Terkadang untuk mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan, seseorang harus melalui jalan yang berliku dan melelahkan. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga meninggalkan berbagai goresan. Dan ketika pertarungan itu usai, semuanya akan nampak begitu jelas dan menenangkan.
***
Aku melirik Hiro yang melemparkan sarung tangan kulitnya dengan asal diatas meja yang penuh dengan berkas-berkas yang tengah ku kerjakan. Wajahnya terlihat lelah dan suram. Lalu ia duduk dihadapanku, setelah sebelumnya meletakan benda kesayangannya di kursi kosong yang ada disampingku.
"Capek." Hiro menyandarkan punggungnya.
"Kenapa?" Kutatap wajah lelah itu.
"Berhenti."
"Lagi?" Dahiku berkerut.
Hiro mengangguk, ia melambaikan tangannya lalu memesan minuman kegemarannya.
"Kenapa selalu begini?" Hiro berkata lirih lalu meneguk gelas berembun itu.
"Ya, kenapa?" Aku balik bertanya walau dalam hatiku tak ingin mempertanyakannya.
Hiro merengut.
"Dari awal aku memang merasa gak pas sama Ryu, gitaris baru itu. Dia ini bawaannya bikin aku emosi. Improvisasi seenak-udelnya."
Hiro membereskan berkas-berkasku, itu tandanya ia ingin didengar dan sebagai sahabat yang telah mengenalnya sejak enam tahun silam, aku mafhum dibuatnya.
"Terus?" Aku menatap wajah gusar itu.
"Ya aku protes dong, eh Panca dan Adril  malah mecat aku. Udah kayak gerombolan mafia aja tingkahnya."
"Aku tau, aku memang bukan founder tapi seharusnya mereka menghargai pendapatku juga kan?" lanjut Hiro berapi-api.
Aku mengangguk.
"Aku dan mereka itu berada dalam satu lingkaran, gak sepantasnya mereka berbuat begitu padaku."
"Jadi gimana? Kamu terima pemecatan kamu itu?"
Hiro mengangguk. "Untuk apa mempertahankan sesuatu yang sudah tak layak untuk dipertahankan."
Bagian ini aku mengangguk setuju.
***
Ini adalah kali ketiga Hiro datang dengan merilis kata "berhenti" dari mulutnya. Aku masih tak mengerti mengapa ia tak pernah bisa bertahan lebih lama dengan teman-teman satu minatnya itu.
Kali pertama ia yang membubarkan kumpulannya karena merasa jengkel dengan ketidakkompakan para personilnya. Aku memaklumi hal itu, karena mereka memiliki pekerjaan yang tak sefleksibel Hiro. Namun Hiro tak pernah mengerti akan itu semua. Ia merasa dinafikan oleh teman-temannya. Mereka tak pernah sekali pun mengikuti event-event yang dianggap Hiro penting. Â Mereka hanya bermain pada saat semua personilnya libur di sebuah cafe yang tak begitu ramai pengunjungnya. Saat itu Hiro terlihat kacau. Gairah tak lagi menghampirinya. Proyek-proyek desainnya tak ada yang selesai pada waktunya. Aku sempat heran juga, mengapa sebuah pekerjaan sampingan dapat memporak-porandakan pekerjaan yang lebih menghasilkan. Namun aku tak menemukan jawabannya, karena Hiro nampaknya terlalu lelah untuk dicecar pertanyaan.
***
Satu bulan kemudian, Hiro mengirimiku dua buah lagu berformat MP3 melalui akun medsosku ketika aku tengah berada di luar kota. Dengan menyertakan banyak emotikon bahagia, ia menulis bahwa ia telah mengetahui apa yang ia inginkan selama ini. Ia  memintaku untuk memberi masukan pada proyek barunya itu. Aku pun segera mendengarkan nomor-nomor itu secara saksama. Genre yang sama sekali berbeda. Mirisnya, betotan gitar bass Hiro seakan ditenggelamkan oleh cabikan gitar yang meliuk-liuk dan detuman drum yang membahana. Aku pun gatal untuk menanyakan apakah ini yang ia inginkan? Sesuatu yang berbeda dari apa yang kerap ia dengungkan. Hiro membalasku segera dengan sebuah jempol super besar yang membuatku percaya bahwa Hiro telah menemukan apa yang ia cari dan inginkan selama ini.
Namun tak memakan waktu lama, kata "berhenti" keluar dari mulutnya kembali. Ia berkata bahwa ia merasa tak nyaman dengan apa yang ia mainkan. Ia merasa bahwa ia telah mengkhianati minatnya. Ah Hiro memang kadang susah ditebak. Buktinya, ia kembali datang dengan kata yang sama sekali tak kuharapkan meluncur kembali dari bibirnya.
