Mohon tunggu...
Ikang Maulana
Ikang Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa FISIP Undip Semarang yang tengah berusaha membangun budaya literasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perlunya Kepemimpinan Transformatif dalam Masa Adikrisis Korupsi

17 September 2018   21:32 Diperbarui: 19 September 2018   03:58 2006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: news.okezone.com

Kasus Korupsi yang menyeret 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang beberapa waktu lalu cukup menyentak perhatian publik. Betapa tidak, kasus yang disebabkan dugaan kasus suap APBD-P Pemkot Malang tersebut awalnya hanya menyeret walikota Malang dan 18 anggota DPRD. 

Dampak dari kasus ini cukup terasa karena roda pemerintahan Pemkot Malang terancam lumpuh dan ironisnya hingga menyebabkan pelantikan Kota Malang yang sejatinya dilaksanakan tanggal 22 September 2018 mendatang terancam gagal.

Padahal menurut Indonesian Corruption Watch (ICW) nilai kerugian negara yang timbul akibat kegiatan korupsi ada peningkatan signifikan pada rentang waktu tahun 2016 hingga 2017. 

Untuk tahun 2016 sendiri tercatat kerugian negara akibat 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun yang disebabkan pula dengan kasus korupsi yang besar seperti KTP Elektronik dan kasus TPPI. Bahkan pada 2017 terjadi peningkatan kerugian negara dengan 576 kasus korupsi dengan kerugian sebesar Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar.

Dari kasus korupsi Pemkot Kota Malang dan beberapa kasus korupsi lain di Indonesia dari kasus berskala kecil hingga paling besar sudah mengindikasikan bahwa penyelenggara negara yang sangat kita cintai ini merupakan sekumpulan orang yang memiliki kuasa tanpa makna. 

Menurut Yudi Latif (2018 : 234) hal tersebut disebabkan oleh banyaknya orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa mememnuhi nilai-nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya. 

Bahkan ditegaskan oleh Juvenalis hal itu terjadi karena lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu sendiri telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.

Hal itu pernah dirisaukan oleh Sutan Syahrir dalam bukunya berjudul Renungan Indonesia, Bung Syahrir menulis "Bagi kebanyakan orang-orang kita yang 'bertitel' --sengaja disebut bertitel untuk mengganti kata intelektual, sebab di Indonesia ukuran orang tidak dilihat dari penghidupan intelek.

Tetapi pendidikan sekolah- bagi 'orang-orang yang bertitel itu'tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka, ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara".

 Korupsi yang sudah banyak menyebabkan kerugian negara ini dapat menjadi bukti kegilaan pada titel tanpa kedalaman ilmu, situasinya tidak semakin membaik, bahkan memburuk. 

Upaya peningkatan sumber daya manusia hanya terbatas dengan dilandaskan pada tingkat pendidikan formal, bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta dan olah rasa (kreativitas). Sehingga terjadilah fenomena dimana perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada penguasaan ilmu. 

Padahal menurut Ibnu Maskawih (Eko Prasetyo, 2016 : 199) meletakkan tujuan adalah "menyempurnakan" manusia. Kesempurnaan itu terwujud dalam potensialitas pengetahuan yang membuat seseorang terdidik melakukan perbaikan. Kedua potensi itu takkan mungkin lahir kalau pendidikan hanya mempertahankan dogma dan mencetak sifat fanatik. Setidaknya pendidikan yang tidak mengembangkan hubungan integral dengan realitas konkret akan selalu berada dalam alam yang abstrak dan ahistoris.

Kemudian ditegaskan oleh Paulo Freire (Mansour Fakih, 2011 : 119) menurutnya pendidikan harus menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami "dehumanisasi" karena sistem dan struktur yang tidak adil. 

Namun nyatanya, pejabat negara yang terlibat korupsi bahkan bisa dibilang korupsi berjamaah ini tampak jelas menggunakan pendidikan untuk sekedar meraih kedudukan. 

Tetapi saat kedudukan tersebut telah diraih, mereka tidak sungguh-sungguh menyadari dirinya pejabat yang harus melindungi kehormatannya. Menjadi pejabat negara semestinya mensyaratkan kondisi kejiwaan berbeda dengan menjad pengusaha. Di bisnis, keberhasilan dilihat dari kesanggupan dalam mendatangkan keuntungan bersifat pribadi. Dalam politik, keberhasilan diukur dari keberhasilan seseorang dalam melakukan pelayanan publik.  

Foto: news.okezone.com
Foto: news.okezone.com
Perlunya Kepemimpinan Transformatif

Dari kasus korupsi berjamaah Pemkot Malang yang melibatkan 41 dari 45 anggotanya seakan memberi bukti partai politik yang seharusnya mampu menjadi tempat persemaian intelektual organik dan pemimpin profetik lagi mampu mengorganisasi serta mengartikulasikan amanat hati-nurani rakyat, berhenti sebagai pusat percaloan kekuasaan.

Partai politik hanya sekedar berperan sebagai pusat percaloan kekuasaan dan hanya berujung menjadi mesin "penarik upeti" dan pemburu rente ekonomi disebabkan lebih karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan saat ini terlau banyak mengandalkan sumber daya "alokatif" ketimbang "otoritatif". 

Artinya yang selama ini dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan melainkan daya beli dari pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal memproduksi intelektual organiknya: sedangkan para pemimpin yang mempunyai bibit-bibit karismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika "alokatif", yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.

Untuk itu perlu dimulai sebuah langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal dimana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues).

Sumber Referensi:

Fakih, Mansour.2011. Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Latif, Yudi.2018. Makrifat Pagi : Percik Embun Spiritualitas di Terik Republik. Bandung : Mizan
Prasetyo, Eko.2016. Kitab Pembebasan : Tafsir Progresif Atas Kisah-Kisah dalam Qur'an. Malang : Beranda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun