Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Pengusaha Kuliner Berpendidikan Tinggi?

3 April 2018   15:20 Diperbarui: 3 April 2018   18:02 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selintas saya membaca sebuah kalimat yang mengomentari seorang pengusaha kuliner anak petinggi negeri yang berbunyi "Jadi pengusaha kuliner, haha gak harus sekolah". Kalimat itu ditulis oleh seseorang yang lagaknya bekerja disebuah perusahaan besar sebesar galaksi Bimasakti yang disatukan dengan galaksi Andromedha. Kalimat yang membuat saya sedikit gatal. Enaknya sih digaruk aja tapi fenomena yang sedang berlangsung saat ini dicyduk jadi ya akhirnya ditulis aja lah aheeuy.

Betulkah apa yang dikatakan beliau yang terhormat itu?

Saya rasa tidak.Pada zaman sekarang ini, dimana penduduk dunia sudah berada di angka 7 Milyar membuat para manusia dalam bumi bulat ini harus berkompetisi untuk survive. Salah satu cara untuk bertahan hidup adalah bekerja. Ada beberapa alternatif dalam bekerja atau bahasa nyinyirnya mencari sesuap nasi sebongkah berlian, salah duanya adalah membangun usaha milik orang lain dan membangun usaha milik sendiri. Untuk bekerja kepada orang lain kita memang membutuhkan resume pendidikan yang sempurna agar dapat meyakinkan sang empunya yang telah susah payah mencurahkan hati, pikiran dan keahliannya dalam membangun sebuah perusahaan dengan dasar pendidikan yang baik pula tentunya.

Bila membangun usaha sendiri ya tinggal balikin aja kalimat diatas, memangnya hanya Slank yang boleh bilang "balikin... oh oh balikin." Hihi.

Menjadi pengusaha kuliner adalah salah satu pilihan. Bergerak di usaha kuliner kadang masih dipandang sebelah mata apalagi yang masih berskala kecil seperti saya misalnya hehe curcol. Halah, cuma jual cilok muncrit, seblak tepar, makaroni ngiha, ayam frisbee, martabak manis manja mah semua juga bisa gak perlu sekolah, gak perlu pendidikan tinggi setinggi pohon pinang tujuh belasan.

Kalau pun iya sang pemilik usaha memiliki pendidikan tinggi, lain lagi komentarnya, capek-capek sekolah cuma jualan makanan, gak guna.  Aih pedes, sepedes rasa semut rangrang diulek bareng cabe domba.

Memang banyak pelaku usaha kuliner, terutama generasi lama, yang sukses tanpa harus mencecap pendidikan formal yang tinggi. Biasanya mereka mempunyai keahlian memasak atau mengolah makanan secara turun-temurun. Namun zaman telah berubah teman. Di usia bumi yang telah menginjak 4, 5 milyar tahun ini semua hal telah ditemukan termasuk materi malaikat dalam teknologi nano, membuat pelaku usaha kuliner harus pandai berinovasi bila tak ingin dilibas pesaingnya. Dan untuk menciptakan sebuah inovasi kita membutuhkan pengetahuan yang memadai. Pengetahuan salah satunya didapat dari bangku sekolah. 

Pengusaha kuliner pun tak hanya berkutat dengan tetek bengek bahan makanan dan teman-temannya namun juga harus memiliki kemampuan manajerial yang baik sehingga tata kelola usaha dapat berjalan dengan baik pula dan ini sebagian didapat di bangku sekolah. Saat sekolah kita pun diajari untuk berlogika, bertatakrama, menggali kemampuan diri, berbagi, bersosialisasi dan hal-hal bermanfaat lainnya sebagai persiapan terjun ke dunia kerja yang terkadang sangat kejam, sekejam ibu tirinya Cinderella.

Jadi sekolah itu tak hanya untuk mengejar rangking dan IPK segede badak bercula dua agar akhirnya dapat diterima bekerja di perusahaan segede megazord tapi juga memberi kita pelajaran tentang bagaimana menghargai pilihan hidup kita pun pilihan hidup orang lain tentunya.

Menjadi pengusaha kuliner bukanlah sebuah aib. Keeleganan seseorang bukanlah dilihat di perusahaan mana dia bekerja namun dari pola pikir, cara pandang, dan rasa empati

Jadi tolong, jangan pernah mendiskreditkan sebuah profesi, bila anda belum pernah ada di dalamnya.

Sekian dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun