Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ironi

26 Mei 2017   15:58 Diperbarui: 26 Mei 2017   17:55 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang cerah, suara burung kenari merah mengiringi kericuhan yang terjadi di kamar Rhea. Jadwal presentasi penting dengan salah satu klien perusahaan hari ini membuat ia harus berlama-lama membelalakan mata di hadapan laptopnya  yang berpendar hingga dini hari tadi. Alhasil, semua hal yang ia lakukan pagi ini tidak seperti semestinya. Ia bergegas menuruni tangga sambil menjinjing high heels-nya diantara teriakan tak sabar kakak laki-lakinya, Leindra.

"High Heels? Gak salah?" Leindra menengok jam tangannya. "Sudah lihai berlari pakai benda itu? Flat shoes lagaknya lebih baik." lanjutnya.

"Berisik!" Rhea sewot. "Ini presentasi pertama pasca promosiku, aku harus memberikan impresi yang baik."

Leindra menatap high heels yang kini dipakai adiknya, lalu menaikan bahunya acuh.

***

Leindra mengetuk-ngetukan telunjuknya di atas setir mengikuti hentakan drum Jimmy Chamberlin yang keluar dari pemutar CD-nya. Sementara kepala Rhea sibuk menengok ke kiri, kanan, depan, dan belakang.  Tidak biasanya jalan yang selalu di laluinya ini macet.  Rhea menggigit bibirnya.

"Lei, aku turun disini."

"Serius? sebentar lagi juga terurai macetnya." Leindra melirik adiknya.

"Sudah telat."  Gadis berpotongan rambut shaggy itu turun dengan tergesa.

Rhea berjalan setengah berlari di trotoar yang ramai. Nafasnya memburu, kakinya sakit, dan betisnya pegal namun, semua penderitaannya itu berakhir sudah ketika ia berhasil menjejakkan kaki di pintu gerbang kantornya yang menganga lebar. Rhea menghembuskan nafas lega seiring dengan jatuhnya beberapa butir keringat di dahinya. Baru saja kakinya akan melangkah masuk, ada sebuah teriakan nyaring dari arah belakangnya.

"Rhe." Rhea menjelau ke arah suara itu. Diantara tawanya Leindra melambaikan tangan dengan santai di atas kendaraanya yang melaju pelan. Rhea mendengus. Lelah dan kesal.

***

Rhea akhirnya dapat tersenyum puas karena klien-nya menyetujui semua konsep yang ia tawarkan, diantara ancaman bosnya untuk membatalkan promosinya karena datang terlambat. Biarlah mata kakinya sakit sedikit dan betisnya pegal menahan bobot tubuhnya yang tidak semampai, asalkan semuanya berjalan dalam garis yang ia inginkan. Lega dan bahagia.

***

Kantuk menggerogoti matanya. Secangkir double espresso kini telah menemaninya diantara hilir mudik orang yang keluar masuk kedai kopi langgannya itu. Namun rupanya sekuat apapun racikan kopi yang barista sodorkan kepadanya tak jua membuat matanya terbuka lebar. Entah telah kali keberapa ia menguap, kekurangan oksigen.  Tak ada jalan lain, nampaknya ia harus membasuh wajahnya.  Rhea beranjak dari kursinya tanpa melihat seorang pramusaji melintas di depannya.  Tabrakan pun tak dapat dihindari, Lalan, sang pramusaji setengah alay yang bajunya basah terkena siraman kopi itu merepet tak henti-henti kepadanya. Namun Rhea tak mau kalah, ia pun memaksa mulutnya untuk mengoceh panjang pendek kepada lawan bicaranya.

"Lan, pake mata dong kalo jalan dan gak usah pake protes, lihat nih bajuku juga basah." Rhea sibuk berusaha mengeringkan blouse nya dengan sehelai tisue.

"Ih, kak Rhea nih ah. Sebel." Lalan bersungut-sungut.

Tiba-tiba seorang pria datang menengahi keributan kecil itu.  Rhea menahan nafasnya, begitu mendengar suaranya yang mengalun bagai desau angin di siang terik, rintik hujan di kemarau panjang dan gemericik air sungai di antara hiruk pikuk kota.

Tak hanya suaranya, semua yang ada dalam diri pria itu ternyata sangat memesona bahkan wangi parfumnya pun membius gadis awal 30-an itu. Rhea tersenyum, sosok seperti inilah yang selama ini menetap dalam angan-angan liarnya.

Pria itu kini berdiri di sampingnya, mempersilakannya duduk dengan sopan.

"Maafkan karyawan saya yang telah sangat ceroboh."

Rhea terperangah, sang pemilik kedai kah? Baru kali ini ia melihatnya. Sempurna sekali. Ilmu cocokology langsung bermain di otaknya.

Bagai kerbau dicocok hidung, ia mengiyakan saja apa yang disarankan oleh pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Bumi itu.  Dan bagai orang setengah gila, Rhea tak lepas tersenyum-senyum dihadapan pria yang kini menatapnya dengan lembut itu. Ah, andai saja hari ini, Bumi menyatakan cintanya, pastilah ia langsung mengiyakan dengan suka cita.

Tak berapa lama Bumi pun menelepon seseorang dari gawainya.  Meminta lawan bicaranya yang ia panggil dengan "dik" itu untuk membawakan blouse baru, agar Rhea dapat mengganti pakaiannya karena ia harus kembali bekerja. Ah, sungguh manis sekali.

Dia begitu penuh perhatian, sampai-sampai meminta adiknya datang ke kedai untuk membawakan blouse  pengganti, begitu pikir Rhea sambil masih tersenyum-senyum sendiri.

Pria yang memiliki senyum menawan itu masih menemani Rhea di mejanya ketika seorang wanita cantik dengan garis alis yang sempurna, menghampiri meja mereka. 

Kakak dan adik yang sama-sama memesona, batin Rhea demi melihat wanita yang sangat ramah itu. Namun semua hal indah yang ada dipikirannya mendadak buyar, ketika Bumi memperkenalkan wanita tersebut sebagai istrinya.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun