Seharusnya ada sebuah lembaga yang mulai mengurusi para pembuang sampah sembarangan ini. Mengatur semua yang berkaitan dengan sampah termasuk mencuci otak atau menghipnotis para pembuang sampah sembarangan agar bisa membuang sampah pada tempatnya.
Pertambahan penduduk yang membabi buta juga merupakan salah satu hal penyumbang banjir. Mengapa? Karena bertambahnya populasi berbanding lurus dengan bertambahnya jumlah pemukiman. Jangankan lahan kosong tak produktif, pesawahan yang produktif saja sudah mulai berubah fungsi menjadi pemukiman. Jadi tak heran ketika ada yang berkata bahwa nanti kita tak bakalan makan nasi soalnya sawahnya bukan ditanami padi tapi ditanami batu.
Nah, makin banyak rumah, makin jarang tanah resapan kan? Â Membuat biopori adalah salah satu solusinya, tetapi harus sesuai dengan kaidah yang berlaku jangan sampai biopori itu hanya menjadi lubang sumur menganga yang tidak berfungsi secara optimal persis seperti di kampung saya.
Penebangan pohon secara masif juga memiliki andil dalam bencana banjir. Tak hanya para penebang liar, banyak tetangga saya yang juga risih terhadap keberadaan pepohonan, sekalipun bukan miliknya sendiri. Â Â
Mereka gatal dengan pohon mangga dan jambu air saya. Â Alasan yang dikemukankan adalah dari sampah daun yang di timbulkan sampai meniupkan isu penunggu pohon mangga yang sering jail, aih. Padahal kurangnya pepohonan dan tanaman membuat air tidak dapat terserap secara maksimal.
Nah, bila rembesan air yang kerap nongol di rumah saya, itu murni karena kesalahan mandor yang bukan lulusan teknik sipil #eh.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H