Hari ini hujan turun dengan derasnya, gemuruh guntur dan kilatan petir bersahutan memperlihatkan kekuatannya. Rere menurunkan tirai jendela ruangan kerjanya dengan segera.Ponselnya bergetar, sebuah nama muncul di layar.
"Halo, Re, aku jemput kamu sekarang ya."
"Hujan." Rere menjawab pendek
"Oh jadi hujan masih menahanmu?"
Rere mendengus. Sebagai sahabat, Jo tahu semua hal tentangnya, termasuk kisah cintanya yang belum lama ini kandas. Â Hujan lah yang membuat Rere tahu bahwa Rega, kekasihnya itu telah mencuranginya padahal tanggal pernikahan mereka telah ditetapkan.
Dengan mata kepalanya sendiri, Rere memergoki Rega tengah bercengkrama mesra dengan seorang gadis di sebuah kedai kopi ketika ia berteduh karena hujan turun dengan tiba-tiba. Sejak saat itu, Rere membenci Rega dan ... hujan.
"Re?" Jo membuyarkan lamunan Rere dari seberang sana.
"Terserah kamu." Gadis itu menyerah.
Hujan yang ia benci nyatanya begitu baik, rinainya berhenti beberapa menit sebelum Jo tiba.
"Kita mau kemana?" Rere bertanya kepada Jo, sesaat setelah pemuda itu menyerahkan helm model vintage kepadanya.
"Ada deh." Jo menjawab asal.
"Jangan kedai kopi!" Rere berteriak diantara deru sepeda motor yang dikendarai Jo.
"Kenapa? Masih memusuhi kopi?"
"Pertanyaan retoris." Gumam Rere.
Rere membenci kopi. Aromanya yang semerbak membuatnya memasuki kedai itu dan menemukan Rega di sana dengan wajah tanpa dosanya.
Jo masih menahan pintu dengan tubuhnya yang kurus sementara Rere masih terpaku, ragu untuk melangkah.
"Re, ini bukan kedai kopi. Ayo masuk, sebentar lagi badanku akan penyok menahan pintu ini." Jo berkata tak sabar.
Begitu melangkah ke dalam, aroma yang tak asing bagi penciuman Rere menyeruak. Wangi teh menggelitik hidung gadis yang kini matanya terpukau dengan suasana di dalam ruangan itu.
Aroma semerbak teh selalu mengingatkan Rere akan mendiang ibunya. Dulu setiap pagi, sang ibu akan membangunkan semua orang dengan bunyi denting sendok yang beradu dengan gelas sesaat setelah beliau mengaduk gula dalam gelas-gelas teh yang beliau buat.
Setiap hari beliau selalu menyediakan minuman dari teh yang dikirimkan pamannya dari kampung. Selain membuat teh dalam gelas-gelas belimbing, teh bercampur bunga melati itu ibu masukan dalam teko keramik. Setelah dituangi air panas, teko tersebut diberi sarung penghangat yang terbuat dari kapas berlapis kain tebal agar tidak cepat dingin. Mendadak ia begitu rindu kepada ibunya.
"Gimana? Kamu suka tempat ini?" Jo bertanya sambil tangannya tak henti mempermainkan sendok tehnya.
Rere mengangguk, Jo tersenyum samar.
***
Hari-hari berikutnya Rere selalu menyempatkan diri berkunjung ke kedai teh bernama Madam Zu itu. Â Ia menyukai semua hal yang ada di sana, dari bentuk gelas, cangkir, teko, sampai toples berisi berbagai macam daun teh pilihan yang berjajar rapi di meja bar. Â Suasana di kedai teh itu tidak membuatnya bosan. Â Ia dapat mengerjakan pekerjaan kantornya yang tertunda disana, membaca novel kesukaannya, dan memperhatikan beberapa pengunjung yang hilir mudik memasuki kedai itu. Â Jo tidak lagi menemaninya karena ia tengah bertugas ke luar kota.
"Selamat malam, satu cangkir masala chai buat pelanggan setia Madam Zu."
Rere mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya ke arah asal suara. Seorang lelaki yang lagaknya bukan pramusaji yang kerap melayaninya kini tengah tersenyum kepadanya.
