Ve menggeleng lemah.
"Drei, belum turun sejak kemarin."
"Aah ... Drei, dia kan selalu begitu. Naik cepat turun lambat. Paling dia sedang bersantai di atas. Menikmati indahnya mahakarya Tuhan." Edo menjatuhkan tubuhnya diantara barang-barang yang terkumpul di ranjang.
"Lagian aku sedang di kejar deadline, tuh revisian ku gak kelar-kelar." Edo menunjuk komputer desktopnya yang masih menyala.
"Andri dan Leo bilang mereka hilang kontak dengannya satu hari lalu." Pemuda jangkung bernama Wayan itu berkata pelan.
"Huh, Drei memang keras kepala, cuaca begini masih nekat pergi." Edo mengikat rambut gondrongnya.
"Tapi bukankah kamu yang... "
Belum sempat Wayan menuntaskan kalimatnya, Edo memotongnya dengan segera. Ia melirik Ve yang tengah terduduk lemas di pojok ruangan.
"Ya sudah gak usah dibahas, oke kita berangkat." Edo menyerah dan membereskan barang-barangnya segera.
"Yodha sedang ambil kendaraan, aku ke kosan dulu untuk bersiap." lanjut pemuda bernama Wayan itu.
Edo menatap Ve, gadis itu kini telah berurai air mata. Walaupun ada rasa marah, kesal dan kecewa yang menyelimuti hatinya, namun akhirnya hatinya luluh juga. Dengan lembut ia  mengusap pipi Ve dengan kedua belah tangannya.