Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (34)

26 Oktober 2017   14:11 Diperbarui: 26 Oktober 2017   14:16 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : askmedicals

Semenjak mengakhiri hubungannya dengan Shia,  setiap hari Rein berdiam diri di perpustakaan. Ia senang memandangi wajah ramah pak Soma yang tengah melayani beberapa mahasiswa yang itu-itu saja dan memperhatikan satu dua orang yang berada di sana alih alih membaca novel atau buku yang ia sukai.

Perpustakaan yang sepi, sesepi hatinya.  Hubungan Rein dengan Shia telah berakhir meninggalkan jejak yang menghitam.  Kebenaran yang terungkap secara tiba-tiba membuatnya seperti berada di bibir jurang yang dalam. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh Ibunya, ketika Ayahnya pergi ke pelukan wanita lain. Tapi Ibunya masih bertahan. Sebenarnya Rein kecewa akan sikap Ibunya, tapi itulah orang tua, selalu mencoba bersabar walaupun terasa sakit, demi anak-anaknya.

Sedangkan Rein, tidak ada yang harus dipertahankan dari seorang Shia.  Awal yang indah dengan akhir yang gundah.  Bagi Rein, Shia adalah sejarah.

Rein menatap dua orang mahasiswa dan mahasiswi yang ada di hadapannya, wajah-wajah cerah tanpa gurat persoalan.  Rein sadar, sebenarnya dirinya sendirilah yang menyebabkan semua masalah yang bergumul dalam hidupnya tak mau pergi, bukan  Ayahnya, bukan Shia, bukan sahabat-sahabatnya.  Rein tahu dirinyalah yang harus memperbaiki diri, menerima semuanya dengan lapang dada.  Benar apa yang dikatakan Senny bahwa setiap masalah pasti ada hikmahnya.  Ia harus bisa menghadapinya sendiri, toh lahir dan mati pun ia sendiri, lalu mengapa ia harus meratap karena kini tidak ada satu orang pun berada di sekelilingnya. 

Beberapa minggu ini Rein bertingkah bak vampire. Setiap pulang kuliah ia langsung bersembunyi di sarangnya yaitu perpustakaan.  Rein merasa dunia luarnya kini menjadi sangat tidak menarik untuk di singgahi. a lebih memilih untuk menyepi bersama kesendiriannya. Kini jarum jam di perpustakaan menunjuk di angka 5, Rein beranjak dari duduknya, membereskan buku-buku nya, tersenyum dan mengangguk kepada pak Soma lantas berlalu dari perpustakaan.Suasana kampus sore itu begitu lengang, kelas sore belum banyak yang keluar.  Rein melangkahkan kakinya ringan. Ia tidak ambil pusing ketika salah satu tali sneakers-nya terurai yang menyebabkan lecutan-lecutan kecil pada kakinya. Karena irama berjalannya terlalu cepat membuat kaki kirinya menginjak tali yang terurai dan akhirnya ia pun terjatuh.

Rein meringis merasakan lututnya yang bergesekan dengan aspal yang keras.  Sejenak ia terduduk sambil mengikat tali sepatunya. Tak lama ada sepasang sepatu yang muncul tiba-tiba.  Jantungnya berdegup kencang, sepatu berwarna putih dengan logo yang sangat familiar itu seakan ingin menerkamnya. Ia tak kuasa menatap wajah sang pemilik sepatu. Dengan susah payah ia beranjak dari duduknya, sementara sebuah tangan yang terulur tak dihiraukannya.  Tanpa mengeluarkan sepatah kata Rein berjalan dengan cepat, meninggalkan seseorang yang kini memanggil namanya dengan nyaring.

"Rein!"

Rein merasa sangat tidak nyaman, di belakangnya ada Shia yang mengejarnya.

"Rein!" Shia berteriak lagi.

Rein masih membisu, ia memeluk erat tas tote blacunya berharap tas itu dapat menjadi sebuah perisai untuk meredam detak jantungnya.

"Rein aku mau ngomong sama kamu."  Shia memburu Rein, sementara gadis itu tetap berjalan sambil menggelengkan kepalanya.

"Rein, please sebentar aja."

Rein teguh dalam pendiriannya.

"Reinaka!" Baru saja Shia akan menggapai bahunya,  tiba-tiba ada seseorang yang muncul dihadapannya.

"Rein? Baru pulang?" Sebentuk wajah dengan bintik-bintik merah di pipi tersenyum  lebar padanya.

Rein menganguk, ada satu perasaan lega dalam hatinya. Jimmy melihat Shia yang berada di belakang Rein. Jimmy tahu bahwa hubungan antara Rein dan Shia telah berakhir.

"Ikutan yuk," ajak Jimmy tiba tiba.

"Ikutan apa?" Rein bertanya pelan.

"Ayuk deh, kita ke bengkel sebentar." Jimmy menarik lengan Rein cepat.  Shia pergi mendahului mereka dengan langkah lebar raksasa penghuni beanstalk-nya Jack.

"Kenapa dia? Tadi ngejar kamu sekarang balik badan pergi?"  Jimmy menunjuk Shia.

Rein menggelengkan kepalanya tak ingin ambil pusing. "Bawa apa itu?" Rein mengalihkan pembicaraan dan menunjuk tas plastik yang berada di tangan kanan Jimmy.

"Sebentar lagi kamu juga bakal tahu."

Setiba di bengkel Sipil yang letaknya agak jauh di belakang gedung kuliah Tehnik, Jimmy bersiul, rupanya ia memanggil Erik, Indra, Aris, Iwan, Ratri dan Tantri.  Ada senyum-senyum jahil di wajah mereka.  Rein meminta penjelasan pada Tantri dengan kerutan di keningannya dan Tantri hanya tersenyum dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya.

"Dia keluar." Ratri berbisik sementara sudut matanya terlihat melirik Rein tajam.

Rein ikut merasa tegang, siapa yang mereka sebut keluar itu, bak main game Prehistorix di computer Pentium 1 nya Senny yang monitornya kadang harus di gebrak dulu agar menyala, jantungnya ikut berdebar dengan kencang.

Terlihat seseorang berjalan santai dengan baju bengkel overall warna khaki yang masih melekat di tubuhnya.  Tanpa aba-aba bergemalah teriakan Tantri.

"Siaaaapp," seru Tantri.

Dan terjadilah hal yang membuat Rein terkejut setengah mati.

Diawali oleh Jimmy yang setengah berlari sambil merogoh sesuatu dari kantong plastiknya dan menepukkannya di kepala Jed.  Putih telur yang bening berhamburan bersama bagian kuningnya di kepala Jed menghasilkan teriakan terkejut dari pemuda gondrong itu.

"Selamat ulang tahuuuunn." Ratri ikut memecahkan satu buah telur ayam, di ikuti oleh teman-teman lainnya mereka terbahak-bahak sementara Jed terlihat berlarian kesana kemari untuk menghindar.  Rein ikut tertawa, mungkin inilah tawa pertamanya setelah beberapa minggu ia gadaikan.

"Hei Rein, nih sisa satu telurnya, mau coba? It feels good." Jimmy memasang mimik wajah yang kocak.

Rein menerima sebutir telur dari genggaman tangan Jimmy, ia terlihat ragu-ragu.

"Perlu aku pegangin orangnya?" Aris mencoba menangkap tubuh Jed, sementara teman-teman lainnya masih terkekeh bahagia.

Diantara kepala dan tubuhnya yang penuh dengan  isi dan serpihan kulit telur itu, Jed menatap ke arah Rein, ia tersenyum lalu melangkah mendekati Rein.

"Yaaa giliran ke Rein aja menyerahkan diri." Tantri tersenyum menggoda. Jed meringis.

"Kapan pun kamu mau."  Jed cengengesan.

Rein memandang mata coklat yang terlihat berbinar itu. "Serius?" Rein keheranan.

Jed mengangguk, ia menatap wajah Rein lekat-lekat. Tiba tiba suara Yuki, vokalis Pas Band yang tengah menyanyikan lagu "Here Forever" memenuhi seluruh ruangan di kepalanya.

"Happy birthday." Rein menimpukkan telurnya ke atas kepala Jed.  Suara Yuki pun langsung lenyap seketika.

Touchdown.

"Tepungnya Rein." Tantri mengulurkan tas plastik yang berisi tepung kepada Rein.  Baru saja Rein merogohkan tangannya ke dalam tas plastik itu ketika Jed berlarian untuk menghindar.

"Jangan tepung, jangan tepung."  Jed berteriak sambil berlari zig zag menghindar.

"Memangnya aku adonan kue." Jed protes.

"Tentu saja." Rein mengejar Jed sambil menggenggam tepung  yang siap di taburkan di kepalanya.  Jed berlari ke sisi bengkel lalu berhenti berlari dengan nafas yang terengah.

Dengan spontan Rein menaburkan tepungnya ke kepala Jed, lagi, lagi dan lagi sambil tertawa lepas.  Jed tidak menghindar, tidak berteriak dan tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandangi wajah Rein yang memerah karena tertawa.  Jed tersenyum.  Rein akhirnya menyadari bahwa mangsanya kini tengah memandanginya.  Rein pun menghentikan aksi tabur tepungnya dan mendadak menjadi sangat kikuk di hadapan Jed.

"Selamat ulang tahun ya, sorry aku gak punya kado buat kamu."

"Tawa kamu adalah kado buatku." Jed menghapus lelehan telur yang mengalir melewati pipinya.

Rein mengeluarkan beberapa lembar tisue dari tasnya, dan menyodorkannya pada pemuda yang sudah tak berupa itu.  Jed menerimanya dan menghapus beberapa lelehan yang terasa sedikit mengganggu.

Sejenak mereka bertatatapan dalam diam.

"Kamu kotor banget, pulang yuk." Rein mengalihkan pandangannya.

"Mendingan makan-makan, yuk," ajak Jed, senyum terkembang di bibirnya.

"Hmm..." Rein terlihat ragu.

"Sama anak-anak," terang Jed cepat.

Rein tersenyum lalu mengangguk.

Sementara itu ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dari balik tiang selasar.  Mata yang dipenuhi dengan api kemarahan.

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun