Rein baru saja turun dari perpustakaan, perutnya keroncongan.  Tapi sebelum sempat ia menjatuhkan kakinya di anak tangga terakhir, matanya lebih dulu menangkap sosok yang sangat ia kenal.  Rein terpaku, matanya menyipit memperhatikan dia yang tengah menikmati gelas kopi keduanya.  Jed terlihat berbeda, kemeja hitamnya yang terselip rapi ke dalam celana jeansnya seakan mengolok-olok kemeja flanel dan jeans lusuh yang  Rein kenakan.  Jed terlihat mulai gelisah, kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan. Rein terus menatapnya tanpa berkedip.  Alih alih melangkahkan kaki, ia malah membeku di tempatnya, asik memandangi sosok yang terlihat berbeda dari biasanyaJed selalu terlihat menarik di matanya.  Lea benar, selama ini ia masih menyimpan rasa itu.  Rasa yang seharusnya telah ia lupakan. Rasa yang dulu ia kubur dalam-dalam. Ibarat virus di dalam tubuh, rasa yang dulu mati suri,  kini muncul kembali karena pertahanan hatinya yang melemah.
Virus yang sebelumnya telah di dibinasakan oleh kehadiran Shia, kini muncul kembali dengan masifnya. Â Dan Rein sama sekali tidak tahu bagaimana mengenyahkannya.
Kini Jed terlihat bercakap-cakap dengan Dandy yang baru saja memasuki kantin. Â Dandy terlihat menggelengkan kepalanya lalu duduk dihadapan Jed.
"Dia nyari kamu, hampir sejam dia disana. Kenapa gak kamu temui?" Tiba-tiba suara Lea membuat Rein terlonjak kaget.
"Sok tahu." Jawab Rein, ia mendaratkan tubuhnya di anak  tangga yang dingin.
"Bukan sok tahu, dia tadi nanya ke aku, cuma aku kan gak tahu kamu pergi kemana." Lea terdengar sewot.
"Ah basa basi kali, mungkin aja cuma mau ngopi di kantin."
"Ngopi di kantin jurusan kita dengan penampilan seperti itu? Rambut dan kemeja rapi, sepatu kets habis di cuci. Baru kali ini lihat dia begini, biasanya kan sebelas duabelas dengan kamu." Â Lea terkikik.
Rein merengut. "Aku pulang."Â
"Loh, terus dia?"
"Terlihat bersamanya hanya akan membuat hati yang lain terluka."