Seperti pagi kemarin, pagi ini Zo telah duduk manis di kursi teras rumah bergaya blasteran Spanyol Meksiko dengan sentuhan ukiran Jawa kuno dan pernak pernik Sunda lampau itu. Mentari yang mulai merangkak naik di ufuk timur sinarnya mulai menyentuh tubuhnya hangat, sehangat perasaan hatinya.Â
Kemarin tanpa terduga ia dilempari senyuman manis bak rasa gulali berbalut cotton candy. Senyuman yang membuat ia merasa bagai Michael Jordan yang mencetak angka homerun dengan gaya slamdunk di lapangan golf kelas internasional. Sungguh perasaan yang campur aduk bagai adonan bolu kukus yang merekah sempurna tanpa melibatkan bahan pengembang.
Gris, begitulah nama pujaan hatinya itu. Dulu ia sama sekali tak tertarik dengannya, karena Gris sama sekali tak menarik. Gris cenderung terlihat macho, jauh dari seksi. Parahnya prilakunya pun cenderung bagai laki-laki. Namun, tak hanya itu alasan mengapa Zo tidak tertarik kepada Gris. Alasan utama ia tak pernah melirik Gris karena saat itu rasa cintanya telah ia persembahkan sepenuhnya untuk Ema, sang primadona desa.
Ema yang bertubuh semlohay bagai gitar spanyol itu memiliki paras ayu dan sedikit kemayu. Lirikan matanya bagai kilatan katana milik Kenshin Himura. Senyuman yang selalu tersungging di bibirnya merasuk ke hati lalu perlahan mengalir ke bilik dan serambi jantung Zo, menghasilkan debar-debar aneh dengan irama dag, dig, dug, dueeerr yang sungguh keren.Â
Namun sayang, perasaan cinta Zo harus kandas seketika, karena ternyata Ema lebih tertarik dengan sosok matang lelaki paruh baya yang telah banyak mencicipi asam garam kisah asmara. Ya, Zo bersaing dengan ayahnya sendiri untuk mendapatkan cinta Ema, namun seperti yang sudah-sudah, ia selalu kalah.
Bagai pacar ketinggalan kereta, Zo merasa sangat kecewa. Usahanya menarik perhatian Ema dan memerangi siapa saja yang mendekatinya harus padam seketika hanya gara-gara kemunculan kembali sang ayah yang telah bertahun-tahun menghilang entah kemana.
Ema telah mengukir banyak gurat dalam wajah Zo karena berlaga dengan para pertarung cinta lainnya. Goresan luka menyilang di pipi kirinya bagai milik Batosai sang pembantai, bopeng-bopeng di pipi kanannya bagai lukisan wajah Danny Trejo, dan hidung penyoknya bertengger pasrah bagai hidung bengkok Owen Wilson.Â
Alih alih minder dengan keadaan wajahnya, Zo malah mengagumi semua bekas luka yang tercetak jelas disana. Betapa semua luka itu adalah bukti bahwa ia adalah sang pejuang sejati. Biarlah wajahnya kini tak setampan Chris Hemsworth , tak semenawan Bill Skarsgrd dan tak seimut anggota One Direction, Harry Styles lagi, namun kepercayaan dirilah yang terpenting saat ini. Ya, kepercayaan diri untuk dapat menggapai cinta Gris itu yang lebih penting.
Setelah patah hati sepeninggal Ema, Gris menjadi terlihat sangat menarik dimatanya walau rupa dan prilakunya tetaplah sama seperti sebelumnya. Daya tarik Gris semakin hari semakin menguat bagai nilai mata uang dollar Amerika, Â karena kini ia merupakan satu-satunya perempuan yang availabledi desa.Â
Semua lelaki mengarahkan pandangannya ke arah Gris, termasuk Zo dengan mata ala Sauron-nya. Mata yang selalu mengikuti kemana "The Precious Thing" pergi. Namun Gris tetaplah Gris, ia tak pernah sedikit pun mengindahkan semua keberadaan para pemburu cintanya. Gris menjadi sosok yang sulit digapai. Alih alih menyerah, Zo malah lebih bersemangat. Adrenalinnya berpacu bagai melodi yang sarat dengan nada-nada keramat. Ia bertekad akan menjadi satu-satunya lelaki yang dapat menaklukan hati Gris.
Dengan bergerilya, ia melumpuhkan pesaingnya satu persatu. Semua yang mendekati Gris berhasil ia singkirkan baik lewat cara diplomasi maupun dengan sedikit aksi memreteli kepercayaan diri. Dan sedikit demi sedikit semua jerih payahnya mulai terasa, salah satunya adalah senyum manis Gris yang kemarin telah ia tangkap dengan sukarela dan kini tersimpan aman di dalam hatinya.