Membicarakan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada masa sekarang perlu dibicarakan juga konteks yang terjadi saat ini. Bagi setiap kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), NDP ini memang sudah menjadi materi wajib dalam setiap latihannya. Bahkan, NDP juga menjadi bacaan wajib. Namun tidak ada salahnya kita perlu telaah sesuai konteks saat ini untuk mendapatkan spirit dari NDP itu sendiri.
Seperti yang saya bilang sebelumnya NDP merupakan bacaan wajib, khususnya bagi kader HMI. Tidak hanya itu NDP merupakan sumber nilai untuk kemudian diinternalisasi pada setiap aktivitasnya. Lalu darimana sumber nilai itu ? Tarigan mengatakan:
"Dari manakah sumber nilai-nilai tersebut ? Tidak seperti ideologi pada umumnya yang berangkat dari gagasan, ide, dan pemikiran seorang tokoh tentang sesuatu. NDP diderivasi dari Al-Qur'an dan hadis, perumusnya, Nurcholish Madjid, telah menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan tauhid, kemanusiaan, takdir, keadilan sosial, ekonomi, serta ilmu pengetahuan, kemudian merangkainya menjadi satu konsep yang utuh tentang pandangan dunia. Setelah draft tersebut selesai, lalu didiskusikan bersama Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud." (Tarigan, 2018:3-4)
Dari sini perlu kita ketahui NDP bukan sekedar kumpulan "teks kosong" yang asal-asalan dirumuskan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur). Karena bersumber dari Al-Qur'an justru NDP ini perlu kita terapkan sesuai konteks masa kini. Tidak heran Cak Nur merancang sedemikian rupa sehingga runtut pembahasannya.
Untuk tulisan ini saya lebih tertarik untuk membahas bab 2 yang diberi judul Dasar-Dasar Kemanusiaan untuk kemudian nantinya dibahas sesuai konteks babnya. Bukan tanpa sebab oleh perumusnya terutama Cak Nur bab Dasar-Dasar Kemanusiaan diletakkan dalam bab 2 setelah bab 1 Dasar-Dasar Kepercayaan. Sesuai dengan yang ada pada teksnya yang menyatakan "Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi. Dia adalah wakil Tuhan di bumi." (Tarigan, 2018:25)
Klaim ini tidak berlebihan karena memang Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka Bumi seperti yang telah dinyatakan dalam Al-Qur'an, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."Â (QS. 2:30)
Rahman (2017) dapat menyebut tugas manusia sebagai khalifah ini sebagai amanah. Menurutnya, amanah tersebut mengandung moral penting yang menjadi tantangan agar tugas tersebut dapat dimaknai sebagai perjuangan moral yang harus dilakukan seumur hidupnya.
Untuk dapat menjalankan amanah tersebut, manusia sudah dibekali oleh satu kondisi bawaan yang disebut dengan fitrah. Dari kondisi ini dikatakan manusia akan selalu berada dalam keadaan suci dan cenderung pada kebenaran seperti yang dijelaskan oleh Tarigan :
"Dengan posisinya yang sangat mulia, sebagai 'abdun dan khalifah, manusia telah dibekali dengan sebuah kondisi alami, bawaan asasinya sebagai manusia, yaitu fitrah. Manusia selalu ingin berada dalam keadaan suci dan cenderung kepada kebenaran (hanif). Ini dipancarkan oleh kalbunya atau dhamir-nya selalu merindukan kebaikan, kebenaran, dan kesucian." (Tarigan, 2018:101)
Sifat manusia yang cenderung pada kebaikan, kebenaran, dan kesucian tersebut sesungguhnya hanya sebatas nilai. Karena nilai bersifat abstrak, nilai tersebut perlu diimpelementasikan pada sebuah kerja nyata yang umum kita dengar dengan amal saleh. Untuk itu, manusia diperlengkapi juga dengan ilmu dan alam raya yang akan dipergunakan untuk menunjang tugasnya dalam menjalankan tugas sebagai khalifah (Shihab, 2018: 40).
Dengan ilmu dan alam sebagai perlengkapan tersebut otomatis manusia diberikan akal untuk mengelolanya. Akal sendiri memang ciri khas manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain terutama di bumi ini. Dengan akal tersebut manusia disebut juga makhluk rasional (Kartanegara, 2017:136).