Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Confetti

7 Agustus 2017   16:38 Diperbarui: 8 Agustus 2017   00:52 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepingan uang logam itu jatuh dengan suara denting yang merdu. Pertarungan antara hidup dan mati pun terjadi. Dua tangan kecil berebut satu keping uang logam yang sama. Teriakan mewarnai adu kekuatan. Kepingan uang logam yang awalnya telah berada dalam genggaman seorang anak perempuan, tiba-tiba direbut paksa dan akhirnya menemui tuannya. Tergenggam erat dalam pelukan hangat jemari kecil anak lelaki berwajah badung. Sementara anak perempuan yang merasa kehilangan menatapnya dengan mata memerah menahan tangis di antara taburan bunga dan kertas warna warni yang menyentuh kepalanya. Gadis kecil yang biasanya sangat menyukai salah satu acara dalam sebuah pernikahan itu selanjutnya tak lagi ingin terlibat di dalamnya.

***

Amara menengok jam tangannya lalu membereskan mejanya segera. Suara gemerincing tanda pintu dibuka memaksanya untuk memalingkan wajah ke arah datangnya suara. Seorang pemuda melenggang masuk, melemparkan pandangannya ke segala arah. Jemarinya menyentuh semua benda yang dilewatinya. Amara mendengus, sepuluh menit lagi toko akan tutup dan kini pemuda itu dengan santainya melihat-lihat barisan gitar yang tergantung di dinding.

"Maaf, kami akan tutup, apakah ada yang bisa saya bantu?." Amara menghampiri pemuda yang kini tengah menjentikan jarinya ke senar gitar yang baru saja ia ambil. Pemuda itu diam, ia masih sibuk dengan gitar yang kini ada dipelukannya.

"Ehm..." Amara berdehem tak sabar.

Pemuda itu menatapnya sekilas lalu menyerahkan benda berbentuk elok itu ke tangan Amara dan melenggang pergi.

Amara merasa seakan ada bom atom yang akan meledak di dadanya. Mengapa selalu ada orang yang menyebalkan di saat ia merasa senang karena akan segera terbebas dari tugas menjaga toko.

***

Amara melemparkan tas punggungnya dengan asal sambil bersungut-sungut sementara Rendra kakaknya melambai di luar. Hari ini semestinya adalah jadwal Rendra menjaga toko, namun kakak laki-lakinya itu meminta untuk menggantikannya karena harus bertemu dengan dosen pembimbing skripsinya. Pegawai serba bisa mereka satu-satunya tengah mengajukan cuti menikah. Ini adalah kali pertama Amara menjaga toko, ia merasa tak nyaman karena ia sama sekali buta tentang alat musik. Walau ayahnya seorang musisi tak serta merta membuat ia tertarik pada berbagai macam alat musik.

Dan genap sudah dua hari ia terdampar di tempat ini. Hiburan satu-satunya bagi Amara adalah memenuhi  sketchbook-nya dengan goresan pinsil warna-warni.

Amara menengok jam ditangannya, setengah jam sudah pemuda itu berada diantara kumpulan gitar. Amara memperhatikan wajah itu dari kejauhan, ia seakan pernah melihatnya namun entah dimana. Ia berpikir keras mengumpulkan helai demi helai memori yang terserak. Suara detingan uang logam milik salah seorang pengunjung jatuh ke lantai yang serta merta mengikat helaian memorinya menjadi satu.

Sang perampas koin, ya, tak salah lagi, itu memang dia. Amara mendengus. Mengapa ia kembali ke kota ini? Dan Mengapa ia masih menyebalkan seperti dulu. Ia pasti telah lupa dengan perbuatan tak eloknya sepuluh tahun yang lalu. Namun aku tidak, begitu batin Amara.

"Maaf, sudah jam 5, toko akan tutup." Amara berkata dengan ketus sambil melirik pemuda yang tengah asik memilih plektrum yang terhampar diatas etalase.

"Menurut kamu, mana yang lebih bagus untuk gitarku?"

