Mohon tunggu...
Ika Sandraini
Ika Sandraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Saya adalah seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Kritis Terhadap Hoaks di Era Media Sosial

14 Januari 2025   13:32 Diperbarui: 14 Januari 2025   13:32 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hoaks cenderung meningkat selama periode-periode penting seperti pemilihan umum, krisis kesehatan, atau bencana alam. Misalnya, hoaks di masa yang sering terjadi di indonesia. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menangani peredaran hoaks di media sosial diantaranya adalah dengan melakukan penegakan hukum, melibatkan penyelenggara platform dan juga edukasi pada masyarakat (Kominfo, 2017). Namun, penyebaran hoaks masih terus beredar pada perhelatan pemilu 2019 lalu. Terdapat 3.356 hoaks yang berhasil dijaring sejak september 2018 hingga september 2019. Dalam rentan waktu tersebut, terdapat 1.156 hoaks yang beredar pada saat pemilu berlangsung (Kominfo, 2019). Menurut Sosiawan & Wibowo (2020) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hoaks Pemilu 2019 meningkat signifikan dibanding Pemilu sebelumnya. Hoaks yang beredar pada masa Pemilu Presiden termasuk wacana politik yang termasuk bagian dari komunikasi politik. Komunikasi politik dikategorikan sebagai komunikasi yang mempunyai nilai politik, yang berakibat dapat mengatur tingkah laku manusia saat berkonflik. Pada pemilu 2024, berita hoaks semakin marak tersebar di berbagai platform, termasuk media sosial dan grup WhatsApp. Data yang dipublikasikan oleh Databoks Katadata pada akhir tahun lalu menunjukkan bahwa dari 355 konten yang tersebar antara Juli hingga November 2023, sebanyak 27 persen atau 96 berita diantaranya merupakan hoaks terkait Pemilu.

Hoaks atau berita palsu berisikan berita yang menyesatkan dan umumnya disebarkan melalui media sosial dan media lainnya. Tujuannya beragam, diantaranya untuk memaksakan sebuah gagasan dengan maksud dan tujuan tertentu. Wardle dalam Paskarina, C. (2017) mengatakan bahwa ada berbagai kepentingan yang melatarbelakangi lahirnya hoaks dengan berbagai macam bentuk seperti misinformasi sampai dis-informasi. Penyebaran informasi yang salah tanpa sengaja disebut mis-informasi. Sedangkan dis-informasi terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan oleh si pembuat hoaks tersebut yang kemudian disebar ke berbagai media dengan beragam jenis hoaks dan berbagai kepentingan.Hoaks dalam Pemilihan Umum Presiden, menjadi komoditi andalan antar pendukung untuk saling menjatuhkan dan menjelek jelekkan lawan (Sosiawan & Wibowo, 2020). Hoaks politik merupakan kategori Pemilu dengan salah satu tema yang paling menonjol saat perhelatan Pemilu mulai berlangsung. Hoaks yang beredar tidak semata mata untuk menjatuhkan para calon presiden tetapi juga pemerintah yang berkuasa yang mencalonkan diri kembali menjadi presiden (Juditha, 2019). Disisi lain, masyarakat Indonesia sangat rentan terpapar hoaks karena kehidupan sehari hari mereka tidake terlepas dari internet dan media sosial sebagai media yang paling dominan dalam penyebaran hoaks. APPJI mencatat tingkat penetrasi internet masyarakat indonesia mencapai 79,5% pada tahun 2024 naik sekitar 1,4% dari tahun sebelumnya (APPJI, 2024). Hoaks tentang Pemilu menjadi bagian dari proses komunikasi politik di ranah maya.

Peningkatan jumlah berita hoaks ini tidak lepas dari kondisi politik yang semakin memanas. Menurut penjelasan Puji Rianto, ada tiga faktor utama yang menjadi pemicu maraknya berita hoaks. Pertama, hoaks kini telah menjadi komoditas yang sengaja diproduksi untuk kepentingan politik. Ada pihak-pihak yang secara sadar menciptakan hoaks demi keuntungan ekonomi, dengan pihak lain yang bersedia membayar untuk penyebarannya. Kedua, rendahnya etika politik juga turut mendukung maraknya produksi hoaks di kalangan aktor politik. Jika para pelaku politik memegang teguh etika, mereka tidak akan memproduksi informasi yang menyesatkan atau bahkan fitnah. Oleh karena itu, hoaks muncul karena lemahnya etika politik. Ketiga, fenomena era post-truth memperburuk penyebaran hoaks. Di era ini, orang cenderung lebih mempercayai informasi berdasarkan emosi dan prasangka pribadi, bukan fakta objektif. Kurangnya literasi digital membuat masyarakat kurang kritis terhadap informasi, memudahkan hoaks untuk tersebar. Selain itu, ideologi, nilai-nilai, agama, dan afiliasi politik juga berperan dalam memproduksi dan menyebarkan hoaks untuk kepentingan politik tertentu.

Di era digital yang semakin maju, akses terhadap informasi menjadi lebih mudah dan cepat. Apa pun yang kita cari dapat ditemukan hanya dengan satu klik. Informasi yang kita terima biasanya disesuaikan dengan niat dan tujuan pribadi masing-masing. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak yang perlu diperhatikan, baik positif maupun negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyadari bahwa tidak semua informasi di dunia maya dapat dipercaya. Kita perlu lebih kritis dalam menilai sumber informasi yang kita terima, apakah berasal dari pihak yang dapat dipercaya atau tidak. Hal ini sangat penting untuk mencegah penyebaran berita hoaks, yaitu informasi palsu yang dapat memicu kesalahpahaman, keresahan sosial, bahkan kerugian material dan non-material. Untuk itu, masyarakat harus memahami metode yang efektif dalam mendeteksi dan menangkal penyebaran berita hoaks.

Berikut beberapa cara menghindari dan melawan berita hoaks antara lain :

Verifikasi Sumber :

Sebelum mempercayai atau membagikan informasi, pastikan untuk memverifikasi sumbernya. Periksa apakah informasi tersebut berasal dari sumber yang terpercaya dan sudah diverifikasi oleh lembaga berita yang kredibel.

  • Periksa Fakta

Jangan mudah percaya pada judul atau klaim yang sensasional. Lakukan penelusuran lebih lanjut untuk memverifikasi kebenaran informasi dengan mencari fakta-fakta yang relevan dari berbagai sumber yang dapat dipercaya.

  • Perhatikan Tanda-tanda Pengenalan Informasi Palsu

Informasi palsu seringkali memiliki ciri-ciri tertentu, seperti penggunaan tata bahasa yang buruk, gambar yang telah dimanipulasi, atau klaim yang tidak masuk akal. Jika suatu informasi tampak mencurigakan, lebih baik untuk tidak mempercayainya.

  • Bersikap Kritis dan Analitis

Jadilah kritis terhadap informasi yang Anda temui di media sosial. Pertanyakan motivasi di balik informasi tersebut dan pertimbangkan apakah ada kepentingan tertentu yang terlibat.

  • Periksa Keaslian Gambar dan Video

Jika informasi disertai gambar atau video, pastikan keasliannya dengan menggunakan layanan pencarian gambar terbalik, seperti Google Images atau TinEye. Ini akan membantu Anda mengetahui apakah gambar tersebut sudah pernah digunakan di tempat lain dengan konteks yang berbeda.

  • Ikuti Sumber Berita Terpercaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun