Toleransi merupakan isu yang sensitif di Indonesia, terutama dalam kurun waktu hampir dua tahun ini. Isu ini merupakan isu yang menjadi perhatian serius terlebih pasca reformasi. Konflik antaragama di banyak tempat bisa dikategorikan sebagai bencana nasional, karena membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.
Konflik dalam kategori bencana nasional ini bukan hanya mengakibatkan korban materi tetapi juga, korban luka-luka dan korban meninggal dunia. Wajar saja jika konflik antaragama yang terus berlangsung hingga saat ini menjadi perhatian banyak pihak di negeri ini.
Toleransi yang awalnya menjadi modal sosial untuk terciptanya integrasi bangsa pada era reformasi kerap mengalami pasang surut. Akibatnya proses integrasi bangsa bukan hanya mengalami hambatan, tetapi kecurigaan antarkelompok semakin kuat, bahkan tidak jarang hanya gara-gara karena persoalan sepele, konflik antaragama bisa meletus.
Sepertinya intoleransi mulai banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia karena masyarakat sangat mudah terpengaruh akan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (hoax). Contohnya berita tentang masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang kabarnya mencapai 10 hingga 20 juta TKA. Berita ini menghebohkan masyarakat saat itu karena titik permasalahannya adalah angka pengangguran masyarakat tinggi mencapai 7,02 juta pada tahun 2016 menurut redaksi Tirto.id. Meskipun pada akhirnya isu tersebut dibantah oleh Presiden Joko Widodo.
Kejadian tersebut sangatl berpengaruh terhadap toleransi antar etnis, dengan tersebarnya berita tersebut, sedikit banyak masyarakat pasti terpengaruh oleh berita hoax tersebut dan memendam kebencian kepada orang-orang maupun etnis china yang berada di indonesia sejak dulu. Selain itu Indonesia ternyata memiliki banyak permasalahan yang berkaitan dengan agama, yang mana pelanggaran akan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Contoh lainnya  adalah  kasus penistaan agama  oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahja purnama (Ahok) yang berawal dari pidato Ahok di Kepulauan Seribu dalam menafsirkan QS: Al-Maidah 51, entah sengaja maupun tidak hal tersebut dianggap sebagai suatu penistaan agama oleh banyak kalangan, khususnya penistaan terhadap agama Islam. Kasus penistaan ini mendapatkan respon keras dari ormas ormas islam yang berupa aksi aksi bela islam yang berkelanjutan dan berjilid-jilid di jakarta .
Seharusnya respon semacam ini tidak usah terjadi karena telah melalui proses hukum yang menangani kasus penistaan agama ini, sehingga tidak berpotensi menaburkan kebencian dan berindikasi merusak toleransi antar umat beragama di Indonesia yang sudah di bangun sejak proklamasi Kemerdekaan lebih dalam ini. Seharusnya kita sebagai umat beragama harus berperilaku intelektual dan berpikir cerdas dalam kebhinekaan guna untuk menjaga kelangsungan hidup toleransi dalam bangsa ini.
Dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib mengemukakan penyebab intoleransi yang terjadi terutama di kalangan Umat Islam, diantaranya : pertama, pemahaman agama Islam secara formalistis dan legalistis. Wahyu Tuhan dipandang sebagai produk-produk hukum formal atau agama sehingga agama yang sesungguhnya spiritual atau rohaniah tertutupi. Dengan pendekatan ini akan dengan cepat dan mudah membawa orang pada kesimpulan akhir atau absolutisme yang membawa pada intoleransi.
Kedua, pemahaman agama Islam yang parsial. Di sini ayat-ayat Qur'an dan Hadits dilepaskan dari totalitas ajaran Islam sebagai pernyataan dan kehendak kasih Tuhan selain juga dilepaskan dari suasana yang mendukung maksudnya. Pemahaman seperti ini disebabkan karena dua hal, pertama tidak memahami secukupnya gejala-gejala kejiwaan manusia sebagai individu dan kedua para ulama Islam tidak memahami gejala-gejala yang terjadi dan berkembang karena peralatan ilmu tidak ada.
