"Senja menghilang seiring dengan kepergianmu. Warna jingganya yang indah telah berganti dengan gelapnya malam. Biarpun kau dan senja lenyap dari pandanganku namun aku akan tetap disini, menunggumu beserta sinar jingga keemasan yang aku tahu pasti akan selalu kembali".
Rein tersenyum puas, memasukan kembali dua lembar kertas HVS yang baru saja selesai ia baca isinya ke dalam sebuah amplop coklat besar. Ia menuliskan alamat redaksi majalah cerpen remaja di bagian muka sebelah kanan bawah serta namanya di bagian kiri atas amplop tersebut.
Libur semester ini ia manfaatkan sebesar-besarnya untuk menulis. Tak kurang dari 10 cerpen dengan berbagai genre telah ia tulis. Rasa rindu yang menumpuk telah memberi banyak inspirasi, melahirkan barisan kalimat yang kini terbungkus rapat dalam amplop dan siap dikirimkan.
Dua minggu tanpa suaranya memanglah sedikit menyiksa, namun itulah yang telah disepakati sebelumnya. Rein dan Jed ingin menjadikan momen pertemuan nanti menjadi yang tak biasa.
Dua jam sudah ia duduk di kursi kantin jurusannya menunggu seseorang yang berjanji akan menemuinya disana. Lea dan Aksan telah pergi satu jam lalu, disusul dengan Mayang dan Abang. Sedangkan Senny lebih dulu pulang sesaat setelah perkuliahan bubar dengan wajah berbinar karena hari itu adalah hari dimana ia akan menemui seseorang setelah dua minggu terpisah oleh jarak dan waktu.
Rein kembali tersenyum mengingat wajah-wajah semringah temannya. Dan kebahagiaannya pun akan segera datang dalam hitungan menit. Telah terbayang di matanya senyum itu. Senyum yang selalu memenuhi seluruh ruang dalam hatinya.
Menit demi menit berlalu, Rein mulai gelisah. Kantin sudah mulai sepi ditinggalkan para pengunjung setianya namun ia tetap bergeming. Ia percaya bahwa seseorang yang ditunggunya akan segera muncul dihadapannya.
Gubrak!
Tasnya terjatuh. Rein membungkuk untuk memunguti isi tas totenya. Begitu ia kembali menegakkan tubuhnya, dihadapannya telah duduk seseorang.
Ia terkejut, menatap mata coklat yang menghiasi wajah kaku dihadapannya. Ia melemparkan pandangannya ke setiap sudut kantin yang sepi, mencari. Namun pencariannya sia-sia, ia tak menemukan tatapan khas yang ia tunggu sejak satu jam lalu.
Dihadapannya kini ada seseorang dengan sebuah kabar yang tak ingin ia dengar sedikit pun. Â Kalimat demi kalimat nan getir keluar dari bibir pemuda berwajah lelah itu. Rein menatapnya kosong. Â Tiba-tiba ia merasa seluruh tempat itu berubah suram, warna kelam menyelimutinya. Ia merasakan tiupan angin nan dahsyat menampar-nampar pipinya.Â