Bagi para pecinta Linkin Park, tanggal 27 Oktober mungkin adalah hari yang ditunggu dimana pada tanggal tersebut band yang berdiri tahun 1996 itu akan mengadakan konser penghormatan untuk mendiang vokalisnya, Chester Bennington yang akan digelar di Hollywood Bowl, Los Angeles.Â
Konser yang juga di dalamnya terdapat aksi penggalangan dana bagi yayasan nirlaba"Music for Relief". Itu rencananya akan disiarkan secara live streamingvia You Tube . Hal ini memungkinkan semua penggemar mereka di seluruh belahan dunia dapat menyaksikan konser tersebut secara real time.
Tak hanya para personil Linkin Park saja yang akan tampil di acara yang ditenggarai sebagai konser pertama selepas kematian Bennington itu, namun ada banyak band dan musisi terkenal yang terlibat di dalamnya. Salah satu band yang ambil bagian dalam acara tersebut adalah System Of A Down (SOAD). Ya, selain memiliki nuansa musik yang hampir sama, SOAD memiliki kedekatan tersendiri dengan band asal Agoura Hills California itu.
Hal ini dapat dilihat dalam album Linkin Park yang bertajuk "The Hunting Party". Di album ini terdapat sentuhan tangan dingin gitaris SOAD, Daron Vartan Malakian dalam lagu "Rebellion". Nomor dengan aroma SOAD yang kental ini merupakan salah satu tembang yang menunjukkan bahwa album ke-6 Linkin Park itu kembali ke akar mereka setelah sebelumnya banyak bermain di ranah EDM dan techno.
Hari ini saya mendengarkan Rebellion, dan tak terasa mata saya basah dibuatnya. Bukan karena mengingat Chester Bennington yang mati muda, namun karena saya mendengarkan lagu ini sambil mengupas bawang merah untuk persiapan masak nantinya. Sambil bercucuran air mata saya membayangkan sang gitaris yang matanya digarisi oleh eyelineritu memainkan gitar Ibanez Iceman-nya dengan garang. Lalu satu persatu munculah wajah-wajah khas dari belahan bumi asia barat lainnya yaitu Serj Tankian, John Dolmayan dan terakhir Shavo Odadjian.
Wajah khas keempat personil band yang berdiri tahun 1995 itu ternyata di dapat dari orangtua yang merupakan keturunan dari etnis Armenia. Etnis yang mengalami dua kali kasus genosida yang mengerikan. Yang pertama adalah genosida pada tahun 1894 yang dikenal dengan pembantaian Hamidian. Sedangkan yang kedua terjadi pada kisaran tahun 1915 saat Perang Dunia pertama berkecamuk dan setelahnya. Genosida yang dilakukan oleh pemerintahan Turki saat itu dibagi menjadi 3 bagian.
Bagian pertama adalah pemusnahan kaum laki-laki dengan mewajibkan mereka bergabung di militer alih-alih kerja paksa yang berakhir dengan banyaknya kematian. Bagian kedua adalah pembunuhan terhadap para wanita, anak-anak dan orangtua yang telah sakit-sakitan dalam perjalanan menuju Suriah dan Mesopotamia. Dan yang terakhir adalah pembunuhan terhadap kaum intelektual.
Beberapa negara Eropa menuding Turki melakukan genosida untuk meredam pemberontakan, sementara Turki berdalih bahwa kematian masal etnis Armenia bukanlah pembersihan etnis namun sebagai akibat perang sipil serta menyeruaknya wabah penyakit.
Seperti diketahui, jauh sebelumnya Armenia dikenal sebagai daerah yang begitu menggiurkan karena letaknya yang strategis diantara dua benua. Beberapa negara seperti bangsa  Asiria, Persia , Yunani, Romawi , Bizantium, Mongol, Arab , serta Turki pernah menjajah negeri yang kaya akan budaya ini. Pada tahun 1500 wilayah Armenia terbagi dua, yaitu yang dikuasai oleh Ottoman Turki dan Kesultanan Persia.Â
Beberapa ratus tahun kemudian, Rusia berhasil mengambil alih kekuasaan Persia atas Armenia. Revolusi Bolshevik di Petrogard-lah yang akhirnya membuka peluang Armenia untuk merdeka. Pada tahun 1919, Armenia dibawah bendera Armenian Revolutionary Federation memproklamirkan berdirinya Republik Demokrasi Armenia. Sebuah perjuangan yang panjang dan melelahkan, penuh darah dan air mata.
Satu abad telah berlalu namun kepahitan akan pembersihan etnis yang menelan korban hampir 1,5 juta jiwa itu masih dirasakan baik oleh keturunan etnis Armenia pun oleh negara-negara yang mengakui adanya genosida disana.