Mohon tunggu...
Ikang Maulana
Ikang Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa FISIP Undip Semarang yang tengah berusaha membangun budaya literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyebab Munculnya Kerajaan Fiktif yang Tidak Fiktif

2 Februari 2020   23:25 Diperbarui: 2 Februari 2020   23:34 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia kalau dibayangkan merupakan sebuah negara yang unik. Selain sebuah negara yang serba multi kalau kata orang-multi bahasa, etnis, ras pokoknya multi segalanya-Indonesia ternyata tidak habis akan segala beritanya yang tidak jarang bikin nyengir sepanjang hari. 

Berita yang muncul di negara serba multi ini saja beragam dari berita yang sangat penting seperti kasus BUMN Garuda Indonesia dan Jiwasaraya hingga kasus suap yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai kasus yang bisa dibilang tidak penting sih tidak juga, tapi nyeleneh seperti berita kerajaan "baru" yang tidak lama bikin satu Indonesia heboh.

Kasus kerajaan yang sekarang dianggap fiktif ini bukan hanya menutup kasus penting seperti Jiwasraya atau kasus suap yang melibatkan komisioner KPU, kasus ini juga tak pelak menimbulkan pertanyaan besar baik bagi saya bahkan masyarakat Indonesia yang lain. Yang dipertanyakan apalagi kalau bukan apakah kejiwaannya normal atau ada motif lain seperti ekonomi ? Kalau untuk kejiwaannya sendiri saya tidak akan bahas karena perlu investigasi lebih tetapi mungkin saja motif yang lain itu bisa mempengaruhi kejiwaannya.

Perlu diketahui ternyata tanpa disadari banyak sekali kerajaan-kerajaan "baru" yang muncul dengan beragam motif. Mulai dari motif pelestarian sampai penipuan. Untuk yang menjurus pada penipuan ada beberapa yang naik daun seperti Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Sunda Empire di Bandung, hingga yang tidak kalah bikin geger terakhir ini adalah Kerajaan King of The King mengklaim bisa melunasi utang Indonesia dan memiliki kekayaan sebesar Rp 60.000 triliun (Kompas, 30/01/2020).

Menurut Peneliti CSIS, J Kristiadi berpendapat fenomena kerajaan ini merupakan antitesis dari apa yang disebut dengan sindrom kleptomania budaya. Sindrom ini sendiri muncul bukan tanpa sebab. Kehadiran kerajaan ini muncul bak jamur di musim hujan seakan-akan menjadi kritik bagi keberjalanan pemerintah saat ini yang tidak kalah feodal. Patronase politik yang memiliki dampak merusak bagi demokrasi yang selalu digaungkan itupun tidak kalah menjadi faktor penentu munculnya kerajaan fiktif itu. Diluar faktor tadi Kristiadi menyebutkan kerinduan akan "Ratu Adil" juga membuat pendiri kerajaan tersebut merasa memiliki kekuatan super untuk meyakinkan orang-orang disekitarnya untuk membuat kerajaan apabila motifnya semata-mata himpitan ekonomi (Kompas, 30/01/2020).

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina mengatakan maraknya fenomena tersebut karena minimnya kesejahteraan sosial pada masyarakat menengah ke bawah. Dengan minimnya kesejahteraan tersebut mudah bagi kelompok tertentu untuk muncul mengajak dengan tawaran kehidupan sosial ekonomi yang jauh lebih baik (Antara, 01/02/2020).

Memang saat ini menurut Badan Pusat Statistik mengklaim angka kemiskinan di Indonesia saat ini hanya sebesar 9,22 persen menurut data terakhir pada September 2019 (BPS, 15/01/2020). Menurut saya angka tersebut hanya menjadi angka kosong apabila pemerintah sendiri tidak melakukan koreksi terhadap kebijakannya.

Ditambah lagi Indonesia saat ini masih kurang concern terhadap kebijakan Jaminan Sosial dan akses yang mudah masyarakat menengah ke bawah pada perguruan tinggi. Bayangkan saja berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019 lalu mengharuskan iuran untuk BPJS Kesehatan saja naik per 1 Januari 2020. Untuk kelas 3 saja yang semula iurannya hanya Rp. 25.500 naik menjadi Rp. 42.000. Artinya masyarakat harus menanggung kenaikan iuran tersebut sebesar hamper 100 persen (Kompas, 01/01/2020).

Belum lagi masyarakat Indonesia masih sulit untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Bayangkan saja, dengan kualitas pendidikan yang terkesan ajeg Indonesia berhasil menempati peringkat 13 dari 15 besar negara pendidikan termahal sebesar 20.000 US Dolar (USD) bersama India dan Mesir (CNBC, 16/04/2018), hebat kan Indonesia.

Dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi yang terlihat sulit digapai oleh masyarakat kelas menengah ke bawah ini Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) saat itu, Mohammad Nasir mengklaim telah menggelontorkan Beasiswa Bidikmisi untuk 130.000 mahasiswa seluruh Indonesia terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu (Liputan6, 15/02/2019). Walaupun begitu, saya tidak bisa terlalu percaya dengan klaim itu karena tidak sedikit isu bahwa Bidikmisi sendiri banyak yang salah sasaran.

Dengan adanya fenomena kerajaan ini seharusnya mulai dari sekarang pemerintah mulai melakukan koreksi terhadap kebijakan yang dibuat terkait kesejahteraan sosial, terutama dua isu yang saya jelaskan diatas. 

Hal ini bukan tanpa sebab setelah banyak masyarakat yang terbuai dengan ajakan suatu kelompok yang membuat kerajaan yang justru akan menjadi jeratan baru tersebut. Niscaya apabila kesejahteraan sosial sudah diperhatikan secara serius kasus seperti kerajaan fiktif ini akan berkurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun