***
Sejak pertemuan itu, Rere dan Rami menjadi dua orang teman. Â Mereka kerap menghabisakan malam dengan berbicara banyak hal sampai kedai teh itu menurunkan tirai-tirainya. Â Rere tahu bahwa Rami mulai mengirimkan sinyal-sinyal halus bahwa lelaki itu menyukainya, namun Rere masih tak ingin membuka hatinya. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh penghianatan Rega kepadanya telah membuat ia merasa tak ingin mempercayai siapapun lagi.
***
Hujan masih belum berhenti di luar sana, Rere mulai gelisah. Â Kedai teh ini sudah mau tutup. Â Rami yang biasanya menemaninya tak jua menunjukkan batang hidungnya. Mau tidak mau ia harus beranjak dari kursinya walaupun hujan belum sepenuhnya berhenti. Â
Entah mengapa setiap hujan turun, dadanya selalu bergemuruh, hatinya terasa sakit, dan kepalanya terasa berat. Â Semua peristiwa mengecewakan itu seakan kembali menari-nari di depan matanya. Â
"Hujan adalah berkah, biarkan rinainya menghapus semua rasa sakit yang pernah ada."
Tiba-tiba Rami telah ada disampingnya.
Rere bergeming.
Rami mengulurkan tangannya.
"Aku akan menemanimu sampai hujan menjadi sahabatmu kembali." Rami berbisik lirih.
Rere menggeleng lemah.
"Re, aku tak akan membiarkanmu berdiri disana seorang diri."
Rere menatap Rami, semburat cahaya menenangkan berpendar di kedua bola mata lelaki itu. Â Ia pun menyongsong uluran tangan Rami dan mulai melangkah ke dalam pusaran hujan.
Dalam gengaman hangat tangan Rami, Rere membiarkan rinai hujan membasuh semua rasa sakit yang pernah ada.  Ia merasakan tetes demi tetes air hujan menyelusup ke dalam ruang hatinya yang terluka, membersihkan  noda-noda, mengikis  rasa sakit akan sebuah pengkhianatan yang telah mengerak.
"Re, aku akan selalu ada di sisimu, di malam-malam tergelapmu dan dalam setiap pertarunganmu." Bisik Rami lembut.
Rere menggengam erat tangan lelaki yang ada disampingnya itu, lelaki yang telah mengembalikan semua rasa percaya yang sempat menghilang.
***