Sudah lama gak naik kereta api, terakhir kali kira-kira 8 tahun yang lalu, alangkah karatannya, kan? Nah, liburan kali ini saya berkesempatan naik kereta kembali dan wow kereta zaman now memang emejing, beibi.
Kali ini saya berkesempatan untuk pergi ke Sidoarjo sebelum mengunjungi tanah kelahiran ibu saya di Ponorogo. Pesan tiket kereta satu bulan sebelumnya itu pun tempat duduk sudah banyak yang terisi sehingga tinggal sisa-sisa yang harganya membuat jiwa misqueen ini menjerit.
Keretanya sih masih menggunakan nama lama, mungkin KAI enggan membuat bubur merah dan bubur putih. Yap, kereta yang saya gunakan masih bernama Mutiara Selatan bukan mutiara yang terpendam karena kalau terpendam mana bisa jalan, iyaa kan? Kereta ini adalah yang paling banyak digunakan selama karir saya bepergian.
Sekarang Mutiara Selatan kelasnya telah berubah, Ksatria Baja Hitam pun kalah. Dulu Mutiara Selatan masuk ke kelas bisnis kini menjadi kelas ekonomi, walau dengan buntut kata premium. Â
Kereta api kelas ekonomi selalu mengingatkan saya akan pengalaman nan-menghororkan yang pernah saya lalui di era 90-an. Saat itu saya pergi mengunjungi sanak saudara yang berada di Yogyakarta sambil sekalian piknik gitulah. Namun dasarnya dana yang dipunya pas-pasan maka kereta api ekonomi lah yang menjadi pilihan.
"Apes" adalah satu kata yang menjadi bulan-bulanan. Betapa tidak, sang kereta yang ditunggu-tunggu datangnya lama sekali sampai hampir membuat saya kehilangan kesadaran eh kesabaran.Â
Ya, kereta ekonomi memang biangnya lelet karena harus selalu mendahulukan perjalanan kereta yang berpangkat lebih tinggi darinya. Harusnya sih kereta ekonomi ini diganjar penghargaan karena rela berkorban demi mendahulukan kepentingan kereta lain.
Nah, sudah lama menunggu kereta datang, masuk ke gerbongnya pun penuh dengan perjuangan. Hal ini terjadi karena ada tiket berdiri. Begitu masuk gerbong, eh di dalamnya sudah banyak orang uyek-uyekan bak cendol. Aroma tujuh rupa pun mulai menguar tak tentu arah. Â
"Kereta api kelas ekonomi selalu mengingatkan saya akan pengalaman nan-menghororkan yang pernah saya lalui di era 90-an."
Udara panas menyeruak, gas karbondioksida mulai membuat sesak. Saya pun megap-megap karena kekurangan oksigen. Kaki, tangan, kepala, sudah tak tentu arah rangkaiannya. Â
Emejingnya, semua ruang dipenuhi oleh manusia, tak terkecuali toilet yang membuat para kecoak terusir dari singasananya dan akhirnya bergabung dengan saya. Selama perjalanan saya pun tak bisa berkutik, hanya bisa duduk ketap-ketip. Cukup sudah, Fernando! pulangnya saya ngibrit memakai kelas bisnis walau membuat kantong menjerit.