Aku hanya ingin disini, duduk diantara himpitan dinding dan aroma pinus yang menusuk-nusuk hidung. Aku tidak pernah mengerti mengapa mereka begitu menikmati semua kepedihan yang aku rasakan. Apakah aku tidak cukup pantas untuk menjadi teman mereka atau bahkan untuk menjadi seorang manusia?
Aku tidak tahu mengapa mereka begitu membenciku. Aku berada disini karena ayah. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk ku. Sekolah elit ini telah membuat ayah bekerja mati-matian dan aku tak layak untuk mengecewakannya. Aku bertahan disini karena dia. Semua nilai A ku persembahkan untuk lelaki yang selalu ku kagumi dan ku hormati itu.
Satu semester telah terlewati dengan beban yang semakin menjadi. Seharusnya di hari ke- 181 ini aku sudah kebal dengan segala bentuk perundungan, namun ternyata aku salah karena siang ini aku masih ada disini diantara himpitan dinding dan aroma pinus yang selalu setia menemani.
Kini aku cukup kuat untuk tak menangis lagi. Kedua mataku mungkin sudah bosan bekerja keras memerah air mata.
***
"Ini kursi kami, itu dan itu, semua. Sejak kapan kamu berani duduk di salah satunya?"
Meysa menggebrak meja yang kursinya aku duduki.
"Pergi, kami mau duduk disini." Meysa mendorong punggungku, memaksaku untuk beranjak dari sana. Ingin rasanya aku meninju bibir tipis berpoles lipgloss itu namun wajah lelah ayah mendadak menari-nari di kedua mata ku.
Aku membawa baki yang berisi makan siang ku dengan canggung lalu melangkah diantara tatapan dingin banyak pasang mata. Sementara itu Meysa dan kelima temannya tertawa diselingi dengan ocehan yang tak ingin aku dengar walaupun hanya titik dan komanya saja.
***
Kelas sosial, selalu begitu. Sebelum aku masuk sekolah ini aku tak percaya dengan gambaran seperti itu. Pengucilan diri karena kelas sosial bagiku hanya ada di film-film remaja yang penuh huru hara. Namun kini aku tahu bahwa ini semua nyata karena aku mengalaminya sendiri.