Suara derak halus mengiringi laju kereta yang membawanya pulang. Bangunan, pepohonan, sawah, tegalan dan sungai silih berganti bermunculan di pelupuk matanya bagaikan slide-slide film dokumenter yang baru saja ia lihat kemarin sore. Fitri mengembuskan nafasnya berat, seberat perasaan hatinya yang tengah tertikam pedih. Ia mendesah, luka di hatinya itu kembali menganga. Walau telah berkali-kali perasaannya dirobek oleh tajamnya pisau asmara, namun rasa sakit itu tetaplah mendera.
Berawal di lima tahun yang lalu ketika Dede, kekasih yang sangat ia cintai memilih pergi dari hidupnya demi Ay, sahabatnya sendiri. Luka pertama itu meninggalkan goresan yang sangat dalam.Â
Berbulan-bulan Fitri mencoba menyatukan kembali serpihan hatinya yang tercerai-berai. Sampai suatu ketika, sebuah nama terdengar merdu di telinganya. Â Yani, salah seorang teman barunya di sebuah komunitas hobi yang ia ikuti bernama RTC memperkenalkan kakak lelaki satu-satunya kepadanya. Â Dan pria humoris bernama Ami itu berhasil membuat Fitri menjahit rapi luka hatinya.
Namun, setelah satu tahun merajut asmara, hubungan Fitri dan Ami kandas karena lelaki itu mendapat pekerjaan impian di luar sana. Fitri tak sanggup menjalani hubungan beda benua, karena setiap hari kepalanya selalu dipenuhi prasangka. Dan Ami tak cukup piawai untuk meruntuhkan semua prasangka itu. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk berpisah.Â
Tahun demi tahun berganti, Fitri tetaplah sendiri namun Ami kembali ke tanah air dengan menggandeng seseorang yang sama sekali tak Fitri duga sebelumnya. Nunuk Cita, gadis berlesung pipit, putri ibu kosnya yang beberapa bulan kebelakang kuliah di negari yang sama dengan Ami telah merobek kembali luka hati Fitri dengan senyumnya yang manis sesaat setelah ia mengulurkan undangan berwarna merah jambu yang langsung menusuk kalbu.
Walau sudah tak memiliki hubungan apapun dengan Ami, namun tak dapat dipungkiri bahwa ada jahitan-jahitan kecil dalam hati Fitri yang kembali terbuka. Renik namun pedih.
Kereta mulai melambat untuk berhenti sejenak di sebuah stasiun kecil. Fitri menatap seorang gadis di luar sana  yang tengah melambaikan tangannya kepada pemuda yang hendak menaiki kereta. Ada raut khawatir di wajah gadis itu, meskipun senyum terkembang menghiasi bibir tipisnya. Fitri merasa seakan-akan gadis itu adalah dirinya saat dengan berat hati melepas kepergian Kensha.Â
Ya, Ken, teman masa remajanya yang dikirimkan Tuhan untuk membasuh lukanya sekaligus mewarnai hidupnya kembali itu harus pergi. Â Ken dan satu rekannya dinyatakan hilang tanpa jejak dalam sebuah ekspedisi di gurun Lop Nor beberapa bulan yang lalu. Pedihnya, hal itu terjadi sesaat setelah mereka mengikrarkan janji diantara lilitan cincin perak bakar yang kini masih mencengkram erat jari manisnya. Fitri menatap nanar cincin berdesain rumit itu, matanya berkabut.
"Cukup sudah." Fitri bergumam sambil merogoh tasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil alumunium bergaya vintage yang ia buka dengan segera.
Kereta mulai bergerak, membuat kedua belah tangan Fitri yang memegang cincin dan box alumunium itu ikut terguncang lalu hilang kendali. Â Fitri sibuk mencari cincin yang terjatuh sementara box alumunium telah berada di tangannya kembali.Â
Ia melihat cincin itu tergeletak diantara sepasang kaki yang baru saja menempati bangku kosong di sebelahnya . Fitri mencoba menjangkaunya namun sebentuk tangan kekar lebih dulu menyentuh benda kecil itu. Â