"Mmm ... maaf saya tidak memesan apa tadi masala? Garam masala?" Rere mengerutkan dahinya.
"Oh ya, maaf." Lelaki itu pergi sebentar lalu kembali dengan membawa secangkir teh yang masih mengepulkan asap.
"Camomile?" Lelaki itu meletakan cangkir kedua di hadapan Rere.
"Terima kasih, masala itu mungkin milik meja yang lain." Rere menunjuk cangkir pertama yang tersedia di mejanya.
"Tidak, itu hadiah dari saya karena anda menjadi pelanggan Madam Zu yang setia."
"Kenalkan saya Rami, teman Jo."
"Aaah, rupanya anda sang pemilik kedai ini."
"Kok tahu?" Rami menatap Rere tak percaya.
"Jo bercerita banyak tentang anda."
"Ah tak mengherankan, Jo memang ..."
"Begitulah?" Sambar Rere.
"Iya, begitulah" Rami tertawa.
"Jadi masala chai ini dari India?" Rere menunjuk cangkir yang ada di hadapannya.
"Tepat sekali, masala chai ini terdiri dari teh hitam yang dicampur dengan susu, kayu manis, kapulaga, cengkeh, jahe, lada hitam, dan rempah-rempah rahasia Madam Zu lainnya."
"Wah, sudah seperti ayam krispi sang kolonel aja ada bumbu rahasianya." Rere tergelak yang disambut dengan tawa berderai Rami.
"Wangi sekali aromanya." Rere memainkan cangkir teh itu di depan hidungnya.
"Selain wangi, masala chai ini dapat menghangatkan tubuh dan juga hati."
Rami tersenyum dan mempersilakan Rere untuk mencecap teh buatannya itu.
***
Sejak pertemuan itu, Rere dan Rami menjadi dua orang teman. Â Mereka kerap menghabisakan malam dengan berbicara banyak hal sampai kedai teh itu menurunkan tirai-tirainya. Â Rere tahu bahwa Rami mulai mengirimkan sinyal-sinyal halus bahwa lelaki itu menyukainya, namun Rere masih tak ingin membuka hatinya. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh penghianatan Rega kepadanya telah membuat ia merasa tak ingin mempercayai siapapun lagi.
***
Hujan masih belum berhenti di luar sana, Rere mulai gelisah. Â Kedai teh ini sudah mau tutup. Â Rami yang biasanya menemaninya tak jua menunjukkan batang hidungnya. Mau tidak mau ia harus beranjak dari kursinya walaupun hujan belum sepenuhnya berhenti. Â
Entah mengapa setiap hujan turun, dadanya selalu bergemuruh, hatinya terasa sakit, dan kepalanya terasa berat. Â Semua peristiwa mengecewakan itu seakan kembali menari-nari di depan matanya. Â
"Hujan adalah berkah, biarkan rinainya menghapus semua rasa sakit yang pernah ada."
Tiba-tiba Rami telah ada disampingnya.
Rere bergeming.
Rami mengulurkan tangannya.
"Aku akan menemanimu sampai hujan menjadi sahabatmu kembali." Rami berbisik lirih.
Rere menggeleng lemah.
"Re, aku tak akan membiarkanmu berdiri disana seorang diri."
Rere menatap Rami, semburat cahaya menenangkan berpendar di kedua bola mata lelaki itu. Â Ia pun menyongsong uluran tangan Rami dan mulai melangkah ke dalam pusaran hujan.
Dalam gengaman hangat tangan Rami, Rere membiarkan rinai hujan membasuh semua rasa sakit yang pernah ada.  Ia merasakan tetes demi tetes air hujan menyelusup ke dalam ruang hatinya yang terluka, membersihkan  noda-noda, mengikis  rasa sakit akan sebuah pengkhianatan yang telah mengerak.
"Re, aku akan selalu ada di sisimu, di malam-malam tergelapmu dan dalam setiap pertarunganmu." Bisik Rami lembut.
Rere menggengam erat tangan lelaki yang ada disampingnya itu, lelaki yang telah mengembalikan semua rasa percaya yang sempat menghilang.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H