***
Berhenti untuk ketiga kalinya ini ternyata membuat Hiro babak belur. Ia terlihat merana. Wajahnya selalu kusut, pikirannya selalu negatif. Â Aku tak menyangka bahwa sebuah keinginan yang tak dapat disalurkan dapat merusak seseorang. Hiro telah dewasa, seharusnya ia dapat mengendalikan dirinya. Namun kepala tiap-tiap manusia memanglah berbeda, dan hal itu tak dapat diperdebatkan karena logika tak bermain disana. Dan seperti biasa, aku hanya bisa mendengarkan semua keluh kesahnya. Ya, tak ada hal yang lebih baik selain menjadi seorang pendengar yang baik, karena aku tahu, Hiro harus mencari sendiri dimana letak kesalahan dan ketidaknyamanannya. Dengan begitu ia akan dapat menerima semuanya dengan lapang dada.
***
Dua bulan ini aku ada pekerjaan di luar kota seiring dengan menghilangnya Hiro secara tiba-tiba. Â Semua kontak yang aku buat satu pun tak ada yang berbalas. Â Aku khawatir dengannya. Tak biasanya ia menafikan aku seperti ini. Dengan masih membawa tas troliku aku pun mendatangi rumahnya. Seperti biasa Tante Rena menyambutku dengan riang dan mempersilakanku naik ke atas, tempat dimana Hiro mengerjakan semua proyek-proyeknya.
Sebuah lagu balad beraksen british rock dengan sentuhan post-grunge dan psychedelic menyambutku di antara wangi bunga mawar yang selalu Tante Rena letakkan di pojokan ruangan. Hiro tak menyadari kedatanganku, karena ia tenggelam dibalik layar komputernya yang berukuran 32 inchi itu. Aku duduk diam di sofa sambil menikmati nomor yang sangat ear-catchy dan tak ingin menganggu Hiro yang lagaknya tengah dikejar deadline.
Lagu itu terdengar melow dengan disisipi nada-nada yang sedikit heavy. Suara bass-nya terdengar kental dibagian chorus. Aku memejamkan mataku, meresapi nada-nada yang terangkai dengan indah ditingkahi lirik yang berkisah tentang ketakutan seseorang akan sesuatu yang tak nyata.
Lagu pun usai, aku membuka mataku, dan terlonjak ketika wajah Hiro telah memenuhi pandanganku.
Hiro tersenyum, raut wajahnya tak lagi sekusut saat terakhir kali kami bertemu.
"Sibuk?" Aku bertanya sambil mengacungkan gawaiku dihadapannya.
Hiro nampak terkejut lalu tersenyum lebar.
"Oh, itu, maafkan aku."
"Itu tadi hasilnya?" Aku menyentuh telingaku.
Hiro mengangguk semringah. "Aku telah menemukan mereka, Del."
"Syukurlah. Akhirnya kamu mau bergerak maju."
Hiro mengangguk. "Aku rasa disinilah aku akan menambatkan jangkarku. Ini adalah pelabuhan terakhirku." Hiro berkata dengan penuh semangat.
"Pasti?"
"Semoga, aku ingin menjadikan ini sebagai akhir dari pertarunganku. Â Aku lelah, terlalu perih menyandang banyak luka goresan atas sesuatu yang ternyata bukan keinginan kita."
"Akhirnya…" Aku mengembuskan nafas panjang.
"Aku banyak belajar dari tiga kali kegagalan sebelumnya dan tentu saja dari kamu Del."
"Aku?"
"Ya, kamu tak pernah menyerah walau selalu berpindah-pindah tempat kerja, mencari yang sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Dan hebatnya tak ada kata keluh satu pun yang mampir ditelingaku."
Aku tersipu.
"Del, Â kini aku tau apa yang kuinginkan." Hiro menatapku, ada kelebat gairah yang terpancar dari matanya.
"Musik yang hebat, tujuan yang pasti dan lingkaran pertemanan yang solid."
"Saling menghargai satu sama lain dan selalu mengedepankan diskusi demi sebuah impian bersama." lanjut Hiro mantap.
Aku tersenyum. "Aku senang mendengarnya."
"Hei, terima kasih ya." Hiro merangkul pundakku.
"Untuk apa?"
"Untuk menjadi sahabatku, yang selalu ada untukku dan selalu mendengarkan ocehan tak pentingku."
"Halah, sentimentil."
Hiro tertawa.
"Dan hasil pertarunganku selama ini kupersembahkan untuk kamu." Hiro mengulurkan sebuah box berisi piringan CD yang kutebak ilustrasi covernya adalah hasil desainnya.
Aku tersenyum, menatap cover album yang didalamnya terdapat namaku diantara beberapa nama yang tertulis indah disana.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H