Pemuda itu lalu membuka laci meja belajar Jed, ia melihat sebuah kotak berwarna coklat dengan tulisan REIN Â di atasnya.
"Ini punya kamu?" Nara mengacungkan kotak yang nampaknya berisi sesuatu.
Rein menatap kotak itu dan menggeleng pelan.
"Tapi ada nama kamu di sini." Nara menyerahkan kotak itu kepada Rein dan duduk di sampingnya.
Tangan Rein gemetar ketika menerima boks itu lalu meletakkan di pangkuannya. Ia memandangi boks berwarna coklat kayu itu tanpa berkedip.
"Mau kamu bawa?" Nara bertanya ragu.
Rein menggeleng, perlahan ia membuka boks sebesar dus sepatu itu. Â Di dalamnya ternyata ada beberapa barang berupa potongan-potongan tiket bioskop, event musik yang mereka kunjungi, struk pembayaran restoran fast food yang pernah mereka singgahi, gelang kaki miliknya yang terbuat dari tali temali anak PA yang telah lusuh, kaset Sublime yang masih baru lengkap dengan plastik tipis dan pita cukainya, Â buku TTS bergambar Ita Purnamasari yang isinya telah penuh, sebuah pulpen Pilot berwarna hijau yang telah retak bagian tengahnya dan selembar foto hitam putih yang pernah menempel di KTM-nya.
Rein sadar, mungkin inilah isi kamar yang pernah membuat Shia berang. Â Jed menyimpan semua ini dengan rapi. Â Semua kenangan mereka tersimpan apik di dalam boks yang baru diketahuinya sekarang.
Setelah beberapa saat larut dalam kenangan akan barang-barang yang ada di boks itu, Â Rein menatap Nara. Â Sejenak ia bagaikan melihat sosok Jed tengah tersenyum padanya.
"Rein?" Nara membuyarkan lamunannya.
Rein tersentak kaget. Â Kini ia tidak lagi menemukan wajah Jed disana, yang ia lihat sekarang adalah wajah Nara dengan dahinya yang berkerut. Â Mimpi indahnya hilang seketika. Â Mendadak ada butiran air mata yang menetes dari kedua matanya.