Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengundang Banyak Orang di Acara Pernikahan Itu Bukanlah Keharusan

13 Januari 2020   20:25 Diperbarui: 13 Januari 2020   20:40 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saya pernah dibuat bingung tujuh keliling lapangan sepak bola ketika seseorang menyerahkan sebuah surat undangan berwarna pink.  Lalu saya pun bertanya-tanya kepada diri sendiri apakah saya pernah membuat bubur merah dan bubur putih dalam rangka mengganti nama.  

Atau, apakah akta kelahiran saya mengkhianati saya dengan menambahkan satu huruf di belakang nama saya?   Ya, tak hanya bakso saja yang beranak, nama saya pun bisa beranak, heuheu.  

Undangan berwarna pink itu datang dari Mas tukang kupat yang kerap mangkal di depan rumah saya dalam rangka menikahkan putrinya yang masih unyu-unyu dengan pemuda idamannya. 

Jiwa kepo saya menggelora, saya pun bertanya kepada para tetangga sekitar rumah apakah menerima surat undangan yang sama.  Dengan gegap gempita mereka pun menjawab "iyessssss". 

Dan beberapanya melaporkan bahwa ada kesalahan penulisan nama seperti yang saya alami. Lha wong kenalnya saja selewat, bagaimana mau tahu nama seseorang dengan baik dan benar sesuai dengan ejaan yang disesuaikan, uhuks.

Acara pernikahan memanglah sangat membahagiakan, bawaannya semua ingin diundang. Namun, ya mbok jangan asal-asalan.  Memang sih biasanya ada catatan kecil di depan surat undangan yang berisi permohonan maaf bila ada  kesalahan dalam menuliskan nama dan gelar, tapi ya salahnya jangan borongan. Jangan sampai nafsu untuk berbagi kebahagiaan dari pengundang berubah menjadi nafsu angkara murka dari yang diundang.

Nah, lain hari saya mendapat undangan pernikahan lagi.  Acaranya dihelat di sebuah gedung. Waktu baru menunjukkan pukul 12 siang ketika saya menginjakkan kaki di sana namun ternyata telah krisis hidangan. 

Hal ini terjadi mungkin karena antara jumlah undangan dan banyaknya hidangan tidak mengalami kecocokan. Saya sih lumayan lah masih kebagian, banyak tamu yang datang setelah saya hanya bisa menikmati lagu dangdut di panggung hiburan sambil balik badan maju jalan, pulang.

Dua hal di atas adalah ciri-ciri penggelar acara pernikahan yang asal mengundang banyak orang tanpa memakai  perhitungan. Mungkin mereka lelah dengan semua undangan yang pernah diterima dari orang lain dan merasa wajib untuk balas dendam eh mengundang lebih banyak orang walau entah demi apa.  

Yang pasti bukan Demi Moore karena bila iya itu lebih gawat soalnya bakal banyak tamu undangan yang terus datang seiring dengan kata more...moore...mooooore... eheheh.

Acara pernikahan saya mungkin adalah pernikahan yang paling banyak diprotes oleh masyarakat +62 yang tinggal di sekitar rumah. Mengapa? Karena saya hanya mengundang orang-orang terdekat di antaranya adalah Pak dan Bu RT, Pak dan Bu RW,  tetangga yang rumahnya paling dekat, keluarga, kerabat, sahabat, teman, dan atasan kami masing-masing. Maklum saya dan pasangan sama-sama tidak menyukai  keramaian yang membabi-buta.  

Bersyukurlah kami karena pihak keluarga kami berdua memiliki pemikiran terbuka sehingga memberi keleluasaan kepada kami untuk menggelar acara pernikahan berdasarkan konsep yang kami inginkan.  

Lagipula kami ingin menjadi pengantin berdikari.  Selain biaya ditanggung sendiri, semua printilan pernikahan lainnya hanya melibatkan segelintir orang terdekat yang dengan ikhlas ridho menjadi sukarelawan acara kawinan.  Keluarga tinggal duduk manis mengikuti acara dari awal hingga akhir tanpa harus ikut ribet.

Pernikahan kami digelar di sebuah cafe dengan tamu undangan kurang lebih hanya seratus orang saja. Sebagai pasangan anti ribet kami merasa pernikahan model inilah yang dibutuhkan demi meminimalisir kerepotan, baik bagi orang-orang terdekat pun diri sendiri.  Banyak yang nyinyir? Tentu saja.  Tapi biarlah, karena ini semua merupakan jalan ninja kami, prikitiew.

Dan tibalah saat itu, saat di mana beberapa tetangga yang berstatus ibu-ibu mulai mengeluarkan jurus-jurus pernyinyiran dengan sengit.  Mereka berkata bahwa mengundang tetangga satu kampung adalah sebuah kewajiban agar semua tahu status hubungan kami demi terhindar dari fitnah. 

Dan saya pun hanya bisa tersenyum, karena tersenyum .adalah jalan terbaik dari pada menimpali.  Percayalah menimpali pasukan ibu-ibu yang sedang nyinyir adalah sebuah pekerjaan yang membuang waktu dan tenaga.  

Menurut saya mengundang orang dalam acara pernikahan bukanlah sebuah kewajiban, jadi jangan dijadikan beban. Jangan terlalu dipaksakan apalagi bila kemampuan yang dimiliki pas-pasan. 

Penyelenggara pernikahan berhak menentukan siapa-siapa saja yang diundang.  Mengundang banyak orang ya bagus jika sedikit ya gak papa.  Lha, salah satu syarat menikah itu kan hanya butuh dua orang saksi, jadi gak harus serombongan juga kaleeeee.  

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun