Padahal menurut Ibnu Maskawih (Eko Prasetyo, 2016 : 199) meletakkan tujuan adalah "menyempurnakan" manusia. Kesempurnaan itu terwujud dalam potensialitas pengetahuan yang membuat seseorang terdidik melakukan perbaikan. Kedua potensi itu takkan mungkin lahir kalau pendidikan hanya mempertahankan dogma dan mencetak sifat fanatik. Setidaknya pendidikan yang tidak mengembangkan hubungan integral dengan realitas konkret akan selalu berada dalam alam yang abstrak dan ahistoris.
Kemudian ditegaskan oleh Paulo Freire (Mansour Fakih, 2011 : 119) menurutnya pendidikan harus menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami "dehumanisasi" karena sistem dan struktur yang tidak adil.Â
Namun nyatanya, pejabat negara yang terlibat korupsi bahkan bisa dibilang korupsi berjamaah ini tampak jelas menggunakan pendidikan untuk sekedar meraih kedudukan.Â
Tetapi saat kedudukan tersebut telah diraih, mereka tidak sungguh-sungguh menyadari dirinya pejabat yang harus melindungi kehormatannya. Menjadi pejabat negara semestinya mensyaratkan kondisi kejiwaan berbeda dengan menjad pengusaha. Di bisnis, keberhasilan dilihat dari kesanggupan dalam mendatangkan keuntungan bersifat pribadi. Dalam politik, keberhasilan diukur dari keberhasilan seseorang dalam melakukan pelayanan publik. Â
Dari kasus korupsi berjamaah Pemkot Malang yang melibatkan 41 dari 45 anggotanya seakan memberi bukti partai politik yang seharusnya mampu menjadi tempat persemaian intelektual organik dan pemimpin profetik lagi mampu mengorganisasi serta mengartikulasikan amanat hati-nurani rakyat, berhenti sebagai pusat percaloan kekuasaan.
Partai politik hanya sekedar berperan sebagai pusat percaloan kekuasaan dan hanya berujung menjadi mesin "penarik upeti" dan pemburu rente ekonomi disebabkan lebih karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan saat ini terlau banyak mengandalkan sumber daya "alokatif" ketimbang "otoritatif".Â
Artinya yang selama ini dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan melainkan daya beli dari pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal memproduksi intelektual organiknya: sedangkan para pemimpin yang mempunyai bibit-bibit karismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika "alokatif", yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.
Untuk itu perlu dimulai sebuah langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal dimana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues).
Sumber Referensi:
Fakih, Mansour.2011. Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Latif, Yudi.2018. Makrifat Pagi : Percik Embun Spiritualitas di Terik Republik. Bandung : Mizan
Prasetyo, Eko.2016. Kitab Pembebasan : Tafsir Progresif Atas Kisah-Kisah dalam Qur'an. Malang : Beranda