Dalam kutipan  Ahmad Wahib yang lain beliau mengemukakan, "toleransi beragama karenanya berarti menghormati manusia dan keseluruhan adanya, memandang kehidupan rohani orang lain sebagai hak pribadinya yang tidak dapat di ganggu gugat atau dikendalikan dari luar". Ahmad Wahib.
Selain itu ahmad wahib juga mengemukakan "ketajaman kritik kita terhadap umat berhubung  dengan general attitude-nya, jangan sampai menjerumuskan kita pada sikap apriori salah dalam mengahadapi suatu masalah, sebagaimana kita menjauhkan diri dari sikap apriori membenarkan mereka. Kita juga harus benar benar menjauhkan diri dari nilai ganda, nilai ganda yang memihak umat islam atau nilai ganda yang memihak bukan islam".
Peran Cendekiawan Muslim Dalam Masalah Pluralisme
Masalah Intoleransi saat itu membuat kesulitan baru terutama dalam meyakinkan Umat Islam bahwa Indonesia merupakan masyarakat plural, dengan adanya masalah seperti itu tak pelak membuat minoritas akan bergerak semakin agresif. Adanya minoritas yang agresif seperti itu disebabkan karena adanya ancaman mayoritas yang sulit diterima. Tanpa agresivitas itu tentulah pluralisasi dapat termasuk dalam amar ma'ruf.
Menurut Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid cendekiawan hanya bisa mengharapkan supaya struktur membuat "aturan main" yang efektif, supaya pluralisme itu sungguh-sungguh berjalan. Kecurigaan terhadap mayoritas dan agresivitas antaragama perlu dilenyapkan. Diharapkan bahwa ada political will untuk memutuskan lingkaran setan kecurigaan dan agresivitas serta membuat pluralisme itu terjadi. Yang diperlukan dalam masyarakat adalah dialog terbuka dan kerukunan antariman, agar secara nasional pun manajemen yang rasional dapat berlaku.
Selain itu perlu juga dikembangkan pluralisme positif dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia. Kuntowijoyo menggunakan istilah yang berbeda ketika membuat tipologi pluralisme, yakni pluralisme negatif dan pluralisme positif. Istilah pluralisme negatif digunakan untuk menunjukkan sikap keberagamaan seseorang yang sangat ekstrim ketika, misalnya, mengatakan bahwa beragama itu ibarat memakai baju sehingga ia dapat mengganti kapan saja.
Jadi terdapat pengakuan bahwa ada banyak agama. Secara prinsip pernyataan ini memang sesuai realitas. Tetapi dengan menyatakan bahwa perpindahan agama (konversi) itu wajar terjadi, semudah orang mengganti baju, tentu merupakan hal yang dapat menimbulkan kontroversi. Pluralisme akan disebut negatif jika berargumentasi bahwa orang tidak perlu memegang teguh keyakinan agamanya.
Pluralisme positif merupakan sikap keberagamaan yang sangat mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap pendapat, pilihan hidup, dan keyakinan keagamaan. Ketika menjelaskan makna pluralisme positif, Kuntowijoyo banyak menyontohkan pengalamannya pada saat belajar di luar negeri. Misalnya, ketika ada pengumuman pesta bir, maka ia datang dengan membawa coca cola.
Kalau ada temannya yang ketagihan bir di apartemennya maka ia dapat mengantar ke warung. Bahkan ketika ditanyakan apakah kulkas miliknya dapat digunakan untuk menyimpan bir, ia pun menjawab boleh asal dirinya tidak disuruh minum bir. Amerika yang relijius memberikan tempat bagi perkembangan pluralisme postif.
Dalam masalah pluralisme ini seyogyanya perlu pembinaan toleransi secara berkala. Mengutip Ahmad Wahib, pembinaan toleransi dapat dilakukan dengan beberapa cara : pertama, ulama dan para pemikir Islam perlu mencari rumusan-rumusan pemahaman Islam yang lebih universal untuk lebih dekat pada kehendak-kehendak Tuhan yang universal.
Kedua, para pemimpin dan mubaligh Islam harus banyak merenung dan berfikir agar khotbah atau pidato-pidatonya terlepas dari sloganisme sehingga umat dapat berfikir lebih tenang. Ketiga, Umat Islam harus berlatih memandang manusia lain yang berbeda faham dengan penuh hormat dan kasih. Keempat, para pemimpin penganut agama lain perlu menyadari, bahwa penambahan jumlah penganut bukanlah tujuan agama itu sendiri.Â
Kelima, para sosiolog dan "social engineer" harus mencari jalan untuk secepatnya melenyapkan masalah sosiologis yang semakin menambah intoleransi. Keenam, pemerintah dituntut untuk berjiwa besar dalam menghadapi golongan Islam yang karena tradisi sejarahnya selama berabad-abad telah membawa mereka pada sikap oposan pada setiap bentuk kekuasaan di luar tangan mereka.
Agenda Umat Islam dalam Perubahan Sistem Pengetahuan
Masalah toleransi dan pluralisme yang serius mendera bangsa Indonesia terkhusus umat Islam tidak bisa dibiarkan terus berlarut, disamping masalah tersebut umat Islam memiliki agenda yang tak kalah penting dan lebih universal. Hal yang harus dikerjakan perubahan sistem pengetahuan, supaya Islam jadi rahmatan lil 'alamin.
Perubahan sistem pengetahuan itu meliputi dua persoalan, yaitu (1) pengetahuan tentang hakikat pergerakan Islam dan (2) pengetahuan tentang aktualisasi Islam dalam masyrakat luas. Hakikat pergerakan Islam: dari idealistik ke etika profetik. Dari gerakan yang sekedar "amar ma'ruf" seperti menyelenggarakan pendidikan, mengorganisasikan kegiatan keagamaan dan memberi santunan-santunan dengan menambah "nahi munkar" dengan mengarah pada masalah ekonomi, sosial dan politik.
Aktualisasi Islam : dari egosentrisme ke objektifisme. Cita-cita semua orang Islam yang sadar pasti "tegaknya hukum Allah di bumi". Dalam praktik cita cita itu diartikulasikan secara berbeda-beda. Â Ada yang mencita-citakan Negara Islam atau Masyarakat Islam. Itu sah-sah saja dalam demokrasi. Hanya saja kata "Negara Islam" adalah momok, bahkan bagi umat sendiri.
Maka, dalam pergaulan nasional kata "Islam" itu tidak usah ditonjol-tonjolkan, itulah yang disebut egosentrisme umat. Hukum Allah harus diterjemahkan ke dalam hukum nasional dahulu, ke dalam hukum positif  dahulu, tidak lugas begitu saja.
Dalam hal ini, Kuntowijoyo berpendapat bahwa Pancasila adalah objektifikasi dari Islam. Untuk konsumsi ke luar istilah masyarakat Islam cukup disebut dengan Masyarakat Madani saja.
Objektifikasi sebenarnya tidak jauh dari jangkauan. Bank Muamalat Indonesia merupakan objektifikasi dari syariat Islam dalam keuangan, syariat Islam di tengah-tengah sistem perbnkan dengan dominasi kapitalisme. Semua orang tanpa memandang agama dan keyakinan dapat menjadi nasabahnya. Demikian pula, bank-bank syariat di Timur Tengah, Malaysia dan Filipina.
Dalam tingkat negara, Singapura adalah objektifikasi dari konfusianisme. Di negara itu, sesuai dengan konfusianisme, bantuan anak yang diberikan kepada orang tua dinyatakan bebas pajak.
Sumber Referensi
Kuntowijoyo.2018. Muslim Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transedental. Yogyakarta : Mata Bangsa
Wahib, Ahmad. 2016. Pergolakan Pemikiran Islam : Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta : LP3ES
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H