"Itu semua sama saja, hanya warnanya yang berbeda."

"Hmm, kamu salah, ini tak sama. Lihat, plektrum yang tipis ini cocok untuk gitar akustik ku karena akan menghasilkan suara yang lembut. Nah, yang tebal ini, pas digunakan untuk gitar elektrik, suara yang dihasilkan akan terdengar tebal dan keras."

Amara menyipitkan matanya, ia sama sekali tak butuh semua pelajaran tentang plektrum, sungguh menyebalkan.

"Itu sudah tau, kenapa kamu nanya aku, lagian itu kan gitar kamu, kamu yang lebih tau." Amara merepet naik darah. Pemuda itu tersenyum tipis dan menggeser plektrum pilihannya ke hadapan gadis yang roman mukanya mendadak menjadi super kusut itu.

***

Rasanya Amara ingin berada di kursi lontar pesawat tempur dimana dalam keaadaan tak menyenangkan seperti sekarang ini, ia akan menarik tuasnya dan membiarkan tubuhnya terpelanting keluar. Pemuda bernama Jo itu selalu datang di saat-saat kritis yang membuat Amara harus menunda barang beberapa menit berharganya untuk menutup toko. Setelah plektrum kini ia membeli satu set senar gitar akustik dengan bonus ceramah tentu saja. Menerangkan segala sesuatu tentang dunia persenaran, seakan ia adalah juru kuncinya.

***

"Ra, aku tinggal dulu ya, kamu boleh tutup lebih awal hari ini." Rendra menepuk bahu Amara.

"Aku boleh pake gitar rosewood yang ini kan Rend?" Jo mengacungkan sebuah gitar berwarna coklat.

"Pilih saja yang mana, bro, pakai sesuka kamu. " Rendra balik berteriak sambil keluar toko.

Amara terbelalak.

Bro? Sejak kapan Rendra begitu akrab dengan mahluk menyebalkan satu ini?

Dengan sebal, Amara memperhatikan Jo yang kini duduk santai diatas sofa sambil memangku gitar dan memainkannya dengan pelan.  Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ketika ada seorang bapak yang menanyakan tentang jenis plektrum untuk pasangan gitar elektrik putranya, Amara pun memilihkan satu.

***

Amara menekan tombol redial berkali-kali, namun tetap saja nomor Rendra tak dapat dihubungi. Begitu pun nomor ayahnya yang tengah berada di luar kota, sementara sang calon pembeli terlihat tak sabar diantara rimbunnya alat musik perkusi yang mengelilinginya. Ia terus mencoba sambil hilir mudik di belakang meja kasirnya.

"Non!"

Amara tersentak, meletakkan gagang telepon pada tempatnya segera.

"Ya pak."

"Saya ambil yang itu." Pria sebaya ayahnya itu menunjuk asal.

Amara celingukan, tak tahu kemana mata harus menuju.

"Pearl Roadshow Series Jet Black." Jo berteriak nyaring sambil menunjuk drum yang dimaksud dengan stick drum yang ia pegang.

"Ya, itu. Untung ada mas-nya yang tau banyak tentang drum. Kirim ke alamat ini, jangan lupa, tolong tulis, dari papa, pakai huruf besar semua. Makasih ya." Pria itu mengulurkan kartu nama dan kartu debitnya.

***

Hari ini Jo datang lebih awal, seperti biasa menyentuh semua alat musik yang dilewatinya lalu mendamparkan diri di sofa bersama Rendra. Suara petikan yang keluar dari dua gitar memenuhi ruangan membuat telinga Amara gatal. Ia pun beranjak lalu pergi meninggalkan toko tanpa berpamitan pada kakaknya.

Amara tak tahu apa yang merasuki pemuda bernama Jo itu sehingga ia betah berlama-lama di tokonya. Setiap giliran ia menjaga toko, pemuda itu selalu muncul. Terkadang bermain gitar, menyentuh simbal, menekan tuts piano, memetik banjo, bahkan senar biola pun tak ketinggalan ia gesek, sungguh menganggu sekali. Amara sebal, kalau saja Jo bukan teman Rendra, dari kemarin-kemarin pasti ia telah mengusirnya, bila sapu tak mempan, seember air akan ia siapkan.

