Mohon tunggu...
Ika Oktariani
Ika Oktariani Mohon Tunggu... Bidan - Palembang, Indonesia

Blogger

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Kejar Mimpi Itu, Ayah!

20 Juni 2020   21:26 Diperbarui: 20 Juni 2020   21:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepalaku mulai tertunduk, aku bisa merasakan kekecewaan ayah kepadaku, "Tidak apa-apa nak, semua cara terbaik sudah kamu lakukan, selanjutnya terserah kepada yang maha kuasa, karena memang apa yang kita harapkan belum tentu terbaik baginya" ucapnya, yang kemudian disusul dengan tangannya yang mengelus kepalaku. Akupun menangis.

Aku terbatuk-batuk dan beranjak bangun dari tidur, nafasku terasa sesak, mataku berair dan basah, lalu kulihat di cermin, mataku sembab, aku telah bermimpi, bermimpi bertemu almarhum ayah, iya, kejadian itu persis seperti kejadian hampir satu tahun yang lalu, aku menangis lagi, aku rindu kepada sosok ayah, sosok ayah yang bijak dan tak pernah mengeluh kepadaku, aku menangis  karena  impiannya ingin menjadikan aku seorang Pengacara belum bisa aku laksanakan.
...
Pagi harinya akupun mulai bekerja lagi, aku bekerja di salah satu Perusahaan swasta sebagai tenaga administrasi karena aku hanya mempunyai ijazah SMA, beruntung di tempatku bekerja dapat menerimaku, karena kebetulan ada salah satu pegawai administrasi yang berhenti.

Hari itu, saat aku pulang dari bekerja dan tiba di rumah, aku masuk kedalam kamar, aku membuka tasku dan mengeluarkan sebuah buku lagi, buku yang baru saja aku beli, buku itu aku tumpuk di buku jejeran lain, ya, bertumpukan. Buku yang biasa di pakai untuk anak mahasiswa-mahasiswi hukum. Aku sadar bahwa aku bukan seorang mahasiswi hukum, namun impian ayah masih akan aku kejar. Iya, sebisa mungkin uang penghasilan perbulanku aku gunakan seefisien mungkin, untuk bekalku bila nanti aku diterima masuk ke Fakultas Hukum. Selain membeli buku, sebagian gajiku juga aku serahkan kepada ibu untuk keperluan kami berdua. 

Penghasilanku memang tidak banyak, namun aku masih bisa bersyukur karena  Rabbku mencukupkan kebutuhan kami.
Kebiasaan rutinku, selesai sholat ashar aku membantu ibu menjahit dan mengantarkan pesanan jahitannya kepada pelanggannya, lalu saat setelah selesai sholat magrib, aku dan ibu mencoba membuat jilbab sebagai dagangan kami yang baru mulai ingin merintis.
Sebagai promosi pertama, aku memakai jilbab itu untuk di perkenalkan ke teman kerjaku. Hari pertama tidak ada yang membeli, dan tak ada yang tertarik, hanya ada yang bertanya saja lalu setelah itu tak jadi membeli, aku masih tak menyerah, aku berusaha menawarkan kepada orang-orang hingga membuat harga promosi, namun ternyata Rabb ku juga berkata lain, ternyata sampai hari-hari seterusnya dagangan jilbab kami tak ada yang laku, entah apa yang salah, yang aku tahu, rezeki belum sampai kepada kami.

Selepas beberapa minggu, aku pulang dari bekerja lagi. Sore itu, aku melihat dua anak jalanan berdiri di pinggiran lampu merah, yang satu gadis perempuan berhidung mancung memakai kuncir rambut, umurnya mungkin sekitar dua belas tahunan, dan satunya lagi anak laki-laki berumur sekitar enam tahunan, wajah anak laki-laki itu mirip seperti anak gadis perempuan yang berdiri di sampingnya itu, tebakanku pastilah mereka berdua adalah dua kakak beradik. Anak gadis itu lalu menadahkan telapak tangannya kepadaku, "kak, mohon bantuannya, dari pagi aku dan adikku belum makan" ucap gadis itu  kepadaku. Aku terdiam menelan ludah, sontak dalam hatikupun ada perasaan sedih, tapi mau berkata apa lagi, di sakuku hanya tersisa uang lima puluh ribu, dan itupun aku targetkan untuk jatah lima hari, yang artinya uang jajan perhariku sebesar sepuluh ribu rupiah, tanganku tetap tak beranjak, enggan untuk mengambil uang itu dari saku dan memberikannya kepada anak jalanan itu, lampu  jalanan pun berubah hijau, aku tak memperdulikan anak jalanan itu, akupun mulai menarik gas motor, dan motorku pun mulai melaju.


Sejenak tiba-tiba perasaanku mulai gundah, lubuk hati kecilku berontak, entah mengapa aku langsung memutar arah jalan yang aku tempuh, lalu berhenti di pinggiran jalan itu lagi, aku kembali lagi ke jalan tadi. Mataku memperhatikan kekiri dan kekanan, aku tak menemukan anak-anak jalanan tadi, hampir lima menit lamanya dan akhirnya karena terlalu lama menunggu, aku memutuskan untuk pulang, sesaat saat aku hendak menancap  gas motor, aku melihat anak-anak itu, mereka berlarian, mereka berdua bergandengan tangan,  mereka dikejar oleh seseorang yang sepertinya hendak marah kepada mereka berdua, hingga tak lama merekapun terjatuh dan tersungkur ketanah, kejadian itu tak jauh dari hadapanku.


"Hei dasar maling!, ayo kembalikan mie yang kalian ambil dari tokoku!!!" Ucap seorang bapak, beringasan
Mereka berdua terdiam, perlahan mata mereka memerah, dan kulihat di tangan mereka memang ada beberapa bungkus mie instan.
"Kami hanya kelaparan, kami hanya meminta hak kami" ucap gadis kecil itu yang kemudian perlahan-lahan menyerahkan mie instan yang mereka ambil itu kepada orang yang mengejar mereka.
"Kalau lapar,  jangan maling!" ucap bapak itu lagi yang lalu menempeleng kepala mereka berdua bergantian dan mengambil mie instan yang di berikan oleh anak-anak tadi.
Aku terdiam lalu hendak beranjak kearah mereka karena tak tahan melihat perlakuan bapak itu, namun niatku aku urungkan karena bapak itu sepintas melihat kearahku dengan wajahnya yang sangar. Setelah bapak itu menjauh, mereka berdua berpelukan, berpelukan sambil menangis di hadapanku, aku bisa melihat bahwa mereka memang kelaparan, bagiku sungguh perih melihat kejadian ini, kejadian yang lebih perih dari pada cerita kehidupanku.

Aku berjalan mendekati mereka berdua, aku merogoh kocekku, lalu kuberikan uang lima puluh ribu itu kepada mereka, mata mereka menatap kepadaku,  menatap dengan tatapan heran.
"Maaf kak tidak perlu" ucap anak gadis perempuan itu kepadaku.
"Tidak.. tidak apa-apa, kalian belilah makan, aku tahu kalian lapar"
"Kalau kakak memberi uang hanya karena merasa kasihan melihat kami di bentak bapak itu, lebih baik kakak ambil saja".
"Tidak, tidak begitu" ucapku yang kemudian memegang kepala mereka sambil mata yang berlinangan menahan tangis.
"Kami kelaparan kak, sebenarnya kami hanya meminta hak kami atas imbalan membantu mencuci piring seperti yang bapak itu suruh, lalu setelah kami menyelesaikan tugas kami, kami hanya meminta imbalan makan, namun bapak itu tidak mau memberikan, dan mengatakan kami mencuri, ya mungkin benar, karena kami mengambil dengan cara merampas, tapi tindakan dia apa juga di benarkan? Kami hanya meminta makan untuk adikku, aku hanya kasian kalau dia tidak makan".
"Kalau kakak tidak makan, aku juga tidak mau makan" sahut anak laki-laki itu yang berdiri disampingnya.
"Seandainya ayah dan ibu masih hidup pasti kita tidak akan seperti ini, rumah kita pasti tetap menjadi milik kita, kita pasti sekarang  bisa makan yang enak" ucap adiknya lagi.

Akupun langsung terhenyuk, drama apakah yang ada didepan mataku ini, tidak, ini bukan drama, ini sungguhan. Cerita yang penuh luka karena ketidakadilan, Perlahan akupun paham, ternyata mereka telah kehilangan kedua orang tua mereka. Merekapun juga akhirnya bercerita bahwa mereka di kirim ke panti asuhan oleh adik dari ayah mereka, lalu  harta mereka di rampas begitu saja tanpa menyisakan sisa. Namun mereka  keluar dari panti karena takut kalau salah satu dari mereka akan di adopsi. Tragis sungguh! Lagi-lagi hatiku berkata, dimanakah hukum yang adil itu?.


Kulihat Mereka berdua makan dengan lahapnya dengan uang yang aku berikan, tidak, bukan mereka berdua saja, namun kami bertiga, karena akhirnya aku menemani mereka makan dan mendengarkan cerita mereka lagi. Mendengar cerita mereka, aku benar-benar merasa gerah dengan ketidakadilan, aku ingin membantu, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa, karena aku bukan siapa-siapa.


Hampir satu jam kami bercerita, aku lalu berpamitan kepada mereka, tak lupa aku juga memberikan semangat kepada mereka agar tegar melawan kerasnya dunia, karena dunia memang seperti ini, begitu keras dan kejam, dan siapa yang yang mampu bertahan, dialah pemenangnya.
Aku melambaikan tangan kepada mereka berdua, mereka lalu berlari dan memelukku.
"Semoga rezeki kakak mengalir deras, dan semoga nanti kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan dan dalam kondisi yang lebih baik" ucap anak gadis itu.
Kepalaku mengangguk dan bibirku mengaminkan, mengaminkan setiap doa baik dari bibir mereka yang telah terdzolimi.
...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun