Buket bunga krisan putih dalam vas tanah liat itu, masih terlihat segar ketika diganti dengan yang berwarna ungu oleh seorang gadis muda yang kini tengah memanjatkan doa di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Basah oleh air yang kemarin jatuh dari banyak mata dan masih menggenang dalam relung relung hati yang kehilangan.
Anna, gadis berusia 17 tahun itu menundukkan kepalanya dalam. Air mata tak henti nya mengalir dari kedua matanya. Sebuah penyesalan menggumpal dalam dadanya.
"Maafkan aku." Gadis itu berkata lirih diantara isakannya lalu melangkah pergi, berjalan di antara guguran bunga kamboja yang masih mewangi.
Langkah Anna terhenti ketika kaki nya yang terlindung flat shoes merasakan sesuatu yang ganjil. Perlahan ia angkat kaki kanan nya, ada sebuah benda yang tergeletak di sana. Anna membungkuk lalu mengamati benda itu. Sebuah kacamata bergaya klasik berbingkai kayu dengan ukiran yang sangat elok seakan melambai ingin di raih.
Dengan hati hati Anna memungut benda itu. Tak ada retakan atau goresan yang ditemukan, sekalipun benda itu terinjak olehnya. Anna tertegun, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap ada seseorang yang tengah mencari benda itu. Namun Anna tidak melihat seorang pun di sana. Akhirnya dengan hati hati, gadis nan semampai itu memasukkan kacamata tersebut ke dalam tas nya.
***
Malam itu langit terlihat cerah, bintang bintang berkerlip bagaikan taburan berlian yang menyelimuti mahkota seorang putri raja. Anna menatap sebuah bintang yang berpendar di ufuk timur dari jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka lebar.
Andai saja waktu bisa di putar kembali. Saat ini, aku pasti ada di sisi mu, menemani mu menatap bintang yang sama. Bintang favorit kita.
Air mata kembali mengalir dari kedua mata gadis yang kini tengah memeluk sebuah buku harian itu. Sebuah ketukan di pintu membuatnya bergegas menghapus air matanya. Dengan terburu buru pula, ia menjejalkan buku harian itu ke dalam tas yang tergeletak di atas meja belajar. Seorang wanita paruh baya tersenyum dari balik pintu lalu menghampirinya.
"Mama kira kamu sudah tidur. Ini ada titipan buku dari Gege."
Anna menerima buku latihan soal yang di pinjam temannya itu dari tangan mama nya.
"Tidur nyenyak ya, sampai besok. Mama tutup jendela nya." Wanita bersuara lembut yang matanya masih terlihat sembab itu pun beranjak.
Alih alih memejamkan mata, Anna justru merogoh tasnya mencari buku harian yang tadi ia jejalkan dengan tergesa. Namun secara tak sengaja jari nya menyentuh gagang kacamata yang ia temukan tadi siang. Anna menarik benda itu lalu mengamatinya. Kacamata Itu terlihat sangat kokoh, lensanya jernih. Tak ada sedikitpun goresan atau debu yang terlihat di sana. Frame nya berukir dengan pola yang belum pernah ia lihat sebelumnya, indah sekali.
Kacamata apa ini? Minus atau plus?
Dengan hati hati Anna menyelipkan gagang kacamata Itu di kedua telinganya. Gadis itu menyipitkan dan membelalakan matanya bergantian, lalu menaikan dan menurunkan kacamata itu berkali kali. Namun tak ada perubahan apapun yang ia lihat, tidak membesar atau pun mengecil.
Anna berjalan hilir mudik memandangi setiap sudut kamarnya dari balik lensa kacamata itu. Kini di raihnya album foto yang tersimpan rapi di rak bukunya. Anna selalu menyukai foto-foto tempo dulu milik mamanya.
Foto foto yang menurutnya sangat aneh, baik pose maupun gaya busananya. Ia membuka lembar pertama, di sana ada foto mamanya dengan rambut cepak yang dulu sangat terkenal di jamannya. Di atas foto itu ada rangkaian huruf yang di ambil dari guntingan majalah membentuk tahun dimana foto itu di buat.
Anna membaca rangkaian huruf itu, namun yang terjadi, dalam sekejap dunianya gelap. Anna merasakan sebuah sensasi bak menunggang roller coaster. Setelah beberapa saat, kegelapan di gantikan dengan kilauan berbagai macam cahaya warna warni yang berkelebatan seakan ingin menyusul satu sama lain. Kilatan warna itu membuat kepala Anna berdenyut, ia pun memejamkan matanya segera. Sementara itu di luar kamarnya, langit bagian timur di penuhi oleh jutaan kerlip cahaya yang turun dari langit. Hari itu adalah hari dimana badai meteor menyambangi bumi.
***
Anna membuka matanya perlahan. Ia melepas kacamata yang masih bertengger di hidungnya. Ia terperanjat, karena tidak lagi berada di dalam kamarnya. Kini ia berada di sebuah tempat yang sangat asing. Orang yang lalu lalang di hadapannya terlihat memakai busana yang sedikit out of date. Gaya rambut mereka mengingatkan akan gaya rambut orangtuanya ketika mereka masih muda. Anna berdiri mematung di depan sebuah studio foto, sepertinya ia pernah membaca nama studio itu tapi entah dimana.
Dengan ragu ia memasuki tempat itu. Studio foto itu sangat aneh, banyak macam kamera yang tidak di kenalnya berbaris dalam etalasenya yang berkaca kaca. Tanpa sengaja Anna menatap kalender yang tergantung di salah satu dinding nya. Ia terkejut, kalender itu menunjukan angka 1990. Anna kebingungan.
Ia bertanya kepada orang orang yang berada di dekatnya tentang kebenaran angka di kalender itu. Semua menganggukan kepala sambil menatapnya aneh. Anna terduduk lemas, ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dalam kekalutan pikirannya, Anna mengenakan kembali kacamata Itu. Matanya terpejam, dan berharap ia kembali berada di dalam kamar nya yang hangat.
Tanpa dinyana ia kembali mengalami peristiwa yang sebelumnya ia lewati. Dan ketika ia membuka matanya, ia telah berada di dalam kamarnya. Anna tercengang. Akhirnya ia pun menyadari, bahwa kacamata itu adalah benda yang bisa membawanya melintasi waktu, dengan bantuan angka angka pembentuk tahun yang tercetak di majalah ataupun koran. Malam itu dan malam malam selanjutnya, Anna pun mulai melakukan perjalanan waktu, melompat dari satu waktu ke waktu lainnya.
***
Anna membelai buku harian milik adiknya yang ada di pagkuannya. Ia telah memutuskan untuk kembali ke saat dimana peristiwa menyedihkan itu terjadi.
Aku akan memperbaiki semuanya. Aku menyayangi mu.
Lalu ia pun mengenakan kacamata itu di ikuti dengan membaca tanggal dan tahun di sebuah koran yang ia ambil sebelumnya dari tumpukan koran dan majalah bekas di dalam gudang.
***
Anna mengoleskan lipgloss beraroma cherry di bibirnya, merapikan rambutnya lalu turun untuk menunggu Gege yang akan menjemputnya. Rencananya hari itu mereka akan pergi menonton bioskop.
Mendadak jantung Anna berdegub kencang, inilah saatnya dimana ia pernah mengecewakan Sheila adiknya demi seorang pemuda yang sangat ia sukai. Namun ia memastikan bila kali ini hal itu tak akan terjadi. Ia akan memperbaiki semuanya. Ia ingin adik nya kembali di tengah tengah keluarga.
"An, tolong antar Sheila les dulu ya sebelum pergi." Mama berkata lembut kepada putri tertuanya.
Anna menatap adik semata wayangnya itu. Dulu ia menolak mentah mentah permintaan mama karena ia lebih tertarik menunggu Gege daripada mengantar adiknya. Selain itu bagi Anna, Sheila adalah gangguan. Ia lelah harus mengalah terus demi Sheila. Sheila yang sering menguntitnya, menatap diam diam ketika ia tengah berdandan, menjiplak gayanya, dan masih banyak hal lain nya yang membuat Anna kesal. Namun kini ia tahu, apa yang dilakukan Sheila, adiknya yang terpaut usia 7 tahun itu, hanyalah demi mendapatkan sedikit perhatian darinya. Sheila sangat mengagumi dan mengidolakan Anna. Anna tahu semua itu dari buku harian yang kini tersimpan aman di laci meja belajarnya.
"An? Kamu bersedia kan?" Mama meminta kepastian.
"Iya mam." Anna menjawab dengan pasti.
Anna menggandeng tangan adiknya erat, seakan enggan ia lepaskan. Sekonyong konyong Sheila menatap Anna, ia heran dengan apa yang dilakukan kakaknya itu. Anna belum pernah sekalipun menggandeng Sheila seperti sekarang ini. Demi melihat tatapan aneh adiknya, Anna hanya bisa tersenyum.
"Maafkan aku ya, bila selama ini aku selalu membuat kamu kesal. Aku berjanji mulai saat ini aku tidak akan menjadi kakak yang menyebalkan buat kamu, dik."
"Kakak tidak pernah menjadi orang yang menyebalkan kok. Aku senang mempunyai seorang kakak seperti kak Anna."
Anna tersenyum lega, namun sesaat kemudian ia merasakan ketegangan yang sangat. Di tempat inilah, Sheila mengalami kecelakaan ketika Anna membiarkan adiknya itu pergi ke tempat les nya seorang diri. Kini Anna waspada di setiap langkah yang ia buat. Tiba tiba sebuah kendaraan berwarna putih yang melaju tak terkendali muncul dari tikungan lalu naik ke trotoar. Dengan sigap Anna mendorong Sheila masuk ke sebuah toko yang pintunya terbuka lebar.
Sementara, di luar sana, kendaraan yang ternyata dikemudikan seorang gadis belia itu berhenti seketika karena menabrak pohon yang berdiri di depan toko tempat Anna dan Sheila berlindung. Anna bernafas lega, ia memeluk adiknya erat. Namun kelegaan hatinya tidak lah lama. Karena beberapa jam kemudian, Anna mendengar berita yang sangat mengejutkan. Sheila yang tengah bermain sepeda di jalanan komplek sepulang dari les nya menjadi korban tabrak lari. Air mata kembali membasahi pipi Anna.
Setiap kali Anna melepas kacamata itu, semakin banyak kesedihan yang berkumpul dalam dirinya. Entah berapa kali ia melompati waktu dengan hasrat menyelamatkan adiknya, namun semuanya berakhir dengan simbahan air mata.
***
Anna bersimpuh di sisi nisan adiknya. Anna sadar ia tidak bisa merubah apa yang telah di gariskan Tuhan. Ia harus bisa menerima semua ini dengan lapang dada.
"Aku menyayangi mu, dik. Namun ternyata Tuhan jauh lebih menyayangi mu.”
Anna merasa semua nya telah cukup. Ia meletakkan kacamata berukir itu di samping vas bunga tanah liat yang kini berisi bunga krisan aneka warna. Dan ketika keesokan harinya ia datang kembali ke makam adik nya, kacamata yang telah memberi nya banyak pelajaran itu telah menghilang tanpa bekas.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H