela rintik hujan menetes satu demi satu seiring dengan tetesan air yang keluar dari matanya.  Rindu menyelubungi hatinya.  Lima tahun sudah ia meninggalkan kampung halamannya, lima kali lebaran ia tak bersimpuh di kaki kedua orang tuanya."Kamu tidak ingin pulang?" Suara Nita mengejutkannya.
Reyna buru-buru mengusap air matanya.
"Entahlah." Jawab Reyna pendek.
"Rey, pulanglah.  Orang tuamu pasti rindu dengan mu."
"Aku takut, Nit. Aku sudah mengecewakan mereka."
"Aku lah si anak durhaka itu, lari dari rumah demi sesuatu yang tak mereka inginkan."  Lanjut Reyna terbata.
"Mereka hanya tak tahu apa yang menjadi kebahagiaanmu.  Mereka menganggap kebahagiamu adalah bersanding dengan seseorang."
"Yang tak kucintai?" Reyna menatap warna senja yang kian memudar ditelah kegelapan.
Nita terdiam.
"Aku belum mau menikah dulu, Nit.  Masih banyak hal yang ingin ku gapai. Tapi mengapa orang tuaku tak mengerti dengan keiinginanku." Reyna berkata lirih.
"Tanpa meminta  pendapatku, mereka langsung memutuskan untuk menjodohkanku."  Lanjut Reyna gusar.
"Tapi sekarang kamu sudah membuktikannya, Rey.  Kamu sudah menyelesaikan kuliahmu, bekerja di tempat yang kamu mau.  Saatnya untuk pulang, menengok ayah ibu mu."
"Aku takut, Nit"
"Takut tidak diterima lagi oleh mereka?"
Reyna mengangguk.
"Mereka pasti memaafkanmu, percayalah."  Nita menepuk bahu sahabatnya itu lalu mengambil telepon seluler dari sakunya dan menuliskan sebuah pesan singkat.

***

Reyna menarik tas trolinya di antara hiruk pikuk orang yang memenuhi stasiun kereta.  Nita memberinya tiket kereta yang katanya ia peroleh dari temannya pemilik agen perjalanan ternama.  

Tergesa ia keluar dari gerbang stasiun.  Gurat wajah ayah dan ibunya tercetak jelas dalam pikirannya. Sebenarnya ia masih gamang pergi meninggalkan tanah perantauannya untuk pulang ke kampung halamannya.  Namun Nita berhasil meyakinkannya lagi pula ia memang telah berbuat banyak kesalahan dan ia ingin bersimpuh di kedua kaki mereka meminta pengampunan. Ia sadar semua keberhasilan dalam hidupnya sekarang ini secara tak langsung adalah andil dari kedua orang tuanya yang membiarkannya pergi tanpa pernah mencari.

Sebuah kendaraan tiba-tiba berhenti di depannya. "Butuh tumpangan?" Teriak seseorang dari dalam mobil yang kaca jendelanya terbuka.
Reyna terhenyak sepertinya ia kenal dengan suara itu.
Lalu seseorang dengan suara tak asing itu pun keluar dari kendaraannya dan dengan segera meninggalkan bunyi "buk" dari pintu yang tertutup.
"Ady?" Reyna terbelalak.
"Iya, Kak.  Ini Ady, kok kayak kaget gitu sih, harusnya aku yang kaget akhirnya kakak pulang juga."
Reyna merengut.
"Aku senang kakak bisa pulang lebaran tahun ini.  Ayah ibu pasti bahagia." Ady merepet.
"Kamu gak pernah tahu, Dik.  Mungkin saja mereka gak mau menerimaku lagi sebagai anaknya semenjak peristiwa itu."
Ady melirik sang kakak dan tersenyum.
"Dia sudah tak ada kabarnya lagi Kak, ayah ibu sudah tak punya kandidat lagi untuk dijodohkan kepada kakak." Ady tergelak.
"Lagipula, dulu itu kan baru wacana. Kak Rey aja yang terlalu dimasukin ke hati.  Belum apa-apa langsung main pergi aja."
Reyna diam mendengar ocehan adik satu-satunya itu.

***

Rumah itu masih tetap sama.  Rumah yang selalu ia rindukan. Seperti biasa ayah dan ibunya menghabiskan sore di teras rumah.  Ayah dengan koran di tangan, dan ibu dengan kain sulaman.
"Ayo Kak, turun!" Perintah Ady.
Reyna bergeming.
"Kak!"
Reyna pun membuka pintu lalu turun.
Reyna bersimpuh di kaki ibunya, ia tak kuasa menahan tumpahan air mata kerinduan dan rasa bersalah kepada wanita yang telah melahirkannya itu.
"Maafkan Reyna, banyak sekali kesalahan yang telah Rey perbuat selama ini.  Pergi tanpa sepengetahuan ayah ibu."
Sang Ibu yang juga bersimbah air mata, membelai kepala putrinya dengan tulus.
"Maafkan kami juga, Nak, membanjirimu dengan permintaan-permintaan yang kau tak kuasa untuk menerimanya. Tak pernah mendukungmu untuk meraih mimpimu.  Kami kira apa yang kami lakukan untukmu membuatmu bahagia tapi nyatanya tidak."
Reyna dan kedua orang tuanya pun berpelukan dalam selubung rindu yang tebal di hari nan fitri itu.

***
"Terima kasih atas bantuannya, Nit. Untung saja kita dipertemukan. Aku merasa bersalah. Aku hanya ingin Reyna tahu bahwa orang tuanya sangat merindukannya."
"Sama-sama, Nda. Lagian kamu juga sih kenapa mau dijodoh-jodohin, udah gak zaman kalik."
Enda tersenyum.  "Karena aku menyukai Reyna saat pertama kali Papa memperlihatkan fotonya kepadaku."  Enda tersipu malu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun