Beberapa bulan terakhir ini sepertinya tidak ada yang lebih bikin meresahkan dibandingkan dengan apa yang telah dikerjakan pemerintah. Setelah sekitar akhir Bulan September 2019 sudah bikin resah masyarakat dengan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK dan KUHP hingga membuat demonstrasi besar-besaran yang merembet hampir di setiap wilayah di Indonesia pada bulan yang sama. Meskipun yang berhasil menjadi undang-undang hanya RUU KPK namun dampaknya terasa seperti kasus Harun Masiku.
Belum juga reda amarah masyarakat akibat dua RUU ternyata pemerintah belum mau juga insyaf dengan membuat kekagetan baru dan potensi gejolak yang lain dengan membuat omnibus law.Â
Bisa dikatakan omnibus law ini merupakan yang melingkupi lintas sektor sehingga dengan disahkannya aturan ini dapat mengamandemen beberapa UU sekaligus. Omnibus Law yang saat ini sedang dirancang memuat tiga hal yang disasar pemerintah, yaitu UU perpajakan, cipta lapangan kerja dan Pengembangan UMKM (Kompas, 18/02/2020).
Dari tiga sasaran itu saya hanya akan membahas soal cipta lapangan kerja (cilaka) yang saat ini benar-benar menjadi sorotan dan berpotensi menimbulkan keresahan baru.Â
Apa yang dapat diresahkan dalam RUU cilaka ini ? Pertama, upah minimum kabupaten atau kota terancam hilang, Kedua, besaran pesangon PHK berkurang, Ketiga, Hapus cuti haid bagi perempuan, Keempat, Nasib out0sourcing semakin tidak jelas, Kelima, pegawai bisa dikontrak seumur hidup (Tempo, 15/02/2020.
Dari masalah tersebut hanya akan ada beberapa masalah yang dibahas. Pertama dengan hilangnya UMK tersebut praktis penetapan upah akan dilakukan oleh gubernur sesuai pasal 88C draft tersebut.Â
Tentu hal ini akan sangat merugikan pekerja karena setiap wilayah memiliki biaya hidup yang beragam. Apabila diberlakukan bisa saja dalam satu provinsi memiliki jumlah upah yang sama, padahal biaya hidup di Karawang dengan UMK sebesar Rp 4.594.324,54 berbeda dengan Kota Banjar dengan UMK Rp1.831.884,83 (Liputan6, 19/11/2019).
Kedua nasib outsourcing akan semakin tidak jelas. Draft ini jelas akan menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang akan membuat jaminan hukum, perlindungan dan keamanan antara pekerja dengan pengusaha tidak dapat dipenuhi. Ketiga yang tidak kalah parah dengan adanya draft UU ini jelas akan membuat pengusaha bertindak dengan semena-mena dengan memberikan kontrak seumur hidup kepada pekerja.Â
Hal ini lagi-lagi dampak apabila Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan digantikan oleh draft tersebut. Padahal pada pasal 59 UU Ketenagakerjaan tersebut mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di antaranya berisi ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Tidak Jauh dari Dalih Pemerintah
Meskipun sudah banyak ditolak baik oleh beberapa serikat buruh, protes dari gerakan mahasiswa serta entitas lainnya yang disebut akan membuat cilaka sesuai namanya, nyatanya pemerintah masih tetap berdalih draft ini penting dan diharapkan bisa diselesaikan dalam 100 hari (Mojok, 20/01/2020).