***

Kekesalan Amara akan pemuda bernama Jo itu sedikit terobati, karena hari ini Jo yang menyebalkan itu telah berkali-kali menyelamatkannya dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan beberapa pengunjung tentang alat musik yang mereka cari. Jo terlihat antusias menjawab pertanyaan dan memberi rekomendasi. Namun hal itu tentu saja tak cukup membuat Amara mau membalas senyuman yang dilemparkan pemuda itu.

***

Amara menguap lebar sambil membereskan barang-barang di etalase diantara suara dentingan tuts piano klasik yang dimainkan Rendra. Ia melirik Jo yang tengah mengutak-atik sebuah gitar yang tadi ia bawa entah dari mana. Suara gemrincing yang berasal dari pintu membuat tatapan Amara berpindah. Seorang lelaki setengah baya berkacamata hitam berkumis tebal terlihat mencari-cari. Langkah kakinya mengintimidasi, Amara mengkerut dibalik mesin cash register.

"O, jadi ini yang kamu lakukan setiap hari?" Teriak lelaki itu.

Amara mencuri-curi pandang.

"Kamu sudah mengkhianati kepercayaan papa Jo. Dan ini, benda ini lagi?" Lelaki yang menyebut dirinya papa itu merebut gitar yang ada di pelukan Jo lalu dengan sekuat tenaga memukulkannya ke lantai, bagai aksi  gitaris grup heavy metal  saat akan mengakhiri pentas.

Gitar itu rontok seiring dengan perasaan Amara yang menjadi tak karuan, ia melihat Rendra yang berusaha menenangkan papa Jo, sementara Jo hanya tertunduk lesu.

***

Amara membiarkan angin malam menerbangkan helai gorden jendela kamarnya. Bulan purnama diatas sana bersinar terang tanpa ditemani awan.

Kejadian sore tadi di toko kembali berkelebat dalam pikirannya. Rendra bercerita bahwa awalnya ia tak pernah tahu bahwa Jo pernah tinggal di kota yang sama. Komunitas musik di sebuah medsos-lah yang telah mendekatkan mereka. Minat yang sama pada musik membuat mereka cepat menjadi sahabat. Namun hobi bermusik Jo ditentang keras oleh papanya. Kemarin adalah kali kedua papa Jo merusak gitar yang sama. Jo dikirim ke kota ini untuk dititipkan kepada kakek neneknya agar ia tak lagi bermain musik dengan tema-teman bandnya.

Namun, keinginan yang kuat akan selalu menemukan jalannya. Ia dikirim ke tempat ini, tempat dimana teman maya-nya berada ditambah bonus toko alat musik tentunya.

Amara melihat satu persatu video yang diunggah Jo di akun YouTube nya sesaat setelah Rendra menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang Jo. Permaian gitar pemuda itu ternyata sangat menakjubkan.  Bunyi yang dihasilkan oleh gitarnya sungguh unik. Nomor-nomor yang ia ciptakan sangat bersahabat di telinganya. Baru kali ini Amara mendengarkan beberapa komposisi yang membuatnya langsung jatuh hati. Sungguh sangat disayangkan bila bakat sehebat itu harus padam karena ambisi orang tua untuk menjadikan anaknya seperti yang mereka inginkan.

Dahi Amara berkerut ketika Rendra memberitahukan bahwa Jo ingin menemuinya.

"Malam-malam begini?"

"Dia bilang besok dia harus pergi." Rendra tersenyum.

Sekejap tadi Amara merasa bersimpati kepada pemuda itu karena persoalan yang tengah membelitnya, namun kini rasa simpatinya sedikit pudar karena kedatangannya yang tiba-tiba dimana malam telah larut.

"Maaf bila aku mengganggu. Aku hanya ingin mengembalikan ini." Jo melepas kalung yang tersembunyi di balik kemejanya dan menyerahkannya pada Amara.

