Bila mendengar kata PKI pasti mendadak banyak yang alergi, gatal-gatal sampai meremang bulu kaki, tapi kalau yang satu ini sih dijamin aman. PKI yang ini gak kenal sama D.N. Aidit apalagi gambar palu arit karena merupakan kependekan dari Peuyeum Ketan Istimewa. Ya, PKI adalah sebuah merk dagang dari olahan tape ketan hitam yang didirikan oleh Bpk. (Alm.) H. Abdurahman Talham Soetardjo & Ibu Hj. Siti Rohanah sejak tahun 1962 silam. Kini gerainya dapat ditemukan di Jalan SMP No. 1 Cimahi. Entah telah berapa kali saya menikmati rasa khas PKI yang di kemasannya terdapat foto bapak ibu pendiri usaha itu. Yang pasti bila sekiranya rindu, saya akan menyempatkan diri untuk ke sana. Biasanya saya membeli kemasan kecil namun bila nafsu angkara murka melanda, kemasan besar dengan berat 500 gram pun langsung saya bawa pulang untuk dinikmati sendiri, *maruk. Nama PKI juga saya sematkan kepada semua olahan tape ketan hitam yang kerap saya temui, karena PKI dapat pula berarti Peuyeum Ketan Item
Saya pernah merasakan jenis PKI yang di jual di supermarket tertentu. Walau manis tapi sensasi cakres-cakres ketannya ketika dikunyah sama sekali tidak ada plus warnanya yang kurang pekat. Hal ini terjadi karena teksturnya yang lembek, mungkin pembuatannya di campur dengan ketan putih. Padahal ciri khas PKI adalah di tekstur keras ketannya. Saya pun pernah mencicipi PKI yang dijual di pasar tradisional atau pasar-pasar tumpah. Kalo yang ini rasa manisnya tak normal, seperti dibubuhi sejenis gula biang.
Dulu setiap lebaran tiba, makanan ini tidak pernah absen untuk di hidangkan di meja. Yang membuatnya siapa lagi kalau bukan mendiang simbah. Menurut simbah, proses pembuatan tape yang kerap ditemui di acara-acara hajatan ini harus dilakukan secara berhati-hati dan mengikuti aturan tak tertulis yang berlaku secara turun temurun.
Aturan itu diantaranya adalah sang pengeksekusi harus dalam keadaan bersih jiwa dan raga, tidak boleh sedang sakit fisik, hati apalagi jiwa. Lebih baik lagi apabila sedang bergembira suka ria. Tidak boleh banyak bicara dan tidak sedang datang bulan ketika mengolahnya. Banyak yang menganggap itu adalah mitos belaka, namun bila ditelisik lebih jauh, sedikit ada benarnya juga.
PKI dibuat melalui poses fermentasi yang merubah karbohidrat menjadi alkohol, karbondioksida, dan asam organik dengan menggunakan ragi. Karena di dalam prosesnya menggunakan mikroorganisme, maka semua peralatan yang dipergunakan harus bersih tujuannya agar bakteri yang digunakan untuk membuat makanan ini dapat bekerja dengan baik dan tidak terkontaminasi oleh jenis bakteri atau jamur lain yang tidak diinginkan.
Selain peralatan yang bersih, tentu saja sang pembuatnya pun harus dalam keadaan bersih. Bersih raga sudah pasti, akan halnya bersih jiwa dan sedang bergembira, ini bersangkutan dengan proses pembuatannya yang cukup panjang. Bila jiwa kita tidak bersih, banyak pikiran, sedih, galau dan sebagainya tentunya akan menghambat proses pengerjaannya dari tahap satu ke tahap lainnya.
Sedangkan alasan seorang wanita tidak boleh membuat PKI ketika datang bulan, bisa jadi itu bersangkutan dengan emosi yang naik turun. Hal tersebut setidaknya akan mempengaruhi proses pengolahan yang membutuhkan keuletan tersendiri.
Mungkin karena terlalu banyak aturan membuat sesesorang langsung balik badan ketika ingin membuat jenis olahan satu ini. Lebih baik pesan atau sekalian minta tetangga saja, itu pun bila sang tetangga punya dan rela haha.
Namun sebagai pecinta salah satu kuliner tradisional ini, maka tak ada alasan bagi saya untuk melarikan diri dari mengolah dia yang rasanya tak dapat dijabarkan dengan kata-kata.
Kali pertama membuat olahan yang berasal dari beras ketan hitam yang difermentasi dengan bantuan bakteri S. Cerevisiae itu lumayan sukses, rasa PKI saya manis bak acara gula-gulanya Bara Pattirajawane.
Tapi kali kedua, PKI saya rasanya asem banget seperti bau ketek yang lupa disemprot deodoran spray berkekuatan 48 jam. Padahal perasaan sih ketika membuatnya, saya sedang dalam keadaan hati dan pikiran yang bersih, sebersih keadaan dompet ketika lebaran telah usai.
Begitu pula wadah-wadah yang di pergunakan semuanya bersih. Beras ketan dan raginya pun di beli di tempat yang sama. Tapi ya dasarnya sudah menjadi takdir sang PKI menjadi berasa asam, tidak ada yang bisa diperbuat lagi selain menyulapnya menjadi makanan lain berjudul madu mongso. Madu mongso adalah makanan khas daerah asal ibu saya, Madiun. Lagi-lagi saya mengetahui cara pembuatan madu mongso ini dari simbah. Makanan yang biasanya dibungkus menggunakan kertas minyak warna-warni itu terbuat dari tape ketan hitam, gula, santan dan garam.
Nah, beberapa hari lalu saya kembali menantang diri saya sendiri untuk membuat PKI. Semua telah saya persiapkan dengan matang bagaikan hendak ujian.
Semua aturan tak tertulis sudah diceklis. Dan hasilnya sesuai dengan rasa yang diidamkan. Adapun resep yang saya gunakan adalah sebagai berikut:
Bahan:
- 1 Kg ketan hitam, rendam 6 jam atau semalaman bila ingin lebih empuk.
- 1/2 butir ragi tape
- 300 ml air (sisa air pengukus ketan)
Cara membuatnya:
Cuci bersih ketan hitam yang telah direndam. Kukus sampai setengah matang, angkat. Pindahkan ke wadah yang lebar, tuang air sisa mengukus ketan, aduk rata.
Kukus lagi ketan sampai matang, angkat, pindahkan ke wadah yang lebar. Saya menggunakan tampah yang dialasi daun pisang. Biarkan ketan dingin, harus benar-benar dingin. Taburi ketan dengan ragi yang telah dihaluskan dengan menggunakan saringan teh, aduk sampai tercampur rata.
Masukan ke dalam panci yang dialas daun pisang. Tutup dengan kain baru ditutup dengan tutup panci. Diamkan selama 3 hari.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H