Amara menatap benda itu, kalung dengan bandul sekeping uang logam yang tiba-tiba membuat ingatannya terlempar ke peristiwa beberapa tahun silam.

"Aku tak mengira bahwa koin itu telah membuatmu membenci ku. Maafkan aku telah merampasnya darimu."

Amara diam.

"Aku ingin kamu menerimanya kembali, beberapa minggu ini aku mencari waktu yang tepat untuk mengembalikannya padamu. Tapi aku belum memiliki keberanian untuk itu, kamu terlihat tidak bersahabat." lanjut Jo pelan.

"Selama ini aku merasa bahwa koin itu selalu memberiku keberuntungan. Oleh sebab itu aku membuatnya menjadi kalung dan memakainya kemanapun aku pergi. Namun tibalah saat itu, saat ketika aku berkenalan dengan Rendra lalu melihat foto-foto masa kecil kalian. Koin itu seakan tahu siapa pemilik sebenarnya, ia tak membelaku lagi. Awalnya pengkhianatan salah satu teman bandku yang membuat papa mengetahui semua yang aku lakukan. Dan selanjutnya ketidakberuntungan pun mendatangiku secara bertubi-tubi. Dari situ aku sadar, mungkin ini semua adalah karmaku karena telah merampas koin ini dari tangan kamu."

"Kamu berlebihan, tak ada yang seperti itu. Beruntung atau tidak beruntungnya seseorang bukan ditentukan oleh sekeping uang logam,"

"Lagipula hal itu sudah lama berlalu, dan aku sudah melupakannya." Amara membuat nada suaranya terdengar senormal mungkin. Ia berbohong.

"Besok aku harus pergi, aku tak akan mengganggu kamu lagi di toko. Sekali lagi maafkan aku.  Aku akan merasa tenang bila kamu mau menerima ini. Papa telah merampas apa yang aku sukai, dan itu rasanya sangat pahit." Jo menarik tangan Amara, membalikan telapaknya dan membenamkan kalung berbandul koin itu.

Lidah Amara kelu. Ia tak dapat berkata-kata. Kejadian-kejadian aneh yang dialaminya dari siang tadi hingga malam ini membuatnya sedikit bingung.

***

Jo memang menyebalkan, tapi satu, dua, tiga hari tanpa pemuda itu membuat perasaan Amara menjadi galau tak menentu. Ia merasa ada yang hilang. Rendra berkata bahwa ia sama sekali tak bisa menghubungi Jo. Terbayang lagi diingatannya akan semua peristiwa kemarin ini.

"Ini tidak adil." bisiknya lirih.

Malam itu Amara pun disibukan dengan DVD kosong dan akun You Tube Jo.

Siangnya entah kebetulan atau apa, baru saja Amara akan mengetuk pintu rumah kakek dan nenek Jo untuk menanyakan sebuah alamat, seorang lelaki berkumis tebal turun dari kendaraan dan menghampiri pintu yang sama.

***

Amara tengah asik berkutat dengan sketchbook-nya ketika ia merasakan sentuhan lembut dibahu kanannya.

Dihadapannya kini berdiri sosok pemuda yang beberapa malam ini kerap mendatanginya dalam mimpi. "Apa yang kamu katakan pada papaku?" Jo duduk, matanya tak lepas dari wajah Amara. Gadis itu tersenyum. "Bila kita benar-benar mencintai seseorang maka kita akan membiarkannya melakukan apa yang ia suka."

Jo menatap Amara jauh kedalam matanya lalu mengangguk.

"Dan aku pun akan membiarkan seseorang yang aku cintai melakukan apa yang biasanya ia suka dan tak akan membiarkannya bersedih lagi karena kehilangan benda berharganya." Jo menaburkan banyak potongan kertas berwarna-warni diatas kepala mereka.

"Confetti." Mereka berkata bersamaan dan saling tatap.

Sementara itu Amara  mengenggam kalung berbandul koin yang tergantung dilehernya dengan erat.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun